PAJAK Pertambahan Nilai (PPN) kita yang menerapkan “substractive-indirect method” menempatkan Faktur Pajak sebagai dokumen krusial dan penting. Faktur pajak menentukan kewajiban perpajakan bagi Penjual dan hak pengkreditan Pajak Masukan bagi pembeli (Tait, 1988). Demikianlah maka ketentuan tentang Faktur Pajak dalam peraturan perundang-undangan pajak di Indonesia juga diatur sedemikian rupa demi menjamin terselenggaranya pemungutan PPN dengan baik.
Ketentuan yang mengatur tentang Faktur Pajak tidak hanya terdapat pada Peraturan PPN, tetapi ada juga di Peraturan Ketentuan Umum Perpajakan – sebagai aturan formil –, dan bahkan pada Peraturan Pajak Penghasilan. Selain diatur dalam 6 pasal dalam UU PPN dan UU KUP, jumlah peraturan perundang-undangan – dari Peraturan Pemerintah sampai dengan Surat Edaran Dirjen Pajak – yang menyebut kata Faktur Pajak tercatat sebanyak 565 buah.
Mayoritas aturan yang menyebut Faktur Pajak mengatur mengenai jenis penyerahan yang harus dibuat Faktur Pajak, bentuk Faktur Pajak, saat/waktu pembuatan Faktur Pajak, dan sanksi terkait dengan Faktur Pajak. Baik penjual maupun pembeli pada dasarnya harus mengetahui aturan mengenai Faktur Pajak dengan baik agar tidak dikenakan sanksi maupun risiko tidak dapat dikreditkannya suatu Pajak Masukan.
Oleh karena itu penulis akan mengupas ketentuan Faktur Pajak di Indonesia beserta risiko yang dapat timbul. Selanjutnya, pada bagian akhir akan disajikan persoalan aspek yuridis tentang ketentuan-ketentuan sehubungan dengan Faktur Pajak.
Manajemen Risiko Pajak
MANAJEMEN risiko pajak (tax risk management) terkait dengan Faktur Pajak merupakan upaya mengelola dan mencegah terjadinya risiko berupa sanksi dan tidak dapat dikreditkannya Pajak Masukan. Setidaknya terdapat lima hal yang berpotensi menciptakan risiko tersebut.
Pertama, berasal dari ketentuan tentang bentuk Faktur Pajak, khususnya mengenai tata cara pengisian Faktur Pajak. Pertama-tama harus dipahami bahwa upaya pengawasan kepatuhan turut tercermin dalam aturan mengenai kode transaksi, status, dan nomor seri Faktur Pajak. Praktik di lapangan menunjukkan kemungkinan terjadinya kesalahan penulisan kode transaksi. Kemungkinan kesalahan penulisan kode transaksi disebabkan banyaknya kode yang harus dicermati dan dipilih (01 sampai dengan 09).
Pengusaha pembuat Faktur Pajak yang kurang teliti boleh jadi melakukan kesalahan penulisan kode transaksi. Padahal Faktur Pajak harus memenuhi tiga syarat yaitu benar, lengkap, dan jelas. Jika hal ini ditemukan otoritas – berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak –, Pengusaha pembuat faktur pajak dikenakan sanksi 2% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Sebaliknya, Pengusaha Pembeli (penerima Faktur Pajak), kesalahan kode transaksi juga menyebabkan PPN Masukan yang dibuktikan dengan Faktur Pajak tersebut menjadi tidak boleh dikreditkan.
Kedua, saat penggunaan nomor seri Faktur Pajak. Pada situasi di mana terjadi keterlambatan memperoleh Surat Pemberian Nomor Seri Faktur Pajak (SPNSFP) dari Kantor Pajak, atas Faktur Pajak yang menggunakan nomor seri berdasarkan SPNFSP tanggalnya mendahului tanggal SPNFSP dianggap Faktur Pajak tidak lengkap. Konsekuensinya, Pengusaha penerbit Faktur Pajak akan dikenakan sanksi 2% dari DPP, sedangkan bagi Pengusaha penerima Faktur Pajak tidak boleh mengkreditkan PPN Masukan yang tertera pada Faktur Pajak tersebut. Hal ini ditegaskan dalam SE-26/PJ/2015.
