SEJAK diundangkannya Undang-Undang No.28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), pemerintah mencanangkan pungutan pajak rokok. Adapun pajak rokok tersebut dipungut untuk membatasi konsumsi rokok dan peredaran rokok illegal.
Selain itu, pajak rokok juga dipungut guna melindungi masyarakat dari dampak negatif rokok. Pemungutan pajak rokok juga dilatarbelakangi adanya kebutuhan untuk meningkatkan dana untuk pelayanan kesehatan masyarakat. Lantas, apa itu pajak rokok?
Pajak rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah pusat (Pasal 1 UU PDRD). Pemungutan pajak rokok menjadi kewenangan pemerintah daearah tingkat I atau pemerintah provinsi (Pasal 2 ayat 1 UU PDRD).
Berdasarkan pada Pasal 181 UU PDRD, ketentuan mengenai pajak rokok mulai berlaku sejak 1 Januari 2014. Pemerintah daerah yang ingin memungut pajak rokok harus menyusun peraturan daerah yang mengatur tentang pajak rokok.
Namun, pengenaan pajak rokok tidak mutlak ada pada seluruh daerah provinsi. Pemerintah daerah bisa juga tidak memungut suatu jenis pajak daerah. Hal ini jika potensinya kurang memadai dan/atau disesuaikan dengan kebijakan yang ditetapkan dengan peraturan daerah.
Pajak rokok ini dikenakan atas konsumsi rokok baik berupa sigaret, cerutu, maupun rokok daun. Namun, untuk rokok yang tidak kena cukai, tidak dikenakan pajak rokok. Ketentuan mengenai rokok yang tidak dikenakan cukai tercantum dalam Pasal 26 UU.No.39/2007 tentang cukai.
Adapun yang menjadi subjek pajak rokok adalah konsumen rokok. Sementara itu, pihak yang ditetapkan sebagai wajib pajak rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (Pasal 27 ayat (1) dan (2) UU PDRD).
Pajak rokok dikenakan atas cukai yang ditetapkan pemerintah dengan tarif sebesar 10% dari cukai rokok. Kendati merupakan kewenangan pemerintah daerah, pemungutan pajak rokok dilakukan instansi pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.
Pajak rokok yang telah dipungut tersebut selanjutnya akan disetorkan ke rekening kas umum daerah provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk (Pasal 27 UU PDRD).
Adapun hasil penerimaan pajak rokok, baik bagian provinsi maupun kabupaten/kota, harus dialokasikan minimal 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum aparat yang berwenang.
Pelayanan kesehatan yang dimaksud antara lain pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok (smoking area), kegiatan memasyarakatkan bahaya merokok, dan iklan layanan masyarakat tentang bahaya rokok.
Sementara itu, penegakan hukum yang dimaksud adalah penegakan hukum sesuai dengan kewenangan pemerintah daerah yang dapat dikerjasamakan dengan pihak/intansi lain. Penegakan hukum tersebut seperti pemberatasan peredaran rokok ilegal (Pasal 31 UU PDRD).
Hal ini dikenal sebagai earmarking, yaitu suatu kewajiban pemerintah provinsi untuk mengalokasikan sebagian penerimaan pajak daerah untuk mendanai pembangunan saran dan prasarana yang secara langsung dapat dinikmati oleh pembayar pajak dan seluruh masyarakat (Siahaan, 2016). Simak ‘Apa Itu Earmarking Tax?’.
Kendati sama-sama bentuk pungutan, pajak rokok berbeda dengan cukai rokok. Dengan demikian pengenaan pajak rokok dan cukai rokok bukanlah bentuk pajak berganda karena objek dan subjek pajaknya berbeda. Baca ‘Apa Bedanya Cukai Rokok dan Pajak Rokok? Simak di Sini’.