KONSEPSI negara hukum yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dirumuskan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3). Pasal tersebut menetapkan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.”Rumusan tersebut membawa konsekuensi bahwa hukum adalah panglima dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam konteks pajak, ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang dibuat harus didasarkan atas semangat Pasal 23A UUD 1945. Pasal tersebut menghendaki bahwa pajak dan pungutan lain diatur dengan undang-undang.
Terkait dengan pembentukan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, tentunya harus berpedoman pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 (UU No. 12/2011) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU No. 12/2011 menegaskan bahwa dalam membentuk ketentuan peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas-asas yang baik. Asas-asas tersebut meliputi kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki, materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, serta keterbukaan.
Permasalahan akan timbul apabila dalam suatu ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah mengatur suatu hal ternyata juga telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang memiliki substansi yang sama. Apabila terdapat ketentuan yang saling bertentangan antara ketentuan peraturan perundang-undangn perpajakan yang ada, apakah pertentangan tersebut bisa diterapkan asas lex specialis derogat legi generali?
Bagir Manan mengungkapkan, terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut, Ketentuan lex specialisharus sederajat dengan ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang), dan ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis (Manan, 2004: 58).
Kasus yang hendak disorot dalam tulisan ini adalah hubungan antara Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (UU Pengampunan Pajak) dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Dalam kedua undang-undang tersebut terdapat beberapa perbedaan ketentuan yang menimbulkan konflik norma antara kedua undang-undang perpajakan tersebut. Sebagai contoh, ketentuan Pasal 18 ayat (2) huruf b UU Pengampunan Pajak yang menyatakan sebagai berikut
“Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi mengenai Harta Wajib Pajak yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015 dan belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud, paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.”
Selanjutnya, Pasal 18 ayat (3) yang menentukan bahwa.
“Atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan dan ditambah dengan sanksi administrasi perpajakan berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar.”
Ketentuan di atas bertolak belakang dengan Pasal 22 ayat (1) UU KUP yang menyatakan sebagai berikut
“Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali.”
Berdasarkan ketentuan di atas, terdapat perbedaan jangka waktu yang signifikan antara yang diatur dalam UU KUP yang hanya membatasi sampai dengan 5 tahun dan yang diatur dalam UU Pengampunan Pajak yang mengatur sampai 30 tahun.
Lantas, bagaimana menyelesaikan pertentangan antara ketentuan di atas? Penyelesaian lebih sesuai apabila melalui pengingkaran karena asas lex specialis dalam konflik pragmatis atau dalam konflik logika, diinterpretasi sebagai pragmatis (Hadjon dan Djatmiati, 2016: 31). Terdapat berbagai jenis pengingkaran dalam menyelesaikan konflik norma, yaitu.
Pertama, pengingkaran (disavowal). Langkah ini seringkali merupakan suatu paradok dengan mempertahankan bahwa tidak terjadi konflik norma. Seringkali konflik itu terjadi berkenaan dengan asaslex specialis dalam konflik pragmatis atau konflik logika yang diinterpretasi sebagai pragmatis. Tipe iniberanggapan bahwa tidak terdapat konflik norma, meskipun dirasakan bahwa sesungguhnya terdapat konflik norma.
Kedua, reinterpretasi (reinterpretation). Dalam kaitan penerapan ketiga asas preferensi hukum harus dibedakan, yang pertama adalah reinterpretasi yaitu dengan mengikuti asas-asas preferensi hukum, menginterpretasi kembali norma yang utama dengan cara yang lebih fleksibel. Cara yang kedua yakni menginterpretasi norma preferensi dan kemudian menerapkan norma tersebut dengan menyampingkan norma yang lain.
Ketiga, pembatalan (invalidation). Terdapat 2 macam pembatalan, yakni pembatalan abstrak formal dan pembatalan praktikal. Pembatalan abstrak formal, yaitu pembatalan suatu norma yang dilaksanakan oleh suatu lembaga khusus, misalnya pembatalan Peraturan Pemerintah ke bawah dalam hierarki ketentuan peraturan perundang-undangan dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Semetara itu, pembatalan norma undang-undang terhadap UUD 1945 dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi. Adapun pembatalan praktikal, yaitu pembatalan suatu norma dengan cara tidak melaksanakan norma tersebut di dalam kasus konkrit.
Keempat, pemulihan (remedy). Mempertimbangkan pemulihan dapat membatalkan suatu ketentuan. Misalnya dalam hal suatu norma yang unggul dalam arti overruled norm, berkaitan dengan aspek ekonomi maka sebagai ganti membatalkan norma yang kalah dengan cara pemberian kompensasi.