Sejak 2014, Ditjen Pajak resmi meluncurkan program inklusi pajak sebagai upaya menanamkan kesadaran pajak melalui pendidikan. Strategi inklusi pajak dilakukan melalui empat area, yaitu kurikulum, perbukuan, pembelajaran, dan kegiatan kesiswaan. Akan tetapi program ini baru menggeliat pada 2017 melalui Pajak Bertutur yang untuk pertama kali digelar. Notabene, sejak berdirinya republik ini, baru selama 6 tahun terakhir terdapat upaya pengarusutamaan pajak mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Belum terbentuknya masyarakat melek pajak menjadi ancaman serius. Pajak menjadi ‘asing’ dalam benak publik dan kerap terpinggirkan dalam diskulsus pembangunan. Kondisi ini sungguh miris, apabila dikaitkan dengan kontribusi pajak sebagai penyumbang sekitar 70% bagi penerimaan negara.
Pajak yang seharusnya menjadi kebutuhan, acap dibingkai secara negatif. Inilah pertarungannya, bagaimana menempatkan pajak dalam benak insan Indonesia. Dengan kondisi di atas, tak mengherankan jika tax ratio kita masih jauh dari level yang ideal. Demikian juga dengan tingkat kepatuhan pajak yang masih jauh dari harapan. Padahal. dalam kerangka Sustainable Development Goals, kemampuan negara dalam memobilisasi penerimaan jelas memiliki peran sentral (Addison, Zarazua, dan Pirttila, 2018). Oleh sebab itu, inklusi pajak menjadi krusial. Sebagai bagian dari edukasi pajak, inklusi pajak dapat dianggap sebagai mekanisme efektif untuk membangun kepercayaan kepada pemerintah sekaligus mendorong partisipasi masyarakat dalam sistem pajak (OECD, 2013).
Setidaknya terdapat tujuh argumentasi pentingnya program inklusi pajak. Pertama, rendahnya tingkat kepatuhan pajak di Indonesia. Upaya meningkatkan kepatuhan pajak pada dasarnya bisa melalui paksaan atau kesukarelaan. Khusus untuk kepatuhan sukarela, nilainya dipengaruhi oleh tax morale, yaitu motivasi intrinsik untuk mematuhi pajak. Menariknya, OECD (2019a) menggarisbawahi bahwa tax morale, khususnya bagi individu, sangat tergantung dari strategi edukasi pajak.
Kedua, inklusi pajak relevan dalam sistem self-assessment. Pada yang kita anut ini, wajib pajak dituntut untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan pajaknya sendiri. Otoritas hanya bertindak dalam melakukan pengawasan dan pengujian kepatuhan. Strategi di atas tentu positif tetapi belum cukup. Pengetahuan pajak sejak dini bagi masyarakat yang menjadi future tax payer akan memberikan landasan pemahaman lebih baik sekaligus meringankan biaya administrasi pajak. Self-assessment system hanya optimal jika tingkat literasi terpenuhi. Ketiga, sebagai langkah anti-sipatif dalam rangka menyambut bonus demografi. Jumlah penduduk usia produktif yang semakin dominan menciptakan potensi lompatan penerimaan pajak, khususnya dari PPh.
Keempat. menurut OECD (2019b), dewasa ini terdapat fenomena peningkatan pekerjaan nonstandar yang mencakup wirausaha, pekerja mandiri, kontrak sementara, dan pekerja paruh waktu. Di satu sisi, hal itu memberikan sinyal positif geliat ekonomi. Di Sisi lain, tantangan bagi sektor pajak. Berbeda dengan karyawan yang kepatuhan pajaknya terjamin melalui pemotongan, pekerja di sektor nonstandar bisa dikategorikan sebagai hard-to-tax sector (Wicaksono, 2019). Inklusi pajak bisa jadi solusi jangka panjang dalam menjamin kepatuhan pajak pekerja di sektor nonstandar tersebut.
Kelima, edukasi pajak merupakan salah satu dari empat elemen dasar jaminan sistem pajak yang ideal dan memenuhi ekspektasi masyarakat (Murphy, 2015). Banyak negara acap melupakan edukasi pajak. Padahal hal itu dapat memengaruhi keberterimaan publik atas pemungutan pajak. Keenam, inklusi pajak mensti-mulus ketertarikan generasi muda Indonesia untuk menjadi sumber daya manusia unggul di bidang pajak. Sementara itu, sistem pajak suatu negara sangat bergantung dari interaksi antarpemangku kepentingan (Tanzi, 2018). Oleh karena itu, ketersediaan ahli pajak maupun para pemangku kepentingan yang paham pajak akan menjadi katalis perumusan sistem pajak yang lebih adil, berkepastian, dan berimbang.
Terakhir, inklusi pajak menjadi bagian tidak terpisahkan dari momentum reformasi pajak. Keberhasilan agenda reformasi pajak Indonesia 2017-2020, yang bertujuan untuk optimalisasi penerimaan pajak, memiliki probabilitas keberhasilan besar jika didukung program edukasi pajak berkelanjutan. Edukasi pajak telah menjadi program otoritas pajak di berbagai negara berkembang. Secara umum, program tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori. Mulai dari menyisipkan muatan pajak dalam pendidikan, menyelenggarakan kegiatan untuk menciptakan kesadaran pajak, hingga sosialisasi yang menarik soal pajak. Keberhasilan berbagai program tersebut sangat dipengaruhi beberapa hal. Pertama, kerja sama yang kokoh antar-pemangku kepentingan. Kedua, komitmen politik dalam pengarusutamaan isu pajak. Ketiga, pertukaran pengalaman antar-negara (OECD, 2015).
Hal lain yang dituntut adalah ‘kesabaran’ setiap negara untuk terus menjalankan program secara konsisten. Pasalnya, edukasi pajak bukanlah kegiatan yang manfaatnya dapat dipetik dalam jangka pendek, apalagi untuk langsung menghasilkan pundi-pundi penerimaan pajak. Dalam konteks Indonesia, edukasi pajak harusnya tidak melulu diartikan sebagai program pemerintah, tetapi turut diemban oleh seluruh pemangku kepentingan. Ditjen Pajak tidak mungkin memikul tanggung jawab edukasi pajak ini sendirian. Gotong royong dari seluruh elemen masyarakat dibutuhkan demi menciptakan sistem pajak yang ideal dan meningkatkan kapasitas fiskal Indonesia yang manfaatnya akan kita rasakan bersama.
*Tulisan ini pernah dimuat di Koran Bisnis Indonesia dan rilis tanggal 25 November 2019