1. Pendahuluan
Dalam berbagai aktivitas kehidupan manusia, pajak selalu terkait di dalamnya. Pernyataan tersebut sangat relevan jika dikaitkan dengan Undang-undang tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang baru saja disahkan oleh DPR RI. Di mana keterkaitannya? Inilah faktanya, tidak cukup hanya sekali kata “pajak” disisipkan dalam UU BHP, kata “pajak” muncul sebanyak tiga kali yaitu di Pasal 38 ayat (4), Pasal 43 ayat (4), dan Pasal 45 ayat (3).
Banyak pihak menganggap bahwa dengan lahirnya UU BHP tersebut biaya pendidikan semakin mahal dan semakin tidak terjangkau oleh masyarakat. Negara dituding menghindar dari kewajiban konstitusional di bidang pendidikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UUD 1945. Kekuatiran dan tudingan tersebut muncul karena negara mempersilahkan penyelenggara pendidikan untuk mendanai kegiatannya secara mandiri melalui pendirian badan hukum pendidikan.
Akan tetapi, perlu diperhatikan juga bahwa badan hukum pendidikan dimaksud harus didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu tidak didasarkan atas motivasi untuk mencari keuntungan bagi pemilik modal. Hal ini dikarenakan, laba yang diperoleh harus diinvestasikan kembali ke dalam badan hukum pendidikan untuk meningkatkan layanan mutu pendidikan, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 4 UU BHP.
Ditengah perdebatan yang mempertanyakan peran negara dalam mengucurkan anggarannya di bidang pendidikan (yang anggarannya juga berasal dari pajak), bagaimana instrumen pajak dapat ikut memberikan iklim kondusif dalam dunia pendidikan agar biaya pendidikan dapat relatif lebih murah dan terjangkau, serta mengingat badan hukum pendidikan didasarkan pada prinsip nirlaba, maka topik yang dibahas dalam tulisan ini adalah:
2. Pemajakan atas Organisasi Nirlaba
Untuk dapat menjawab pertanyaan di atas, berbagai teori atau pendekatan telah dikembangkan untuk menjelaskan keberadaan dan fungsi organisasi nirlaba, sehingga dapat dipakai sebagai kerangka teoritis apakah suatu organisasi nirlaba memang layak dipajaki atau tidak, serta bagaimana seharusnya mendesain dan mereformasi sistem perpajakan atas organisasi nirlaba tersebut.
Pada dasarnya, organisasi nirlaba dapat diklasifikasikan berdasarkan dua model, yaitu (i) tidak diperkenankan untuk membagikan laba yang diperolehnya (the prohibition of profit distribution model), dan (ii) bertujuan untuk kepentingan publik atau sosial (the public purpose model).[2] Pendirian organisasi nirlaba dimaksudkan untuk menjalankan fungsi sosial atau memproduksi barang dan jasa publik yang sifatnya tidak memberikan keuntungan secara finansial.
Oleh karena sifatnya yang tidak memberikan keuntungan maka tidak mungkin sektor swasta, yang berorientasi mencari keuntungan, mau menyediakan barang publik. Oleh karena itu, pemerintahlah yang harus menyediakannya. Akan tetapi, dapat saja terjadi pemerintah tidak mampu menyediakan seluruh atau sebagian barang atau jasa publik yang diperlukan masyarakat, sehingga sektor swasta dapat menggantikan peran pemerintah. Tentu saja sektor swasta bersedia menyediakan barang atau jasa publik jika mendapatkan keuntungan yang layak.
Terkait dengan badan penyelenggara pendidikan di Indonesia yang harus didasarkan kepada prinsip nirlaba, menjadi menarik untuk dipertanyakan:
21 September 2018
1. Pendahuluan
Dalam berbagai aktivitas kehidupan manusia, pajak selalu terkait di dalamnya. Pernyataan tersebut sangat relevan jika dikaitkan dengan Undang-undang tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang baru saja disahkan oleh DPR RI. Di mana keterkaitannya? Inilah faktanya, tidak cukup hanya sekali kata “pajak” disisipkan dalam UU BHP, kata “pajak” muncul sebanyak tiga kali yaitu di Pasal 38 ayat (4), Pasal 43 ayat (4), dan Pasal 45 ayat (3).
Banyak pihak menganggap bahwa dengan lahirnya UU BHP tersebut biaya pendidikan semakin mahal dan semakin tidak terjangkau oleh masyarakat. Negara dituding menghindar dari kewajiban konstitusional di bidang pendidikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UUD 1945. Kekuatiran dan tudingan tersebut muncul karena negara mempersilahkan penyelenggara pendidikan untuk mendanai kegiatannya secara mandiri melalui pendirian badan hukum pendidikan.
Akan tetapi, perlu diperhatikan juga bahwa badan hukum pendidikan dimaksud harus didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu tidak didasarkan atas motivasi untuk mencari keuntungan bagi pemilik modal. Hal ini dikarenakan, laba yang diperoleh harus diinvestasikan kembali ke dalam badan hukum pendidikan untuk meningkatkan layanan mutu pendidikan, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 4 UU BHP.
