Begini Proses Pemungutan PPnBM dan Pihak yang Memungut
PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (6)

PEMUNGUTAN pajak merupakan kegiatan memungut sejumlah pajak yang terutang atas suatu transaksi. Pada artikel sebelumnya telah diuraikan contoh penghitungan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).

Selanjutnya, artikel ini menjelaskan mengenai mekanisme pemungutan PPnBM. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 s.t.d.t.d. Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) menyatakan sebagai berikut:

“Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
(dengan tambahan penekanan)

Selanjutnya, penjelasan pasal tersebut menyebutkan pengertian umum dari pajak masukan hanya berlaku pada PPN dan tidak dikenal dalam pemungutan PPnBM. Oleh karena itu, PPnBM yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan dengan PPnBM yang terutang.

Dengan demikian, prinsip pemungutannya hanya satu kali saja, yaitu pada waktu penyerahan oleh pabrikan atau produsen barang kena pajak (BKP) yang tergolong mewah atau impor BKP yang tergolong mewah. Penyerahan BKP yang tergolong mewah pada tingkat berikutnya tidak lagi dikenakan PPnBM.

Pada dasarnya, mekanisme pemungutan PPnBM sama dengan proses pemungutan PPN. Secara umum, mekanisme pemungutan PPnBM tersebut terbagi menjadi dua, yaitu pemungutan PPnBM oleh pengusaha kena pajak (PKP) dan pemungutan PPnBM oleh pemungut.

Pemungutan PPnBM oleh PKP dilakukan saat penyerahan BKP yang tergolong mewah dan PKP menerbitkan faktur pajak serta melaporkannya pada surat pemberitahuan (SPT) masa pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 3A ayat (1) UU PPN. Dengan demikian, dalam faktur pajak nantinya tidak hanya memuat besaran PPN, tetapi juga jumlah PPnBM yang dipungut.

Sementara itu, untuk mekanisme pemungutan PPnBM oleh pemungut dapat dilakukan oleh empat pihak. Pertama, instansi pemerintah. Berdasarkan Pasal 16 Peraturan Menteri Keuangan No. 231/PMK.03/2019 (PMK 231/2019), instansi pemerintah ditunjuk sebagai pemungut PPnBM yang terutang atas penyerahan BKP dan/atau JKP rekanan pemerintah kepada instansi pemerintah. Instansi pemerintah tersebut wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPnBM yang terutang.

Selanjutnya, merujuk pada Pasal 23 PMK 231/2019, instansi pemerintah pusat dan daerah diberikan jangka waktu paling lama tujuh hari setelah tanggal pelaksanaan pembayaran atau pada hari yang sama pelaksanaan pembayaran untuk memotong dan/atau memungut PPN dan/atau PPnBM. Pemotongan dan/atau pemungutan juga dapat dilakukan oleh pemerintah desa paling lama tanggal sepuluh bulan berikutnya setelah pelaksanaan pembayaran.

Kedua, kontraktor kontrak kerja sama pengusahaan minyak dan gas bumi dan kontraktor atau pemegang kuasa/pemegang izin usaha panas bumi sebagaimana diatur dalam PMK 73/PMK.03/2010 (PMK 73/2010).

Merujuk Pasal 7 PMK 73/2010, pemungutan PPN dan/atau PPnBM dilakukan paling lama pada saat penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP, penerimaan pembayaran, atau penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan. Kontraktor atau pemegang kuasa/pemegang izin wajib menyetorkan PPN dan/atau PPnBM yang telah dipungut ke kantor pos/bank persepsi paling lama tanggal 15 bulan berikutnya.

Ketiga, merujuk pada PMK No. 85/PMK.03/2012 s.t.d.t.d. PMK No. 136/PMK.03/2012 (PMK 136/2012), badan usaha milik negara (BUMN) ditunjuk sebagai pemungut PPnBM dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang. BUMN menyetorkan PPnBM yang telah dipungut ke kantor pos/bank persepsi paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.

Keempat, penunjukkan badan usaha tertentu sebagai pemungut PPnBM yang diatur dalam PMK No. 37/PMK.03/2015 (PMK 37/2015). Badan usaha tertentu tersebut meliputi badan usaha milik negara yang dilakukan restrukturisasi oleh pemerintah, badan usaha yang bergerak di bidang pupuk, dan badan usaha tertentu yang dimiliki secara langsung oleh BUMN.*