PEMERINTAH provinsi memiliki kewenangan untuk memungut pajak rokok. Kewenangan tersebut tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) huruf e Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Artikel ini akan membahas terkait ketentuan pemungutan pajak rokok.
Berdasarkan Pasal 1 angka 19 UU PDRD, pajak rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah. Objek pajak rokok adalah konsumsi rokok. Rokok sebagaimana dimaksud meliputi sigaret, cerutu, dan rokok daun. Dalam penjelasan Pasal 26 ayat (2) UU PDRD lebih lanjut mendefinisikan ketiga hal tersebut.
Pertama, sigaret. Sigaret merupakan hasil tembakau yang dibuat dari tembakau rajangan yang dibalut dengan kerta dengan cara dilinting, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. Sigaret sendiri terbagi menjadi tiga jenis sebagai berikut
Sigaret putih dan sigaret kretek terdiri atas sigaret yang dibuat dengan mesin atau yang dibuat dengan cara lain. Sigaret putih dan sigaret kretek yang dibuat dengan mesin artinya dalam pembuatannya, seluruhnya, atau sebagian menggunakan mesin. Sementara pembuatan dengan cara lain maksudnya tanpa menggunakan mesin.
Kedua, cerutu. Cerutu adalah hasil tembakau yang dibuat dari lembaran-lembaran daun tembakau diiris atau tidak, dengan cara digulung demikian rupa dengan daun tembakau, untuk dipakai tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.
Ketiga, rokok daun. Rokok daun merupakan hasil tembakau yang dibuat dengan daun nipah, daun jagung (klobot), atau sejenisnya, dengan cara dilinting, untuk dipakai tanpa mengindahkan bahan pengganti. Hal-hal yang dikecualikan dari objek pajak rokok adalah rokok yang tidak dikenai cukai berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
Merujuk pada Pasal 27 UU PDRD, subjek pajak rokok adalah konsumen rokok. Pengusaha pabrik rokok atau produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai ditetapkan sebagai wajib pajak rokok.
Jenis pajak ini dipungut oleh instansi pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok. Pajak yang dipungut oleh instansi pemerintah nantinya disetor ke rekening kas umum daerah provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk.
Dasar pengenaan pajak rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap rokok. Adapun yang dimaksud dengan cukai ialah pungutan negara yang dikenakan terhadap hasil tembakau berupa sigaret, cerutu, dan rokok yang dapat berupa persentase dari harga dasar (advalorum) atau jumlah dalam rupiah untuk setiap batang rokok (spesifik) atau penggabungan dari keduanya.
Besaran tarif pajak rokok ialah 10% dari cukai rokok yang diperhitungkan dengan penetapan tarif cukai nasional. Hal ini dimaksudkan agar terdapat keseimbangan antara beban cukai yang harus dipikul oleh industri rokok dengan kebutuhan fiskal nasional dan daerah.
Besaran pokok pajak rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Tata cara pemungutan dan penyetoran pajak rokok diatur lebih detail melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 117/PMK.07/2017 tentang Perubahan Ketiga atas PMK No. 115/PMK.07/2013 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok.
Mengacu pada Pasal 31 UU PDRD, penerimaan pajak rokok, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oeh apparat yang berwenang.
Pelayanan kesehatan masyarakat itu antara lain pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok, kegiatan kemasyarakatan, dan iklan layanan masyarakat tentang bahaya merokok.
Terkait penegakan hukum, kewenangannya dimiliki pemerintah daerah. Dalam melaksanakan penagakan hukum, pemerintah daerah dapat kerja sama dengan pihak/instansi lain. Kerja sama yang dimaksud dalam hal pemberantasan peredaran rokok ilegal dan penegakan aturan mengenai larangan merokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan.*