PAJAK penghasilan (PPh) menganut prinsip ability to pay, yaitu prinsip yang menghendaki agar pajak dibebankan berdasarkan kemampuan membayar. Prinsip ini umumnya tercermin pada penerapan tarif PPh tunggal dan progresif atas seluruh penghasilan yang diterima wajib pajak.
Namun, faktanya pengenaan PPh tidak selalu mengenakan tarif PPh tunggal dan progresif. Terdapat beberapa penghasilan tertentu yang pengenaan pajaknya dilakukan secara terpisah dan menggunakan tarif tertentu yang diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan.
Pengenaan pajak secara terpisah dan menggunakan tarif tertentu itu salah satunya dapat dilakukan dengan PPh final. PPh final ditujukan di antaranya untuk memberikan kemudahan bagi wajib pajak sekaligus menekan besarnya biaya kepatuhan dan meningkatkan kepatuhan pajak.
Adapun presumptive tax merupakan salah satu konsep pengenaan PPh final untuk memberi kemudahan administratif dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Praktiknya, presumptive tax banyak diterapkan terhadap sektor yang sulit dipajaki (hard to tax sector). Lantas, apa itu presumptive tax?
Definisi
SECARA ringkas, presumptive tax adalah konsep pemajakan yang mengenakan pajak penghasilan berdasarkan pada jumlah penghasilan 'rata-rata', bukan penghasilan aktual (IBFD, 2015; OECD Glossary of Tax Terms).
Secara lebih luas, presumptive tax merupakan cara menghitung nilai pajak terutang dengan indikator selain penghasilan neto yang dinilai dapat mencerminkan penghasilan wajib pajak tertentu.
Indikator presumptive sebagai landasan perhitungan—agar mencerminkan basis pajak sebenarnya—dapat berupa indikator administratif dalam praktik di lapangan atau berbasis indikator yang ditetapkan dan diatur khusus dalam ketentuan pajak (Tanzi dan de Jantscher, 1987)
Sementara itu, Yitzhaki (2014) mendefinisikan konsep pemajakan sebagai presumptive tax jika terdapat kesenjangan antara basis pengenaan pajak sebagaimana tertuang dalam undang-undang perpajakan (basis ideal) dan basis yang digunakan dalam pelaksanaan ketentuan presumptive tax.
Penggunaan presumptive tax cenderung muncul jika ada komplikasi seperti asimetri informasi, transaksi, kepatuhan, dan biaya administrasi yang membuat penerapan undang-undang perpajakan dengan cara langsung terlalu mahal untuk diterapkan (Yitzhaki, 2014).
Pemajakan presumptive sejatinya menggunakan metode tidak langsung dalam menghitung beban pajak terutang. Penggunaan kata presumptive atau 'dugaan' mengacu pada asumsi penghasilan wajib pajak tidak lebih kecil dibandingkan jika menggunakan metode tidak langsung (Thuronyi, 1996)
Presumptive tax memiliki justifikasi beragam. Namun, metode ini umumnya diadopsi untuk menyederhanakan pemungutan pajak sehingga mencapai tujuan seperti memudahkan administrasi, mengurangi biaya dan meningkatkan kepatuhan, efektivitas penerimaan, dan perluasan basis pajak.
Untuk tujuan kepatuhan, presumptive tax erat kaitanya dengan hard to tax sector. Fenomena ini timbul karena otoritas pajak mengalami kesulitan mengidentifikasi penghasilan atau transaksi sebenarnya yang dapat digunakan sebagai basis pengenaan pajak (Vazquez dan Schneider, 2004).
Sektor yang dapat dikategorikan sebagai hard to tax sector dapat berbeda-beda tergantung jenis pajak yang dibahas. Adapun salah satu sektor yang kerap diidentifikasi sebagai hard to tax sector adalah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Melalui presumptive tax pengenaan PPh pada UMKM dihitung dengan indikator atau metode lain alih-alih mengandalkan penilaian dari wajib pajak sendiri. Contoh bentuk pemajakan presumptive tax terlihat dari penggunaan tarif PPh final 0,5% terhadap peredaran bruto UMKM di Indonesia. Guna memahami konsep dasar dan tujuan serta informasi lebih lanjut mengenai presumptive tax anda dapat menyimak artikel pada Kelas Pajak Presumptive Tax.
Isu terkait dengan presumptive tax juga menjadi salah satu sub bab dalam Working Paper DDTC bertajuk Meninjau Konsep dan Relevansi PPh Final di Indonesia dan buku terbitan DDTC bertajuk Konsep dan Aplikasi Pajak Penghasilan yang diterbitkan pada 2020.