Agar Adil, DJP Tidak Hanya Awasi Wajib Pajak Strategis
BERITA PAJAK HARI INI

JAKARTA, Tidak hanya terhadap wajib pajak strategis, Ditjen Pajak (DJP) juga mengawasi wajib pajak lainnya. Kebijakan yang dilakukan untuk menjamin kesetaraan perlakuan (equal treatment) tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Selasa (27/10/2020).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan pengawasan berbasis kewilayahan, baik yang belum maupun sudah memiliki NPWP. Namun, dia mengakui pengawasan ini sedikit terhambat karena adanya pembatasan sosial pada masa pandemi Covid-19.

“Tapi ke depan, kami akan tetap lakukan karena masih banyak yang belum teradministrasi dan belum melaksanakan kepatuhan perpajakannya dengan baik. Ini untuk memberikan fairness kepada wajib pajak strategis yang sudah dilihat dan diimbau terus,” jelas Hestu.

Dia mengatakan pengawasan yang baik akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Pada saat yang sama, akan ada kepastian hukum bagi wajib pajak. Simak pula artikel ‘Awasi WP Strategis, Fungsional Pemeriksa Pajak Langsung Dilibatkan’.

Selain mengenai pengawasan terhadap wajib pajak, ada pula bahasan tentang aturan turunan UU Cipta Kerja dan rencana kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT). Ada pula bahasan mengenai insentif pajak super deduction untuk kegiatan penelitian dan pengembangan (Litbang).

Berikut ulasan berita selengkapnya.

  • Belum Terjangkau

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan dalam pengawasan berbasis kewilayahan, account representative (AR) akan langsung ke lapangan untuk melakukan geotagging dan berkomunikasi dengan wajib pajak.

“Kami ingin memberikan equal treatment supaya adil. Pajak itu harusnya dibayar seluruh masyarakat, bukan hanya yang [wajib pajak] strategis. Kami awasi yang selama ini belum ada di sistem atau belum terjangkau dengan baik,” katanya. (DDTCNews)

  • Aturan Turunan UU Cipta Kerja

Terkait dengan perpajakan, otoritas akan menyusun aturan turunan UU Cipta Kerja paling lambat 3 bulan. Pemerintah akan menyusun 2 peraturan pemerintah (PP) dan merevisi lebih kurang sekitar 12 peraturan menteri keuangan (PMK) untuk mendukung pelaksanaan ketentuan perpajakan dalam UU Cipta Kerja.

Dirjen Pajak Suryo Utomo menerangkan dua PP yang hendak disusun antara lain PP yang ditetapkan untuk melaksanakan ketentuan perpajakan dalam UU Cipta Kerja serta PP khusus yang mengatur perlakukan perpajakan atas sovereign wealth fund (SWF).

"Lalu, ada sekitar 12 PMK yang terkait dengan UU PPh, UU PPN, dan UU KUP yang harus diubah untuk melaksanakan ketentuan UU Cipta Kerja ini," ujar Suryo. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)

  • Kenaikan Tarif Cukai Rokok

Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan Syarif Hidayat mengatakan pemerintah sangat intensif membahas rencana kenaikan tarif CHT atau cukai rokok. Pengumuman kenaikan tarif kemungkinan juga akan dilakukan di Istana.

Seperti yang diberitakan sebelumnya, hingga saat ini belum ada kesepakatan terkait dengan besaran kenaikan tarif cukai rokok. Kementerian Keuangan dikabarkan mengusulkan kenaikan tarif pada kisaran 15%—17%. (Bisnis Indonesia)

  • Insentif Pajak Kegiatan Litbang

Analis Kebijakan Madya Pusat Kebijakan Pendapatan Negara BKF Syarif Ibrahim Busono Adi mengatakan PMK super deduction kegiatan Litbang disusun dengan mempertimbangkan keseimbangan antara pemberian insentif yang tepat sasaran dan kesinambungan penerimaan negara.

Salah satu contoh kebijakannya adalah ketentuan pengurangan penghasilan bruto yang dibuat berjenjang. Tidak semua bisa bisa diklaim dalam satu tahun pajak yang sama. Pemberian besaran pengurangan juga berjenjang. Simak artikel ‘Ini Maksimal Pembebanan Pengurangan Penghasilan Bruto Tiap Tahun Pajak’.

"Jadi kebijakan super deduction secara gradasi dan jumlah pengurang yang dapat dimanfaatkan setiap tahun paling tinggi 40% menjadi cara pemerintah untuk memastikan kebijakan tepat sasaran dan menjaga kesinambungan kebijakan fiskal," katanya. (DDTCNews)

  • Menguntungkan Pengemplang Pajak

DJP merespons seruan untuk ramai-ramai tidak membayar pajak yang awalnya disampaikan tokoh akademisi dan masyarakat karena menolak UU Cipta Kerja. Mengajak orang tidak bayar pajak, menurut DJP, dapat menjerumuskan Indonesia ke jurang kerusakan yang dalam.

“Mengingat pula kepatuhan pajak Indonesia pada saat ini relatif masih rendah maka hal tersebut hanya akan menguntungkan orang yang selama ini tidak patuh membayar pajak atau para pengemplang pajak,” tulis DJP dalam laman resminya. Simak ‘Soal Seruan Ramai-Ramai Tidak Bayar Pajak, Ini Kata DJP’. (DDTCNews)