Menariknya, pada era sebelum SE tersebut terbit, dokumen SPNSFP yang diterima Pengusaha Penerbit Faktur Pajak hanya menyebut tahun penggunaan Nomor Seri Faktur Pajak, bukan tanggal penggunaan. Terlebih lagi, tanpa adanya informasi dari Pengusaha Penerbit Faktur Pajak, Pengusaha penerima Faktur Pajak tidak mungkin mengetahui kemungkinan bahwa tanggal Faktur Pajak mendahului tanggal SPNSFP.
Oleh karena itu Pengusaha Kena Pajak harus mengantisipasi risiko pajak yang dapat timbul dari ketentuan tersebut. Caranya, dengan terus memonitor nomor seri faktur pajak yang sudah digunakan dan segera meminta nomor seri faktur pajak sebelum jatah penomorannya habis. Selain itu, — dalam rangka menghindari risiko – ketentuan tersebut mendorong Pengusaha penerima Faktur Pajak untuk meminta fotocopy SPNSFP dari supplier-nya padahal SPNSFP bersifat rahasia.
Satu hal lagi, beleid tersebut turut memberi ‘jalan keluar’ atas kasus tanggal faktur yang mendahului tanggal SPNSFP. Solusinya yaitu dengan cara membatalkan Faktur Pajak yang tanggalnya mendahului tersebut, lalu membuat Faktur Pajak baru dengan tanggal yang sesuai dengan tanggal SPNSFP. Cara ini memang bermanfaat bagi Pengusaha penerima Faktur Pajak, karena dengan Faktur Pajak yang baru PPN-nya menjadi bisa dikreditkan, meski tetap dibatasi oleh waktu 3 bulan toleransi jangka waktu penerbitan Faktur Pajak yang bisa dikreditkan. Sungguhpun demikian, cara tersebut tetap tidak bisa menghilangkan risiko sanksi 2% dari DPP bagi Pengusaha Penerbit Faktur Pajak. Faktur Pajak baru dengan tanggal yang tidak mendahului tanggal SPNSFP tentu merupakan Faktur Pajak yang terlambat diterbitkan.
Ketiga, berkenaan dengan pengisian Surat Setoran Pajak (SSP) sehubungan dengan pemanfaatan jasa kena pajak atau barang tidak berwujud dari luar daerah pabean. SSP untuk pembayaran PPN atas pemanfaatan jasa kena pajak atau barang tidak berwujud dari luar daerah pabean merupakan dokumen yang dipersamakan dengan Faktur Pajak. Oleh karena itu spirit atas ketentuan dalam hal pengisiannya juga tidak berbeda jauh dengan Faktur Pajak. Salah tulis yang terjadi dapat berakibat bagi tidak diperkenankannya PPN yang dibayar sebagai Pajak Masukan yang bisa dikreditkan.
Pada penerapan di lapangan, kerap terjadi kesalahan pengisian kode setoran pajaknya maupun nama wajib pajaknya. Adanya konsekuensi risiko atas kesalahan penulisan SSP atas pemanfaatan jasa atau barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, menjadi alasan mengapa pengusaha yang memanfaatkan jasa atau impor dari luar daerah pabean dituntut ketelitiannya.
Keempat, berkenaan dengan ketentuan saat pelaporan Faktur Pajak. Berbeda dengan ketentuan saat pembuatan Faktur Pajak yang sudah lebih ramah dengan dunia usaha -berupa diperkenankannya pembuatan faktur pajak mengikuti tanggal invoice, meskipun barang sudah berpindah penguasaan kepada pembeli, sepanjang dalam koridor kelaziman praktik akuntansi yang konsisten-, ketentuan saat pelaporan Faktur Pajak tetap konservatif.
