JAKARTA, Pemberlakuan tarif 3% lebih rendah dari tarif PPh badan bagi perseroan terbuka (emiten) yang melakukan pembelian kembali (buyback) saham menjadi sorotan sejumlah media nasional pada hari ini, Senin (22/6/2020).
Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No. 29 Tahun 2020, tarif 3% lebih rendah itu untuk wajib pajak dalam negeri berbentuk perseroan terbuka dengan jumlah keseluruhan saham yang disetor ke perdagangan pada bursa efek di Indonesia paling sedikit 40% dan memenuhi persyaratan tertentu.
Adapun persyaratan tertentu yang harus dipenuhi mencakup empat aspek. Pertama, saham yang lepas ke bursa efek harus dimiliki oleh paling sedikit 300 pihak. Kedua, masing-masing pihak hanya boleh memiliki saham kurang dari 5% dari keseluruhan saham yang ditempatkan atau disetor penuh.
Ketiga, ketentuan minimal setor saham, jumlah pihak, dan persentase kepemilikan saham tiap pihak harus dipenuhi dalam waktu paling singkat 183 hari kalender dalam jangka waktu satu tahun pajak. Keempat, pemenuhan persyaratan dilakukan wajib pajak perseroan terbuka dengan menyampaikan laporan kepada Ditjen Pajak (DJP).
Adapun, pihak yang dimaksud tidak termasuk wajib pajak perseroan terbuka yang membeli kembali (buyback) sahamnya dan/atau yang memiliki hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam UU PPh dengan wajib pajak perseroan terbuka.
Namun, jika terdapat kebijakan pemerintah pusat atau lembaga yang menyelenggarakan fungsi pengawasan di bidang pasar modal untuk mengatasi kondisi pasar yang berfluktuasi secara signifikan, emiten yang melakukan buyback saham dianggap memenuhi poin pertama dan kedua dari persyaratan tertentu.
“Anggapan tetap memenuhi persyaratan … hanya berlaku untuk tahun pajak 2020, tahun pajak 2021, dan tahun pajak 2022,” demikian bunyi Pasal 10 ayat (9) PP tersebut.
Seperti diketahui, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), melalui Surat Edaran OJK No. 3/SEOJK.04/2020, merelaksasi ketentuan buyback saham yang dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan rapat umum pemegang saham (RUPS).
Adapun jumlah saham yang dapat dibeli kembali paling banyak 20% dari modal disetor dengan ketentuan paling sedikit saham yang beredar 7,5% dari modal disetor. Jangka waktu buyback 3 bulan setelah keterbukaan informasi.
Selain terkait pemberlakuan tarif 3% lebih rendah dari tarif PPh badan untuk emiten yang melakukan buyback saham, ada pula bahasan mengenai sumbangan penanganan Covid-19 yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebesar nilai sumbangan yang sesungguhnya dikeluarkan.
Baik keringanan PPh untuk emiten yang melakukan buyback saham maupun ketentuan sumbangan Covid-19 yang dapat dikurangkan dari pengurangan penghasilan bruto merupakan dua dari lima fasilitas dalam PP 29/2020. Simak artikel ‘Lengkap! Ini Penjelasan Resmi DJP Soal Fasilitas Pajak PP 29/2020’.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Sesuai PP 29/2020, kebijakan pemerintah pusat atau lembaga yang mempunyai fungsi pengawasan di pasar modal itu ditetapkan dalam bentuk surat penunjukan atau surat persetujuan. Adapun buyback saham dilakukan mulai 1 Maret 2020 hingga 30 September 2020.
Saham yang dibeli kembali hanya boleh dikuasai wajib pajak (emiten) sampai dengan 30 September 2022. Setelah jangka waktu itu, kepemilikan saham yang disetor ke perdagangan pada bursa efek di Indonesia paling sedikit 40% kembali. Jika tidak, pemberlakuan tarif 3% lebih rendah tidak berlaku.
Wajib pajak harus melampirkan Laporan Hasil Pelaksanaan Pembelian Kembali Saham yang diperdagangkan pada bursa efek di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pada SPT tahunan PPh yang bersangkutan. (Kontan/Bisnis Indonesia/DDTCNews)
Ada sebanyak 67 perusahaan yang telah menyampaikan keterbukaan informasi mengenai rencana buyback dengan total nilai Rp19,6 triliun hingga 15 Juni 2020. Namun demikian, realisasinya hanya 8,8%. Beberapa di antaranya batal mengeksekusi rencana tersebut dengan berbagai pertimbangan.
Batalnya rencana buyback saham bisa memberikan dua pesan yang bisa ditangkap oleh investor. Pertama, kas emiten memadai untuk melakukan buyback. Kedua, harga saham telah wajar dan tidak murah lagi. Kinerja IHSG dalam sebulan terakhir mulai membaik dengan penguatan 9,56%. (Bisnis Indonesia)
Nilai sumbangan untuk penanganan Covid-19 yang diberikan dari 1 Maret 2020 hingga 30 September 2020 bisa dikurangkan seluruhnya dari penghasilan bruto. Fasilitas ini sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 29/2020.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan batasan donasi yang dapat diklaim sebagai pengurang penghasilan bruto sebagaimana diatur dalam PP No. 93/2010 tidak berlaku untuk sementara waktu ini.
“Jadi sepanjang dalam rangka penanganan Covid-19 ini, batasan sebagaimana dalam PP No. 93/2010 tidak berlaku," katanya. Simak artikel ‘Biar Dapat Fasilitas Pajak, Laporkan Daftar Nominatif Sumbangan ke DJP’. (DDTCNews)
Partner Fiscal Research DDTC B. Bawono Kristiaji berpendapat insentif yang kembali digelontorkan melalui PP 29/2020 merupakan respons cepat pemerintah mengikuti dinamika perkembangan Covid-19. Stimulus ini diberikan sebagai upaya untuk mengurangi dampak negatif terhadap perekonomian.
“Ada kerelaan pemerintah melonggarkan penerimaan pajak padahal sedang butuh anggaran besar,” katanya. Simak pula artikel ‘Soal Pemberian Insentif Saat Pandemi Covid-19, Ini Catatan Pakar Pajak’. (Kontan)
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto memaparkan hingga akhir Mei 2020, sudah ada 75 wajib pajak yang menerima insentif tax holiday. Dari 75 perusahaan tersebut, total rencana investasi mencapai Rp1.249,23 triliun.
Ditinjau dari sektor usahanya, sebanyak 27 wajib pajak penerima tax holiday bergerak di sektor infrastruktur ekonomi. Selanjutnya, ada 31 wajib pajak dari industri logam. 14 wajib pajak dari industri kimia, dan 3 wajib pajak dari industri aktivitas hosting atau digital. (Kontan)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengusulkan account representative (AR) di tiap kantor pelayanan pajak (KPP) dapat memberikan layanan konsultasi dengan wajib pajak secara virtual selama 24 jam 7 hari (24/7) guna meningkatkan pengumpulan pajak.
Jika layanan virtual 24/7 itu terlaksana, Sri Mulyani mengingatkan bahwa standar prosedur operasional harus disusun sesuai dengan prinsip tata kelola yang baik. Misal, merekam semua komunikasi antara wajib pajak dan AR secara virtual tersebut. Simak artikel ‘Sri Mulyani Usul DJP Buka Layanan Konsultasi Virtual 24/7’. (DDTCNews)
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan menjalankan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) terhadap anggaran penanganan pandemi Covid-19. Proses PDTT direncanakan akan mulai berjalan pada bulan depan.
“Ini untuk mendukung transparansi penggunaan anggaran. Mungkin dalam waktu dekat kami akan melakukan rapat untuk menentukan pemeriksaan tersebut,” kata Anggota BPK VI Harry Azhar Azis. (Bisnis Indonesia)