Berbagai Alasan Permohonan Peninjauan Kembali, Apa Saja?
PENINJAUAN KEMBALI (2)

APABILA wajib pajak masih belum puas dengan putusan banding, terdapat upaya hukum yang bisa diambil wajib pajak. Upaya hukum yang dimaksud adalah peninjauan kembali yang dapat diajukan kepada Mahkamah Agung melalui kepaniteraan Pengadilan Pajak. Simak artikel ‘Memahami Definisi dan Cakupan Peninjauan Kembali’.

Adapun alasan-alasan pengajuan permohonan peninjauan kembali diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak) dan Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung s.t.d.t.d Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 (UU MA).

Sesuai dengan Pasal 89 UU Pengadilan Pajak, permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. Perlu dipahami pula, permohonan peninjauan kembali tidak akan menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak.

Selain itu, permohonan peninjauan kembali juga dapat dicabut sebelum Mahkamah Agung memutus perkara. Apabila sudah dicabut, permohonan peninjauan kembali tersebut tidak dapat diajukan lagi. Ketentuan dalam UU Pengadilan Pajak ini selaras dengan yang tercantum dalam Pasal 66 UU MA.

Selain ketentuan tersebut, perlu dipahami permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan beberapa alasan dan dalam jangka waktu tertentu. Merujuk Pasal 91 UU Pengadilan Pajak, permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan dengan alasan-alasan beserta jangka waktu sebagai berikut:

Dalam praktik peradilan, alasan peninjauan kembali seperti karena adanya kebohongan atau tipu muslihat sebetulnya jarang ditemukan. Hal itu disebabkan karena sulitnya untuk membuktikan ada kebohongan dalam suatu putusan secara konkret dan objektif.

Adapun alasan pengajuan PK yang paling umum ditemukan dan paling besar frekuensinya adalah alasan kelima, yaitu apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Alasan ini dianggap sangat luas jangkauannya. Berbagai pertimbangan dan pendapat yang tertuang dalam putusan, dapat dikonstruksi sebagai bentuk kekeliruan dalam pengambilan keputusan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Alasan ketiga juga cukup menarik diperhatikan, walapun dalam praktiknya jarang ditemukan. Alasan ketiga adalah ‘apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntutkecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan c.

Jika dibaca kalimat pertama (sebelum kecuali), alasan ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut. Pertama, putusan mengabulkan suatu hal, sedangkan hal itu sama sekali tidak ada diminta pemohon banding dalam banding.

Kedua, putusan melebihi dari apa yang dituntut. Pada dasarnya, Hakim dilarang memberikan atau mengabulkan melebihi dari apa yang dituntut. Ketentuan ini melanggar prinsip ultra petitum partium atau ultra petita. Dengan kata lain, Hakim tidak boleh mengabulkan melebihi dari apa yang dituntut.

Kendati demikian, apabila dilanjutkan dengan kalimat selanjutnya (kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan c), dapat diartikan bahwa putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan sebagian dan seluruhnya, serta menambah pajak yang harus dibayar tidak serta merta dapat menjadi alasan pengajuan peninjauan kembali.

Hal ini dapat dipahami mengingat sengketa perpajakan terkait erat dengan perbedaan perhitungan pajak terutang antara wajib pajak dan otoritas pajak. Oleh sebab itu, dalam suatu putusan banding misalnya, jumlah pajak terutang dapat berbeda sesuai dengan hasil proses penyelesaian sengketa terkait.

Dengan kata lain, jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam suatu putusan banding merupakan konsekuensi logis dari proses interpretasi hakim terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku atas sengketa pajak yang bersangkutan.

Ketentuan dalam Pasal 91 UU Pengadilan Pajak ini menyiratkan baik wajib pajak maupun otoritas pajak tidak dapat mengajukan peninjauan kembali hanya karena jumlah pajak tidak sesuai dengan tuntutan masing-masing pihak yang bersengketa.

Untuk itu, tidak heran jika alasan peninjauan kembali yang biasa digunakan adalah alasan kelima, yaitu adanya suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.*