PAJAK dan negara tidak dapat dipisahkan, bagaikan duo sejoli yang selalu beriringan. Tidak dapat dipungkiri bahwa penerimaan negara yang bersumber dari pajak adalah penyumbang APBN tertinggi dan juga memperlihatkan tingkat kemandirian negara dalam membiayai belanjanya (Kementerian Keuangan, 2016). Sistem pemungutan pajak di Indonesia tidak hanya self assessment system, tetapi juga dikombinasikan dengan withholding system melalui wajib pajak pemotong dan/atau pemungut, termasuk wajib pajak Bendahara.
Ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan No.36 tahun 2008 (UU PPh) bahwa pemotong dan/atau pemungut pajak termasuk dalam kategori wajib pajak sehingga mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Istilah Bendaharawan Pemerintah dimaknai sebagai Pejabat Bendahara yang melakukan pembayaran yang dananya berasal dari APBN, APBD, dan APBDes. Artinya, setiap instansi yang melakukan pengelolaan dana yang bersumber dari APBDes, APBD ataupun APBN, harus melaksanakan kewajiban seperti halnya Bendaharawan Pemerintah, tidak terkecuali adalah Bendahara yang berada di desa atau yang biasa disebut dengan Bendahara Desa.
Jabatan Bendahara Desa sudah ada dalam struktur pemerintahan desa walaupun mungkin tidak dengan istilah yang sama, akan tetapi jarang disinggung sebagai Bendahara dalam petunjuk teknis perpajakan baik dalam buku literatur, artikel, maupun dalam buku Bendahara Mahir Pajak yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Walaupun dalam struktur pendanaan keuangan di Desa, terdapat sumber-sumber penerimaan yang berasal dari APBD maupun APBN.
Setelah UU Desa tahun 2014 ditetapkan, pemerintah mulai memperhatikan ketertiban pengelolaan keuangan desa dengan menerbitkan beberapa peraturan teknis di bawahnya seperti Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri, termasuk didalamnya juga menjelaskan tentang kewajiban Bendahara Desa dalam bidang perpajakan.
Bendahara Desa memiliki kedudukan yang penting dalam struktur organisasi pengelolaan keuangan desa. Menurut Pasal 7 Peraturan Menteri Dalam Negeri No.113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, Bendahara Desa merupakan salah satu anggota Pelaksana Teknis Pengelola Keuangan Desa (PTPKD) dan staf Kepala Urusan (Kaur) Keuangan. Tugas dari Bendahara Desa seperti yang tertera dalam Pasal 7 PMK 113/2014 adalah sebagai berikut
Sayangnya, dalam peraturan-peraturan tersebut tidak ada satupun yang menyebutkan dengan jelas bahwa salah satu tugas Bendahara maupun Bendahara Desa adalah melakukan pemotongan dan pemungutan pajak atas belanja yang menggunakan dana yang berasal dari APBD ataupun APBN. Padahal, dalam UU PPh sudah jelas terdapat pasal khusus yang mengatur tentang transaksi pembelian barang dengan sumber dana APBD atau APBN yang menjadi objek PPh Pasal 22.
Belum lagi, pada pasal-pasal lainnya dalam UU PPh yang menjelaskan tentang pemotong pajak, menyebutkan bendahara termasuk sebagai pihak yang diwajibkan melakukan pemotongan pajak atas penghasilan yang diberikan kepada penerima, baik kepada wajib pajak orang pribadi maupun wajib pajak badan. Mungkin hal tersebut adalah salah satu penyebab Bendahara masih sering mengalami permasalahan jika berhubungan dengan pemenuhan kewajiban perpajakannya.
Tugas dari Bendahara Pemerintah di bidang perpajakan tidaklah sederhana dan tidak dapat dianggap remeh. Bayangkan saja, bagaimana seorang Bendahara yang sehari-harinya telah berjibaku dengan tugas rutin, tetapi masih harus melakukan kewajiban perpajakannya sedangkan Ia sendiri kurang begitu memahami keseluruhan implementasi dari kewajiban perpajakannya tersebut.
Sementara itu, kewajiban memungut dan/atau memotong dan menyetor pajak akan mengikuti pada setiap transaksi, sedangkan kewajiban melaporkan akan mengikuti pada setiap bulan atau setiap masa pajak. Selain itu, sebagai bendahara, kewajiban membuat laporan bulanan juga harus dilakukan setiap bulan.
Beberapa kajian empiris yang pernah dilakukan terkait dengan kepatuhan maupun ketepatan Bendaharawan Pemerintah dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beban pekerjaan dari Bendaharawan, terlalu dekatnya tanggal jatuh tempo penyetoran pajak dengan jadwal laporan bulanan. Kurangnya pemahaman Bendahara atas aturan perpajakan menyebabkan tidak semua kewajiban perpajakan dapat dipenuhi (Ahmad, 2016).
Begitu pula dengan Bendahara Desa, temuan menunjukkan juga masih belum melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar. Dilain pihak, pemeriksa eksternal maupun internal juga tidak begitu memahami perhitungan pajak, banyak pemeriksa yang hanya melihat anggaran secara global dan langsung menghitung PPN maupun PPh dari angka tersebut atau hanya memeriksa pajak sudah terbayar melalui keberadaan SSP pada laporan pertanggungjawaban (LPJ).
Bendaharawan seringkali beranggapan bahwa untuk urusan pajak, yang penting adalah “bayar” saja, tanpa memperhatikan kebenaran dari perhitungan pembayarannya tersebut. Padahal, jika dikaji lebih dalam, hal tersebut dapat merugikan Bendahara dan penerima penghasilan baik ketika terjadi “lebih bayar” maupun “kurang bayar”.
Apa saja sebenarnya titik kritis Bendaharawan, termasuk bagi Bendahara Desa dalam mengidentifikasikan kewajiban memungut dan memotong PPh dan PPN? Kewajiban yang paling dipatuhi adalah kewajiban memiliki NPWP. Sementara itu, masih ada kewajiban lain yang masih ada ketidaksempurnaan dalam pelaksanaannya.
Beberapa titik kritis yang dapat diidentifikasikan pada praktik bendaharawan antara lain sebagai berikut
Lalu, bagaimanakah sebaiknya? Apakah didiamkan saja? Tentu tidak bisa seperti itu karena bagaimanapun juga, ketidakpatuhan atauapun permasalahan tersebut baik disengaja maupun tidak disengaja memiliki dampak pada penerimaan negara yang berasal dari pajak. Apabila dibiarkan maka lama kelamaan akan semakin besar, mengingat alokasi Dana Desa pada tahun-tahun mendatang juga akan semakin besar yang akan mengakibatkan Dana yang dikelola oleh desa juga akan semakin tinggi.
Beberapa solusi yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut