Catat! Kondisi Ini Bisa Membuat SPT Dinyatakan Tak Lengkap oleh DJP
BERITA PAJAK HARI INI

JAKARTA, Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan yang telah dilaporkan wajib pajak ternyata bisa dinyatakan tidak lengkap oleh Ditjen Pajak (DJP) atas sejumlah kondisi. Topik ini menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Rabu (4/5/2022). 

Seperti diketahui, periode pelaporan SPT Tahunan untuk wajib pajak orang pribadi dan badan sudah terlewati. Kemudian, DJP punya wewenang untuk menyatakan SPT yang dilaporkan berstatus tidak lengkap melalui penelitian. 

Mengacu pada Peraturan Dirjen Pajak PER-02/PJ/2019, ada 8 kondisi yang membuat SPT tidak lengkap. 

Pertama, terdapat elemen SPT Induk yang diisi tidak lengkap.

Kedua, Lampiran "Daftar Pemotongan/Pemungutan yang Dipotong Pihak Lain atau Ditanggung Negara, Daftar Harta dan Kewajiban Pada Akhir Tahun dan Daftar Susunan Anggota Keluarga" dalam SPT Tahunan orang pribadi dilampirkan tetapi diisi tidak lengkap.

Ketiga, Lampiran "Daftar Pemegang Saham/Pemilik Modal dan Daftar Susunan Pengurus dan Komisaris" dalam SPT Tahunan badan dilampirkan tetapi diisi tidak lengkap.

Keempat, Lampiran khusus dalam SPT Tahunan badan dilampirkan tetapi diisi tidak lengkap. 

Kelima, SPT yang ditandatangani oleh kuasa wajib pajak tapi tidak dilampirkan dengan surat kuasa khusus dan dokumen yang harus dilampirkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Keenam, SPT Tahunan orang pribadi yang ditandatangani oleh ahli waris tetapi tidak dilampirkan dengan surat keterangan kematian dari instansi yang berwenang.

Ketujuh, SPT dengan status kurang bayar tetapi tidak dilampirkan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP.

Kedelapan, keterangan dan/atau dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PER-02/PJ/2019 belum sepenuhnya dilampirkan pada penyampaian SPT Tahunan atau SPT Masa.

Selain tentang SPT yang dinyatakan tidak lengkap, ada juga bahasan terkait dengan pembatalan faktur pajak oleh pengusaha kena pajak (PKP) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) teranyar mengenai Penerimaan Otonomi Khusus 249.

Berikut ulasan berita lengkapnya. 

Pembatalan Faktur Pajak oleh PKP

Sesuai dengan PER-03/PJ/2022, PKP harus membatalkan faktur pajak atas penyerahan barang kena pajak (BKP) dan/atau jasa kena pajak (JKP) yang transaksinya dibatalkan atau penyerahan barang dan/atau jasa yang seharusnya tidak dibuatkan faktur pajak. 

Pembatalan faktur pajak dapat dilakukan sepanjang terhadap SPT Masa PPN masa pajak dilaporkannya faktur pajak yang dibatalkan masih dapat disampaikan atau dilakukan pembetulan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. (DDTCNews)

Kelengkapan Pembuatan e-Faktur oleh PKP

Faktur pajak yang dibuat PKP atas BKP dan/atau JKP wajib berbentuk elekronik (e-faktur). PER-03/PJ/2022 kemudian mengatur PKP bisa membuat e-faktur sepanjang memiliki 3 hal, yakni sertifikat elektronik, akun PKP yang telah diaktivasi, dan nomor seri faktur pajak (NSFP) yang diberikan oleh DJP. (DDTCNews)

PMK Baru Penerimaan Otonomi Khusus

Menteri Keuangan Sri Mulyani menerbitkan PMK 76/2022 tentang pengelolaan penerimaan dalam rangka otonomi khusus. 

Penerimaan dalam rangka otonomi khusus yang diatur dalam beleid ini meliputi penerimaan dalam rangka otonomi khusus Provinsi Papua serta Provinsi Aceh.

Beleid ini mengatur menteri keuangan selaku pengguna anggaran BUN pengelolaan transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) menetapkan dirjen perimbangan keuangan sebagai pemimpin pembantu pengguna anggaran bendahara umum negara (PPA BUN) pengelolaan TKDD. (DDTCNews)

Pemotongan Pajak Fintech

Pengaturan perpajakan teknologi finansial (financial technology/fintech) dinilai perlu guna memberikan perlakuan yang setara antara sektor keuangan konvensional dan digital.

Melalui UU HPP, pemerintah bermaksud meningkatkan penerimaan pajak dan membuat kesetaraan level berusaha melalui penunjukkan pemotong dan pemungut withholding tax

Kemudian lewat aturan turunan, PMK 69/2022, pemerintah menerapkan ketentuan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN) atas penyelenggaraan fintech mulai 1 Mei 2022. (DDTCNews)

Pajak Atas Transaksi Kripto

Per 1 Mei 2022, pemerintah menerapkan PPN dan PPh atas perdagangan aset kripto. Pedagang fisik aset kripto yang resmi dan terdaftar di Bappebti wajib memungut PPN dan PPh atas setiap investor yang melakukan transaksi jual-beli. (Kontan)

*Tulisan ini merupakan artikel milik DDTCNews yang dimuat dalam https://news.ddtc.co.id/ dan rilis tanggal 4 Mei 2022