Bahkan, dalam hal terjadi pembetulan SPT PPN akibat baru disadari adanya Faktur Pajak yang belum dilaporkan, maka atas Faktur Pajak tersebut dikenakan sanksi 2% dari DPP. Hal ini ditegaskan dalam S-39/PJ.02/2018 yang merupakan Surat Jawaban Dirjen pajak kepada salah satu KPP. Meskipun ketentuan yang dinyatakan dalam Surat tidak dapat dianggap sebagai peraturan perundang-undangan, namun dalam praktek tentu djadikan rujukan oleh petugas otoritas pajak demi kepatuhan organisasi.
Kelima, terkait tidak dilaporkannya suatu eskpor dalam SPT PPN. Meskipun atas ekspor terutang PPN 0%, namun ketentuan yang ada menyatakan bahwa PEB dan Invoice merupakan dokumen yang dipersamakan dengan Faktur Pajak. Dalam praktek bukan tidak mungkin terjadi ada suatu ekspor yang tidak terlapor oleh Pengusaha Kena Pajak. Biasanya ekspor yang tidak terlapor adalah ekspor yang bukan merupakan penjualan, seperti pengiriman sample atau re-ekspor barang rejected kepada penjual di luar negeri.
Atas tidak terlapornya PEB pada SPT PPN dapat dikenakan tagihan sanksi 2% dari DPP. Risiko ini dapat mengejutkan si Pengusaha, karena boleh jadi Pengusaha berpikir bahwa tidak dilaporkannya ekspor tidak berimplikasi bagi kurang bayar PPN mengingat tarif PPN atas ekspor adalah 0%.
Aspek Yuridis Sanksi
ANGKA 2% boleh jadi terkesan kecil, namun mengingat dasarnya adalah DPP dan tarif PPN 10%, maka dengan kata lain sanksinya adalah 20% dari nilai PPN-nya. Tentu hal ini bukanlah nilai yang kecil. Jika memakai sanksi bunga 2% atas keterlambatan pembayaran pajak sebagai rujukan, maka kesalahan ini seolah-olah langsung terkena bunga 10 bulan. Meskipun ketentuan sanksi ini ada sejak UU PPN mulai berlaku tahun 1985, tetapi apakah pantas atas kesalahan yang bersifat administratif -bahkan yang hanya berupa kesalahan-kesalahan penulisan sebagaimana diuraikan di atas, apalagi kesalahan-kesalahan tersebut tidak merugikan negara- dikenakan sanksi sebesar itu?
Barangkali bisa dimaklumi jika sanksi 2% atas DPP diterapkan atas kesalahan berupa salah tulis nama dan alamat Pembuat Faktur Pajak (Penjual) yang merupakan kesalahan mendasar, mengingat dengan kesalahan itu otoritas pajak kesulitan mengontrol pembayaran PPN-nya oleh Pengusaha pembuat Faktur Pajak. Demikian pula kesalahan penulisan nama dan alamat Penerima Faktur Pajak (Pembeli) yang bisa diartikan bahwa Faktur tersebut bukan menjadi hak si Penerima Faktur Pajak.
Di lain pihak kesalahan penulisan kode transaksi, pembuatan faktur pajak yang mendahului tanggal SPNSFP, ataupun kesalahan pengisian SSP untuk pemanfaatan jasa atau barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, tentu tidak menyebabkan otoritas pajak kehilangan jejak untuk mengontrol pembayaran PPN-nya. Bahkan, kesalahan pengisian SSP untuk pemanfaatan jasa atau barang tidak berwujud dari luar daerah pabean dipastikan PPN-nya sudah disetor ke negara. Terlebih lagi, untuk kasus ekspor -yang nota bene hanya terutang 0%- yang tidak terlapor di SPT PPN, pengenaan sanksi 2% menjadi terasa berlebihan.
Memang benar bahwa dalam rangka untuk menjamin terlaksananya pembuatan Faktur Pajak sesuai dengan standar mensyaratkan adanya sanksi (Williams, 1996), namun besaran sanksi yang berlebihan cenderung akan mencederai rasa keadilan.