Ditengah perdebatan yang mempertanyakan peran negara dalam mengucurkan anggarannya di bidang pendidikan (yang anggarannya juga berasal dari pajak), bagaimana instrumen pajak dapat ikut memberikan iklim kondusif dalam dunia pendidikan agar biaya pendidikan dapat relatif lebih murah dan terjangkau, serta mengingat badan hukum pendidikan didasarkan pada prinsip nirlaba, maka topik yang dibahas dalam tulisan ini adalah:
2. Pemajakan atas Organisasi Nirlaba
Untuk dapat menjawab pertanyaan di atas, berbagai teori atau pendekatan telah dikembangkan untuk menjelaskan keberadaan dan fungsi organisasi nirlaba, sehingga dapat dipakai sebagai kerangka teoritis apakah suatu organisasi nirlaba memang layak dipajaki atau tidak, serta bagaimana seharusnya mendesain dan mereformasi sistem perpajakan atas organisasi nirlaba tersebut.
Pada dasarnya, organisasi nirlaba dapat diklasifikasikan berdasarkan dua model, yaitu (i) tidak diperkenankan untuk membagikan laba yang diperolehnya (the prohibition of profit distribution model), dan (ii) bertujuan untuk kepentingan publik atau sosial (the public purpose model).[2] Pendirian organisasi nirlaba dimaksudkan untuk menjalankan fungsi sosial atau memproduksi barang dan jasa publik yang sifatnya tidak memberikan keuntungan secara finansial.
Oleh karena sifatnya yang tidak memberikan keuntungan maka tidak mungkin sektor swasta, yang berorientasi mencari keuntungan, mau menyediakan barang publik. Oleh karena itu, pemerintahlah yang harus menyediakannya. Akan tetapi, dapat saja terjadi pemerintah tidak mampu menyediakan seluruh atau sebagian barang atau jasa publik yang diperlukan masyarakat, sehingga sektor swasta dapat menggantikan peran pemerintah. Tentu saja sektor swasta bersedia menyediakan barang atau jasa publik jika mendapatkan keuntungan yang layak.
Terkait dengan badan penyelenggara pendidikan di Indonesia yang harus didasarkan kepada prinsip nirlaba, menjadi menarik untuk dipertanyakan:
- Benar-benar ingin menjalankan fungsi sosial.
- Ingin mendapatkan keuntungan dari investasi modal yang ditanamkan walaupun ditribusi laba terhadapnya akan dikenakan pajak (Peraturan Menteri Keuangan (PMK) -87/PJ./1995, Pasal 4 ayat (3) huruf m UU PPh, dan ditegaskan oleh Pasal 38 ayat (4) UU BHP). Hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa badan hukum pendidikan memberikan keuntungan yang besar, sehingga beban pajak tidak menjadi penghalang bagi para investor untuk tetap melakukan inventasi pada bidang pendidikan.
Dalam tulisan ini, pertanyaan yang hendak dibahas adalah apakah mungkin pemilik modal bersedia menginvestasikan dananya di badan hukum pendidikan yang berbasis nirlaba, tanpa motivasi untuk mencari keuntungan? Motivasi inilah sebagai pijakan berpikir, apakah suatu badan hukum pendidikan nirlaba memang harus dikenakan pajak atau tidak.
Menjadi permasalahan, bagaimana caranya mengukur motivasi tersebut? Motivasi untuk mencari laba atau tidak mencari laba dapat ditentukan dari perlakuan atas laba itu sendiri, yaitu apakah diinvestasikan kembali dalam badan hukum pendidikan, untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan, atau laba tersebut didistribusikan kepada pemilik modal. Jika laba diinvestasikan lagi ke dalam badan hukum pendidikan maka tidak ada alasan untuk mengenakan pajak atas badan hukum pendidikan nirlaba tersebut. Akan tetapi, jika didistribusikan kepada pemilik modal maka badan hukum pendidikan tersebut sangat layak untuk dikenakan pajak.
3. Pemajakan atas Institusi Pendidikan Nirlaba di Beberapa Negara
Terdapat tiga model sistem perpajakan atas organisasi nirlaba yang dikembangkan di beberapa negara, yaitu:[3]
- Pengurangan tarif pajak (misalnya dianut oleh Italia yang memberikan pengurangan tarif pajak sebesar 50% dari tarif normal).
- Atas penghasilan tertentu dikecualikan dari pengenaan pajak.
Model partial exemption inilah yang paling banyak dianut oleh negara-negara di dunia.
Sebagai perbandingan, di India, berdasarkan Income Tax Act 1961, memberikan pembebasan pajak secara otomatis atas penghasilan yang diterima dari universitas atau institusi pendidikan yang tidak bertujuan untuk mencari laba sepanjang organisasi tersebut mengakumulasi laba sesuai dengan tujuan semula didirikannya organisasi tersebut.[4]
4. Isu Penghindaran Pajak dalam Organisasi Nirlaba[5]
Saat ini, India sedang gencar-gencarnya melakukan pemeriksaan pajak atas berbagai organisasi pendidikan nirlaba, karena diindikasi banyak di antara mereka melakukan praktik penghindaran pajak dengan cara mendistribusikan sisa hasil usaha melalui cara tidak langsung (indirect distribution). Hal ini dapat terjadi jika, misalnya organisasi nirlaba tersebut melakukan pembelian barang atau pembayaran jasa dalam jumlah yang melebihi kewajaran, di mana pembayaran tersebut sebenarnya ditujukan kepada pemilik modal.
