BELAKANGAN ini santer pemberitaan mengenai rencana Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak yang akan mengkaji kembali penerapan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang dianggap masih terlalu tinggi jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, khususnya Asean.
Ditjen Pajak menilai penerimaan pajak semakin tergerus akibat adanya peningkatan batas PTKP. Oleh karena itu, Ditjen Pajak berencana untuk menerapkan PTKP berdasarkan upah minimum provinsi (UMP) di masing-masing daerah. Pasalnya ada disparitas pendapatan dan biaya hidup rata-rata di masing-masing provinsi yang berbeda secara signifikan.
Terlepas dari isu tersebut, ada baiknya untuk memahami terlebih dahulu apa itu PTKP? Berapa besaran PTKP di Indonesia?
PTKP diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
PTKP pada dasarnya merupakan pengurang penghasilan neto bagi wajib pajak orang pribadi dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP). PTKP sendiri ditentukan berdasarkan keadaan pada 1 Januari dari tahun pajak yang bersangkutan.
PTKP adalah besarnya penghasilan yang menjadi batasan tidak kena pajak bagi wajib pajak orang pribadi, ini berarti apabila penghasilan neto wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha dan/atau pekerjaan bebas jumlahnya dibawah PTKP tidak akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 dan apabila berstatus sebagai pegawai atau penerima penghasilan sebagai objek PPh Pasal 21, maka penghasilan tersebut tidak akan dilakukan pemotongan PPh Pasal 21.
Sejak tahun 2001, PTKP di Indonesia terus mengalami perubahan, berikut merupakan besaran PTKP di Indonesia dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2015:
Tahun Pajak | PTKP (Rp) | |
Orang Pribadi | Tambahan | |
2001 – 2008 | 2.880.000 | 1.440.000 |
2009 – 2013 | 14.840.000 | 1.320.000 |
2013 – 2014 | 24.300.000 | 2.025.000 |
2015 | 36.000.000 | 3.000.000 |
Untuk tahun 2016, besar PTKP kembali mengalami perubahan, hal tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 101/PMK.010/2016 yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2016. Dalam Pasal 1 aturan tersebut dijelaskan bahwa PTKP dibedakan antara wajib pajak kawin dan yang tidak kawin. Berikut rinciannya:
Atau dengan kata lain PTKP sesuai dengan status perkawinan wajib pajak adalah sebagai berikut:
Adapun yang dimaksud dari keluarga sedarah adalah yang masih garis keturunan lurus satu derajat yaitu ayah, ibu, dan anak. Untuk hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke samping satu derajat yaitu saudara kandung.
Sedangkan yang dimaksud dengan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat yaitu mertua dan anak tiri, dan hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah ipar.
Pengertian menjadi tanggungan sepenuhnya menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh wajib pajak.
Sedangkan apabila wajib pajak hanya sekedar menyumbang, memberikan bantuan, bertanggung jawab dan sebagainya, maka tidak termasuk dalam menjadi tanggungan sepenuhnya.
Penghasilan yang didapatkan dari warisan yang belum terbagi pada dasarnya merupakan hak dan dapat dibagikan kepada para ahli waris yang berhak, serta penghasilan tersebut harus digabungkan dengan penghasilan lainnya yang diterima atau didapatkan oleh masing-masing ahli waris.
Maka dalam melakukan perhitungan Penghasilan Kena Pajak (PKP) masing-masing ahli waris telah memperoleh pengurangan berupa PTKP, sehingga dalam menghitung PKP atas penghasilan yang berasal dari warisan yang belum terbagi tidak diberikan pengurangan berupa PTKP.
Pemerintah menaikkan batas PTKP dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut :
Terjadinya kenaikan PTKP diharapkan dapat berdampak baik pada tingkat penerimaan pajak. Meskipun akan ada penurunan dari Penghasilan Kena Pajak (PKP), namun implementasi ini akan bisa meningkatkan penerimaan pajak dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan PPh Badan. Pada akhirnya, penerimaan pajak secara mikro akan turun, namun daya beli masyarakat akan naik.*