Apa Itu Pilar 1 dan Pilar 2 Proposal Pajak OECD?
KAMUS PAJAK INTERNASIONAL

KETENTUAN pajak internasional yang ada saat ini berdasarkan pada perjanjian 1920-an. Perkembangan ekonomi digital membuat ketentuan tersebut tidak dapat lagi mengakomodasi pemajakan internasional atas perusahaan lintas yurisdiksi yang makin terdigitalisasi.

Kelemahan tersebut pada akhirnya memunculkan celah penghindaran pajak. Untuk mengatasi persoalan tersebut, OECD dan G-20 menginisiasi proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan yang salah satunya berupaya mengatasi tantangan pemajakan akibat digitalisasi ekonomi.

Berdasarkan pada berbagai pembahasan antara OECD, pimpinan negara G20, dan negara anggota OECD/G-20 Inclusive Framework (IF), munculah dua pilar utama yang disebut dapat menjadi fondasi pemajakan ekonomi digital yang dalam perkembangannya diperluas untuk seluruh sektor perusahaan multinasional.

Dalam perkembangan terkini, sebanyak 132 dari 139 negara atau yurisdiksi anggota IF resmi menyepakati dua pilar dari proposal OECD. Kesepakatan tersebut dicapai dalam forum pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 di bawah Presidensi Italia pada 9 Juli 2021.

Negara-negara yang tergabung dalam IF juga telah berkomitmen untuk menyelesaikan detail aspek teknis atas dua pilar tersebut paling lambat Oktober 2021. Apabila disetujui maka solusi yang ditawarkan dalam kedua pilar tersebut akan diterapkan pada 2023.

Lantas, sebenarnya apa yang dimaksud dengan Pilar 1 dan Pilar 2 dari proposal OECD tersebut?

OECD telah merilis OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting Project Addressing the Tax Challenges Arising From The Digitalisation of The Economy. Berikut ini penjelasan Pilar 1 dan Pilar 2 yang dirangkum dari publikasi tersebut.

Pilar 1

PILAR 1: Unified Approach merupakan usulan solusi yang berupaya menjamin hak pemajakan dan basis pajak yang lebih adil dalam konteks ekonomi digital. Hal tersebut dilakukan melalui perombakan sistem pajak internasional yang tidak lagi berbasis kehadiran fisik.

Rencana dalam Pilar 1 ini bukan hanya menyasar bisnis digital, melainkan seluruh sektor perusahaan multinasional dengan threshold peredaran bruto global di atas EUR20 miliar dan profitability (laba sebelum pajak terhadap penghasilan bruto) di atas 10%.

Adapun setelah 7 tahun threshold peredaran bruto global tersebut akan diturunkan menjadi EUR10 miliar. Namun demikian, perusahaan multinasional sektor jasa keuangan dan industri ekstraktif dikecualikan dari cakupan kebijakan dalam Pilar 1.

Secara lebih terperinci, Pilar 1 mengusulkan hak pemajakan diberikan bagi yurisdiksi tempat perusahaan multinasional memperoleh penghasilan dari yurisdiksi tersebut setidaknya senilai EUR1 juta.

Sementara itu, untuk yurisdiksi dengan produk domestik bruto (PDB) lebih rendah dari EUR40 miliar akan memperoleh hak pemajakan apabila penghasilan perusahaan multinasional dari yurisdiksi tersebut setidaknya EUR250 ribu.

Selain itu, Pilar 1 juga mengusulkan 20% sampai dengan 30% dari residual profit (seluruh laba di atas 10% dari penghasilan) akan diberikan pada yurisdiksi pasar dengan suatu formula alokasi.

Namun, untuk menjamin kepastian pajak, penerapan Pilar 1 harus dibarengi dengan adanya mekanisme penyelesaian sengketa pajak internasional yang efektif dalam mengantisipasi pajak berganda. Selain itu, Pilar 1 mensyaratkan 'ditariknya' kebijakan pajak digital yang bersifat unilateral, seperti halnya digital services tax.

Adapun rencana yang diusung dalam Pilar 1 bersifat wajib bagi seluruh negara anggota IF dan efektif diimplementasikan pada 2023.

Pilar 2

PILAR 2 merupakan usulan solusi yang berupaya mengurangi kompetisi pajak yang dilakukan melalui penetapan tarif pajak efektif PPh badan minimum secara global untuk melindungi basis pajak. Pilar 2 ini terdiri atas dua rencana kebijakan, yaitu Global anti-Base Erosion Rules (GloBE) dan Subject to Tax Rule (STTR).

Rencana yang diusung dalam Pilar 2 ditujukan bagi seluruh perusahaan multinasional dengan threshold peredaran bruto di atas EUR750 juta seperti halnya batasan yang ditetapkan dalam kewajiban laporan per negara (country-by-country reporting/CbCR) dokumentasi transfer pricing.

Setiap negara juga dapat menerapkan GloBE tanpa memedulikan nilai threshold jika perusahaan multinasional tersebut berkantor pusat di negara tersebut. Namun, GloBE tidak berlaku bagi entitas pemerintah, organisasi internasional, lembaga nirlaba, dan sebagainya.

Selain itu, ada skema carve-out, yaitu pengecualian pemberlakukan Pilar 2 untuk fixed return yang berasal dari kegiatan ekonomi yang substantif sebesar 5,0%-7,5% penghasilan. Ketentuan GloBE juga mengecualikan penghasilan dari shipping industry.

Secara ringkas, desain kebijakan GloBE dilakukan dengan menerapkan tarif efektif pajak minimum sebesar 15% yang ditinjau dari negara domisili. Apabila terdapat selisih antara pajak minimum tersebut dengan tarif pajak efektif di lokasi investasi suatu perusahaan multinasional.

Adapun selisih tersebut dapat dipajaki di negara domisili melalui income inclusion rule (penghasilan luar negeri ditarik ke negara domisili) dan/atau melalui undertaxed payment rule (biaya yang dibayarkan oleh perusahaan multinasional di negara domisili ke perusahaan multinasional di negara dengan tarif pajak rendah menjadi non-deductible).

Sementara penerapan pajak minimum dari sisi negara sumber melalui STTR. Melalui STTR, negara sumber dapat memberlakukan tarif withholding tax secara penuh (tanpa reduced rate dalam P3B) apabila penerima penghasilan yang berada di negara lain ternyata tidak membayar pajak di negara domisili.

Hak pemajakan dari negara sumber tersebut akan diperoleh dari selisih antara tarif pajak minimum sebesar 7,5%-9,0% dengan tarif pajak atas penghasilan di negara lain.

Berbeda dengan Pilar 1, Pilar 2 bersifat common approach (tidak wajib). Namun, demikian tetap tunduk jika negara lain yang berkaitan dengan bisnis perusahaan multinasional tersebut menerapkan. Seperti halnya Pilar 1, usulan dalam Pilar 2 rencananya akan diimplementasikan pada 2023.