Untungnya sejak diterapkannya sistem eFaktur, kesalahan nama, dan alamat serta NPWP Pembuat dan Penerima Faktur Pajak menjadi tidak mungkin dilakukan. Dengan eFaktur kesalahan pengisian nama pembeli tidak akan menghasilkan suatu Faktur Pajak. Sayangnya sistem eFaktur belum bisa mencegah kesalahan-kesalahan administratif berupa salah mengisi kode transaksi dan kesalahan mengisi SSP untuk pemanfaatan jasa atau barang tidak berwujud dari luar daerah pabean. Faktur pajak tetap akan terbuat walaupun terjadi kesalahan pengisian kode transaksi.
Kesalahan berupa keterlambatan meminta nomor seri Faktur Pajak malahan langsung diketahui oleh sistem eFaktur. Akibatnya bahkan tidak dimungkinkan lagi ditempuhnya jalan keluar berupa pembatalan Faktur Pajak yang selanjutnya dibuat Faktur Pajak baru yang tanggalnya sesuai dengan SPNSFP. Satu-satunya cara menanggulangi kasus itu adalah meminta Pembeli mengembalikan barang yang dibeli (Retur) lalu Penjual membatalkan Faktur Komersialnya untuk selanjutnya menyerahkan kembali barang dagangannya yang diikuti dengan pembuatan Faktur Komersial dan Faktur Pajak baru dengan tanggal yang sesuai dengan SPNSFP.
Sanksi denda 2% dari DPP secara yuridis didasarkan atas ketentuan dalam Pasal 14 ayat (4) UU KUP. Dalam batang tubuh UU KUP pada Pasal 14 ayat (4) dinyatakan bahwa sanksi administrasi 2% dari DPP dikenakan terhadap Pengusaha Kena Pajak yang tidak membuat Faktur Pajak atas penyerahan yang seharusnya dibuat Faktur Pajak, tidak tepat waktu membuat Faktur Pajak, tidak lengkap mengisi Faktur Pajak, dan melaporkan Faktur Pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan Faktur Pajak. Dalam penjelasannya terdapat tambahan kasus yang juga dapat dikenakan sanksi Pasal 14 ayat (4), yaitu melaporkan Faktur Pajak tidak tepat waktu.
Padahal, kasus melaporkan Faktur Pajak tidak tepat waktu adalah kasus yang berbeda. Kasus ini timbul pada saat keterlambatan melaporkan Faktur Pajak, seperti misalnya kejadian dilaporkannya Faktur Pajak yang belum diperhitungkan sebagai pajak keluaran lalu diperhitungkan/dilaporkan melalui SPT Pembetulan pada waktu yang melewati waktu pelaporannya. Di sisi lain kasus melaporkan Faktur Pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan contohnya adalah Faktur Pajak tanggal Maret dilapor pada SPT Mei. Kasus seperti ini sejak digunakannya eSPT justru tidak dimungkinkan terjadi.
Adanya tambahan jenis pelanggaran (terlambat lapor) pada penjelasan yang tidak diatur dalam batang tubuh merupakan hal yang kurang selaras dengan kaidah penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No. 11 Tahun 2011 sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 15 Tahun 2019). Akibatnya penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP) untuk menagih sanksi keterlambatan pelaporan Faktur Pajak bisa digugat oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerima STP.
