PENGHASILAN atas jasa konstruksi merupakan salah satu objek yang dikenakan pajak penghasilan (PPh) secara final. Skema PPh final atas usaha jasa konstruksi mempunyai tarif yang berbeda-beda berdasarkan pada jenis jasa dan status kepemilikan sertifikatnya.
Ketentuan terkait dengan PPh final atas usaha jasa konstruksi utamanya diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU PPh s.t.d.t.d UU HPP).
Lebih lanjut ketentuan mengenai tarif, dasar pengenaan pajak (DPP), dan pihak yang melakukan pemotongan PPh diatur dalam PP 51/2008 s.t.d.t.d PP 9/2022.
Berdasarkan pada Pasal 1 ayat (2) PP 9/2022, jasa konstruksi merupakan layanan jasa konsultansi konstruksi dan/atau pekerjaan konstruksi. Adapun usaha jasa konstruksi dapat dilakukan melalui layanan konsultansi konstruksi, pekerjaan konstruksi, dan pekerjaan konstruksi terintegrasi.
Perlu diketahui, layanan jasa konsultansi konstruksi meliputi layanan keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi pengkajian, perencanaan, perancangan, pengawasan, dan manajemen penyelenggaraan konstruksi suatu bangunan.
Sementara itu, layanan jasa pekerjaan mencakup kegiatan yang meliputi pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, pembongkaran, dan pembangunan kembali suatu bangunan.
Selanjutnya, layanan jasa pekerjaan konstruksi terintegrasi meliputi gabungan pekerjaan konstruksi dan jasa konsultansi konstruksi, termasuk di dalamnya penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan.
Atas ketiga layanan dari usaha jasa konstruksi tersebut dikenakan PPh final dengan tarif yang berbeda-beda. Adapun perincian terkait dengan tarif PPh final yang dikenakan pada setiap jenis layanan dari usaha jasa konstruksi dapat dilihat pada tabel berikut.
PPh final atas usaha jasa konstruksi dapat dihitung dengan cara mengalikan tarif dan dasar pengenaan pajak (DPP). Mengacu pada Pasal 5 ayat (2) PP 9/2022, besaran DPP atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi ialah senilai jumlah pembayaran atau penerimaan pembayaran, tidak termasuk pajak pertambahan nilai (PPN).
Adapun jumlah pembayaran atau penerimaan pembayaran tersebut merupakan bagian dari nilai kontrak jasa konstruksi. Sebagai informasi, nilai kontrak jasa konstruksi dapat dipahami sebagai nilai yang tercantum atau seharusnya tercantum dalam kontrak jasa konstruksi secara keseluruhan.
Lebih lanjut, Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 6 PP 51/2008 s.t.d.t.d PP 9/2022 mengatur tentang aspek pemotongan PPh. Berdasarkan pada ketentuan tersebut, terdapat 4 kondisi dalam menentukan pihak yang melakukan pemotongan atau penyetoran PPh.
Pertama, PPh dipotong oleh pengguna jasa yang merupakan pemotong pajak pada saat pembayaran. Kedua, jika pengguna jasa bukan merupakan pemotong pajak, PPh disetor sendiri oleh penyedia jasa.
Ketiga, timbul selisih kurang bayar akibat jumlah PPh berdasarkan pada nilai kontrak jasa konstruksi lebih tinggi daripada PPh yang telah dibayarkan. Dalam situasi tersebut, selisih PPh disetor sendiri oleh penyedia jasa.
Keempat, nilai kontrak jasa konstruksi tidak dibayar sepenuhnya oleh pengguna jasa. Pada kondisi tersebut, PPh atas nilai yang tidak dibayarkan tersebut tidak perlu disetorkan ataupun dipotong sepanjang penyedia jasa mencatatkannya sebagai piutang yang tidak dapat ditagih.
*Tulisan ini merupakan artikel milik DDTCNews yang dimuat dalam https://news.ddtc.co.id/ dan rilis tanggal 30 Mei 2022