Mengenal Sixth Method dalam Transfer Pricing
KAMUS PAJAK

SELAIN kelima metode transfer pricing utama yang telah diakui oleh OECD dan UN, pada praktiknya, terdapat beberapa metode alternatif. Salah satu yang kerap diperbincangkan dan menimbulkan polemik adalah apa yang disebut sebagai metode keenam (sixth method).

Hingga saat ini, lebih dari 10 negara di dunia – mayoritas dari Amerika Latin – memiliki ketentuan sixth method dalam ketentuan domestiknya. Lalu, apa yang dimaksud dengan sixth method?

Mengacu pada UN Practical Manual on Transfer Pricing (UN TP Manual) 2017, sixth method adalah pendekatan analisis transfer pricing yang mensyaratkan perhitungan harga wajar berdasarkan harga pasar acuan komoditas baik pada saat ekspor dan impor di waktu tertentu. Oleh karena hanya berlaku bagi produk komoditas, sixth method juga sering disebut sebagai commodity rule.

Kehadiran sixth method dipicu oleh kondisi di mana otoritas pajak menemui kesulitan untuk menentukan harga wajar transaksi jual-beli komoditas antarafiliasi, terutama karena keterbatasan informasi dan dokumentasi dari wajib pajak. Lebih lanjut, transaksi komoditas umumnya juga dapat dilakukan melalui mekanisme perdagangan berjangka yang memberikan kerumitan dalam menentukan tanggal penentuan harga pasar acuan.

Argentina jadi negara yang pertama kali menerapkan sixth method melalui Quotation Price at the Shipment Date (Precio de Cotizacion a la Fecha de Embarque) pada 2003. Walaupun menerapkan metode comparable uncontrolled price (CUP), secara hierarkis otoritas pajak Argentina memprioritaskan penggunaan sixth method (DarussalamSeptriadi, Kristiaji, 2013).

Secara detail, analisis kewajaran dilakukan dengan membandingkan harga ekspor komoditas dengan harga pada saat pengapalan (spot price), tanpa memedulikan tingkat harga pada saat terjadinya kesepakatan (contract price). Selanjutnya, jika contract price ternyata lebih tinggi dari spot price maka otoritas pajak akan menggunakan contract price sebagai harga wajar.

Walau terkesan ‘keras’, sixth method hanya berlaku pada kondisi tertentu. Kondisi itu adalah jika afiliasi wajib pajak Argentina tersebut bertindak sebagai intermediary, berkedudukan di negara lain, tidak memiliki substansi usaha yang jelas, dan memiliki proporsi transaksi lebih dari 30% dari seluruh volume perdagangan wajib pajak (kumulatif).

Penerapan sixth method di luar Argentina – seperti di Uruguay, Bolivia, Peru, Honduras, Malawi, maupun Zambia – pada dasarnya bervariasi, tapi memiliki fitur yang mirip. Variasi tersebut mencakup jenis transaksi yang diuji (ekspor, impor, atau keduanya), produk komoditas yang diatur (umumnya merujuk pada komoditas unggulan negara terkait), persyaratan tentang afiliasi (misalkan harus berkedudukan di negara dengan tarif pajak rendah), hubungan dengan metode transfer pricing lainnya (bersifat melengkapi atau lebih diprioritaskan), dan sebagainya.

Kontroversi

SIXTH method memiliki keunggulan antara lain yaitu memberikan kepastian dan kemudahan dalam aplikasinya karena tidak membutuhkan analisis transfer pricing yang rumit, serta efisiensi pemungutan pajak (UN TP Manual, 2017). Namun, metode ini tidak lepas dari kontroversi.

Dikarenakan bukan salah satu dari lima metode transfer pricing utama dan tidak diterapkan secara setara di banyak negara, terdapat kemungkinan koreksi harga komoditas tersebut akan berujung pada economic double taxation. Metode tersebut juga tidak merepresentasikan kondisi ekonomi yang sebanding dan aktual sehingga akurasinya dipertanyakan.

Ide penerapan sixth method turut mewarnai diskusi Aksi-10 Proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), khususnya mengenai analisis transfer pricing atas komoditas. Namun demikian, penggunaan sixth method tetap tidak disarankan oleh OECD. Dalam Transfer Pricing Guidelines 2017, OECD justru memperjelas seluk beluk analisis transfer pricing atas komoditas dengan metode CUP.