Berminat Jadi Hakim Pengadilan Pajak? Ini Syarat dan Ketentuannya
PENGADILAN PAJAK (3)

PROSES persidangan di pengadilan pajak dipimpin oleh seorang hakim. Berdasarkan Pasal 8 UU No. 14/2002 tentang Pengadilan Pajak (UU No. 14/2002), hakim pengadilan pajak diangkat oleh presiden dari daftar nama calon yang diusulkan oleh menteri keuangan setelah mendapat persetujuan ketua mahkamah agung.

Hakim diangkat untuk masa jabatan selama 5 tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali masa jabatan. Artikel ini akan membahas mengenai syarat dan larangan menjadi hakim pengadilan pajak.

Syarat Menjadi Hakim Pengadilan Pajak

BERDASARKAN Pasal 9 UU No. 14/2002, untuk dapat diangkat menjadi hakim, setiap calon harus mematuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Warga negara Indonesia;
  2. Berumur paling rendah 45 tahun;
  3. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
  4. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
  5. Tidak pernah terlibat dalam kegiatan yang mengkhianati Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 atau terlibat organisasi terlarang;
  6. Mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijazah sarjana hukum atau sarjana lain;
  7. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
  8. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan; dan
  9. Sehat jasmani dan rohani.

Pengadilan pajak juga mengenal adanya hakim ad hoc sebagai hakim anggota. Mengacu pada Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan No. 449/KMK.01/2003, hakim ad hoc adalah ahli yang ditunjuk oleh ketua sebagai anggota majelis dalam memeriksa dan memutus sengketa tertentu. Dalam hal ini yang dimaksud sebagai ahli adalah seseorang yang memiliki disiplin ilmu yang cukup di bidangnya sekurang-kurangnya 10 tahun.

Syarat dan ketentuan menjadi hakim ad hoc sama dengan persyaratan yang telah disebutkan di atas. Namun, persyaratan batas usia minimal 45 tahun dan mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijazah sarjana hukum atau sarjana lain pada huruf b dan f dapat dikesampingkan.

Dalam penunjukan hakim ad hoc, ketua pengadilan wajib mempertimbangkan tiga hal (Pudyatmoko, 2009). Pertama, sifat kompleksitas sengketa yang dihadapi. Kedua, aspek internasional dan penerapan hukumannya. Ketiga, wawasan, keahlian, dan ilmu pengetahuan yang diperlukan dalam penyelesaian kasus yang bersangkutan.

Sebelum menjalankan tugas dan jabatannya, hakim pengadilan pajak harus disumpah menurut agama atau kepercayaannya. Kewajiban tersebut tertuang dalam Pasal 10 UU No. 14/2002. Adapun sumpah yang atau janji yang diucapkan hakim ialah sebagai berikut.

"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memangku jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga."

"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian."

"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia."

"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, saksama, dan tidak membeda-bedakan orang dalam melaksanakan kewajiban saya dan akan berlaku sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Ketua/Wakil Ketua/Hakim Pengadilan Pajak yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan."

Larangan Rangkap Jabatan

MENURUT Pasal 12 UU No. 14/2002, seorang hakim tidak boleh merangkap untuk beberapa jabatan, antara lain:

  1. pelaksana putusan pengadilan pajak;
  2. wali, pengampu, atau pejabat yang berkaitan dengan suatu sengketa pajak yang akan atau sedang diperiksa olehnya;
  3. penasihat hukum;
  4. konsultan pajak;
  5. akuntan publik; dan/atau
  6. pengusaha.

Selain itu, jabatan lain yang tidak boleh dirangkap oleh hakim diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 36/2011 tentang Jabatan yang Tidak Boleh Dirangkap oleh Hakim Agung dan Hakim. Pada Pasal 2 aturan a quo menyebutkan 11 jabatan tambahan yang tidak boleh dirangkap oleh hakim yakni sebagai berikut:

  1. pejabat negara lainnya;
  2. jabatan struktural atau jabatan fungsional pada instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah;
  3. arbiter dalam suatu sengketa perdata;
  4. anggota panitia urusan piutang dan lelang negara;
  5. jabatan pada lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan nonbank;
  6. jabatan sebagai pimpinan dan/atau anggota pada lembaga nonstruktural;
  7. komisaris, dewan pengawas, direksi pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah;
  8. notaris, pejabat sementara notaris, notaris pengganti, dan notaris pengganti khusus;
  9. pejabat pembuat akta tanah (PPAT);
  10. jabatan lainnya yang berdasarkan peraturan perundangundangan dinyatakan tidak boleh dirangkap oleh hakim;
  11. anggota musyawarah pimpinan daerah.

Larangan rangkap jabatan sebagai pengusaha tidak berlaku bagi hakim ad hoc. Larangan rangkap jabatan ini penting untuk memastikan bahwa hakim pengadilan pajak tetap netral dan tidak memihak. Selain itu, hakim seyogyanya tidak memiliki ikatan pribadi yang dapat mengganggu kemandiriannya untuk menyelesaikan suatu perkara.*