Sedangkan di Italia, untuk mencegah praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh organisasi nirlaba, yaitu dengan cara memperlakukan transaksi-transaksi di bawah ini, sebagai pembagian laba (deemed profit) yang dikenakan pajak:
5. Perpajakan atas Institusi Pendidikan di Indonesia
Secara garis besar, ketentuan perpajakan atas organisasi pendidikan di Indonesia antara lain sebagai berikut ini:
1. Dari sisi badan hukum pendidikan:
a. Pajak Penghasilan (PPh) Badan
Laba yang diperoleh oleh organisasi yang menyelenggarakan pendidikan formal, yang diinvestasikan kembali dalam bentuk pembangunan gedung dan prasarana pendidikan, tidak dikenakan PPh. Akan tetapi, apabila laba tersebut setelah lewat dari 4 (empat) tahun, tidak digunakan untuk membangun gedung dan prasarana pendidikan maka akan dikenakan pajak penghasilan pada tahun pajak berikutnya setelah lewat jangka waktu 4 (empat) tahun tersebut (Peraturan Menteri Keuangan (PMK)-87/PJ./1995, Pasal 4 ayat (3) huruf m UU PPh, serta ditegaskan juga dalam Pasal 38 ayat (4) UU BHP).
b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
- Atas jasa pendidikan yang diberikan tidak dikenakan PPN (Pasal 5 PP No. 144 tahun 2000). Akan tetapi, untuk pembangunan gedung untuk proses belajar mengajar, baik yang dibangun sendiri (Pasal 16C UU PPN), atau melalui kontraktor tetap dikenakan PPN (PP No. 146 tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan PP No. 38 tahun 2003).
- Atas impor dan penyerahan buku pelajaran, dibebaskan dari pengenaan PPN (PP No. 146 tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan PP No. 38 tahun 2003).
2. Dari sisi donatur
Sumbangan fasilitas penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia (Pasal 6 ayat (1) huruf j UU PPh), serta pendidikan (Pasal 6 ayat (1) huruf l UU PPh) dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan kena pajak bagi si pemberi sumbangan.
Dari beberapa contoh peraturan pajak di atas, tampak bahwa pemerintah telah memberikan fasilitas keringanan pajak atas badan hukum pendidikan. Dalam kaitannya dengan pemajakan atas laba dari badan hukum pendidikan, pengenaan pajak atas laba tersebut hanya akan dikenakan pajak jika tidak dipergunakan untuk membangun sarana dan prasarana pendidikan dalam kurun waktu 4 (empat) tahun.
Akan tetapi, terkait dengan PPN, berdasarkan ketentuan di atas, apabila badan hukum pendidikan melakukan pembangunan gedung pendidikan, akan terkena PPN yang tidak dapat direstitusi. Tentu PPN yang tidak dapat direstitusi ini akan menjadi biaya, yang pembebanannya dapat saja digeser kepada para peserta didik.
6. Kesimpulan
Di tengah perdebatan atas kekuatiran semakin tidak terjangkaunya biaya pendidikan dengan munculnya UU BHP ini, sebenarnya negara melalui pemerintah dapat memberikan keringanan pajak (PPh, PPN, dan PBB) lebih besar lagi kepada badan hukum pendidikan yang berbasis nirlaba. Hal ini dapat dilakukan mengingat: (i) pentingnya pendidikan bagi kemajuan bangsa, (ii) masih terbatasnya kucuran anggaran negara kita kepada bidang pendidikan, serta (iii) status dari badan hukum pendidikan yang berbasis nirlaba, maka sudah sewajarnya pemerintah tidak mengenakan pajak kepada badan hukum pendidikan.
Dengan tidak dikenakannya pajak atas badan hukum pendidikan, diharapkan dapat meringankan biaya penyelenggaran pendidikan yang pada gilirannya dapat mengurangi biaya pendidikan yang dibebankan kepada peserta didik.
[1] Penulis adalah Pengamat Perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center, S2 dalam bidang Hukum Pajak Internasional dan Eropa dari Tilburg University Belanda dan Katholieke Universiteit Leuven Belgia. Serta S2 dalam bidang Administrasi dan Kebijakan Perpajakan Universitas Indonesia.
[2] David Gliksberg, General Report of the Taxation of Non-Profit Organizations, International Fiscal Association (IFA), 1999, hal. 27.
[3] David Gliksberg, General Report of the Taxation of Non-Profit Organizations, International Fiscal Association (IFA), 1999, hal. 35.
[4] Milton Cerny & Marva J Rowan, Indian Tax Law Create Potential for Nonprofits, Tax Notes International, 2004, hal. 725.
[5] Eugenio Pinto, Taxation of Not Profits Organization, IFA Congress 1999, Italy.
*Tulisan ini pernah dimuat di ortax.org dan rilis tanggal 23 Februari 2009