Lebih jauh lagi, sesungguhnya klausul dalam Batang tubuh dan Penjelasan Pasal 14 ayat (1) huruf e dan ayat (4) hanya menyebut Faktur Pajak yang tidak lengkap. Faktur Pajak yang salah tulis tidak disebutkan. Demikian pula dalam Batang tubuh Pasal 13 ayat (5) UU PPN juga hanya mensyaratkan keterangan minimal yang harus dicantumkan dalam Faktur Pajak. Dengan kata lain Batang tubuh Pasal 13 ayat (5) hanya mengatur tentang kelengkapan Faktur Pajak, walaupun dalam Penjelasannya menyebut kriteria yang lebih luas, yaitu lengkap, benar dan jelas. Dalam hal ini bisa diasumsikan bahwa bagian Penjelasan justru bersifat menambah/memperluas atas apa yang telah tertera dalam batang tubuh. Hal ini tentu tidak sesuai pula dengan kaidah penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Jika hanya melihat Pasal 14 ayat (4) UU KUP dan batang tubuh Pasal 13 ayat (5) UU PPN sebenarnya keduanya berifat harmonis, yaitu hanya mengatur pelanggaran tidak mengisi Faktur Pajak dengan lengkap dan sanksinya. Namun Penjelasan Pasal 13 ayat (5) UU PPN menyebut klausul tambahan yaitu jelas dan benar, sehingga syarat formil Faktur Pajak harus memenuhi ketiga unsur tersebut. Hal ini diperkuat lagi dengan ayat (9) dari Pasal 13 UU PPN.
Tinjauan historis mengenai hal ini menunjukkan bahwa kriteria lengkap, jelas dan benar untuk Faktur Pajak dimulai sejak UU No. 11 Tahun 1994. Sebelumnya ketika UU PPN yang pertama (UU No. 8 tahun 1983), kriteria Faktur yang dipersyaratkan hanya lengkap. Tiga kriteria tersebut (lengkap, jelas dan benar) boleh jadi mengambil dari kriteria pengisian SPT yang sejak awal sudah ditegaskan dalm UU KUP. Berdasarkan pada fakta ini, maka sesungguhnya terdapat persoalan antara Pasal 14 ayat (4) KUP dengan Penjelasan Pasal 13 ayat (5) dan Pasal 13 ayat (9) UU PPN. Persoalannya adalah Pasal 14 ayat (4) hanya mengatur sanksi atas faktur pajak yang tidak lengkap sedangkan Penjelasan Pasal 13 ayat (5) dan Pasal 13 ayat (9) mengatur Faktur Pajak yang memenuhi syarat formil adalah Faktur Pajak yang lengkap, jelas dan benar. Oleh karena itu penerbitan STP berdasarkan Pasal 14 ayat (4) UU KUP atas kasus Faktur Pajak yang tidak benar tapi lengkap menjadi kurang tepat.
Barangkali didorong oleh kesadaran adanya ketidaktepatan antara Penjelasan Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9) dengan Pasal 14 ayat (4) UU KUP, maka sejak Perdirjen No.PER-24/2012 baru dibuat definisi bahwa Faktur Pajak tidak lengkap adalah faktur yang tidak memenuhi kelengkapan keterangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 13 ayat (5) dan/atau mencantumkan keterangan yang tidak sebenarnya atau sesungguhnya dan/atau diisi tidak sesuai dengan tata cara dan prosedur sebagaimana diatur dalam Perdirjen tersebut. Hal ini sekaligus memperbaiki ketentuan pada peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan Dirjen sebelumnya yang malahan menyebut istilah yang sama sekali tidak disebut dalam UU, yaitu Faktur Pajak cacat.
Dengan definisi Faktur Pajak lengkap yang lebih luas seperti itu Fiskus berharap kesalahan pengisian, ketidaksesuaian tata cara pembuatan faktur pajak tetap bisa dicakup oleh Pasal 14 ayat (4) UU KUP. Sungguhpun demikian secara hierarki peraturan perundang-undangan cara ini tetap kurang tepat, karena Perdirjen suatu aturan yang jauh di bawah UU seharusnya tidak boleh menambah atau memperluas ketentuan yang diatur dalam UU.
Akhirnya, sehubungan dengan akan diadakannya kembali tax reform yang juga menyangkut perubahan UU PPN dan UU KUP, tentu diharapkan persoalan yuridis ini dihilangkan dengan cara mengharmoniskan ketentuan sanksi pada UU KUP dengan bentuk pelanggaran sehubungan dengan Faktur Pajak yang dikenakan sanksi pada UU PPN. Selain itu, diharapkan juga sanksi atas pelanggaran administrasi faktur pajak yang tidak merugikan negara sebisa mungkin bersifat proporsional sehingga tidak memberatkan Pengusaha Kena Pajak.*