Contoh Kasus Beda Waktu dalam Rekonsiliasi Fiskal
REKONSILIASI FISKAL (4)

SELAIN beda tetap (permanent different), ada satu koreksi fiskal yang disebut dengan beda waktu (time different). Beda waktu adalah perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang sifatnya sementara.

Artinya, koreksi fiskal yang dilakukan akan diperhitungkan dengan laba kena pajak tahun-tahun pajak berikutnya. Dalam hal ini, apabila suatu penghasilan atau biaya pada periode tahun/periode saat ini tidak dapat diakui di dalam laporan laba/rugi, kemungkinan akan dapat diakui pada periode tahun/periode yang akan datang.

Ada beberapa sebab atau kondisi terjadinya beda waktu. Beda waktu ini sebagian besar disebabkan karena metode/asumsi yang digunakan di dalam akuntansi komersial. Metode/asumsi ini akan berdampak pada penilaian akun-akun di dalam laporan keuangan. Pada umumnya terjadi pada akun-akun persediaan, piutang dagang, aktiva tetap, investasi, dan lain-lain.

Koreksi beda waktu juga dapat terjadi karena perbedaan metode penyusutan, di mana menurut UU PPh, metode penyusutan yang diperbolehkan hanya metode garis lurus (straight line method) dan saldo menurun (double declined method).

Dalam hal perbedaan metode penilaian persediaan, UU PPh hanya memperbolehkan metode penilaian persediaan berdasarkan nilai rata-rata (average method) dan first-in first-out (FIFO). Untuk penyisihan piutang tak tertagih, menurut UU PPh, piutang tak tertagih tidak diperkenankan kecuali untuk usaha-usaha tertentu dan sebagainya. Apabila terdapat perbedaan metode/asumsi antara komersial dan fiskal atas akun-akun diatas, maka koreksi beda waktu akan terjadi.

Selain itu, pengakuan penghasilan berdasarkan cash basis dan accrual basis juga dapat menjadi penyebab terjadinya koreksi beda waktu. Misalnya dalam akuntansi komersial, pengakuan penghasilan/biaya untuk periode lebih dari satu tahun harus dialokasikan sesuai dengan masa perolehannya sesuai dengan prinsip matching cost with revenue. Sementara, menurut UU PPh, penghasilan/biaya tersebut harus diakui sekaligus pada saat diterima atau dikeluarkan.

Contoh Kasus

Untuk memahami koreksi beda waktu, berikut diberikan contoh kasus mengenai perbedaan pencatatan persediaan. Persediaan merupakan barang yang diperoleh untuk dijual kembali atau bahan untuk diolah menjadi barang jadi atau barang jadi yang akan dijual atau barang yang akan digunakan.

Di dalam akuntansi konvensional, ada dua metode pencatatan persediaan yaitu metode fisik dan metode perpetual. Sementara, metode penilaian yang biasa digunakan oleh perusahaan dan sering dipelajari ada 3 metode, yaitu:

  • Metode First In First Out (FIFO): barang yang masuk terlebih dahulu dianggap yang pertama kali dijual/keluar sehingga persediaan akhir akan berasal dari pembelian yang termuda/terakhir.
  • Metode Last In First Out (FIFO): barang yang terakhir masuk dianggap yang pertama kali keluar, sehingga persediaan akhir terdiri dari pembelian yang paling awal.
  • Metode Average (Rata-Rata): pengeluaran barang secara acak dan harga pokok barang yang sudah digunakan maupun yang masih ada ditentukan dengan cara dicari rata-ratanya.

Di dalam perhitungan laba rugi, ketiga metode di atas akan menghasilkan laba yang berbeda, sehingga konskuensinya terhadap pajak yang berbeda. Sebagai ilustrasi dapat dilihat pada contoh berikut ini:

Data persediaan PT ABC pada Januari 2020

Tanggal Keterangan Unit Harga/Unit Total
1/1 Persediaan awal 10 1.000 10.000
2/1 Pembelian 20 1.100 22.000
5/1 Pembelian 10 1.150 11.500
20/1 Penjualan 15 2.000 30.000
25/1 Pembelian 5 1.200 6.000
30/1 Penjualan 25 2.000 50.000

Berdasarkan data di atas, berikut perhitungan nilai persediaan, harga pokok penjualan, dan laba PT ABC dengan menggunakan ketiga metode.

Metode FIFO LIFO AVERAGE
Penjualan 80.000 80.000 80.000
Harga Pokok Penjualan (HPP)
Persediaan Awal 10.000 10.000  
Pembelian 39.500 39.500  
Barang Siap Dijual 49.500 49.500  
Persediaan Akhir 6.000 5.000 5.500
HPP 43.500 44.500 44.000
Laba 36.500 35.500 36.000

Penjelasan:

Metode FIFO

Sebelum menghitung laba, perlu dihitung terlebih dahulu persediaan akhir:

Persediaan akhir = Persediaan awal + Pembelian – Penjualan
= 10 unit + 35 Unit – 40 Unit
= 5 Unit

Permasalahannya harga pokok yang mana yang digunakan untuk menilai persediaan akhir tersebut. Karena metode yang digunakan FIFO maka harga yang digunakan adalah harga yang terakhir dibeli. Jadi nilai persediaan akhir menjadi = 5 Unit X Rp1.200 = Rp6.000. Untuk itu, jika menggunakan metode FIFO diperoleh laba sebesar Rp36.500.

Metode LIFO

Dengan metode yang digunakan LIFO maka harga yang digunakan adalah harga yang pertama dibeli. Jadi nilai persediaan akhir menjadi = 5 Unit X Rp1.000 = Rp5.000. Jadi jika menggunakan metode LIFO diperoleh laba Rp35.500.

Metode Average

Masih menggunakan hasil persediaan pada metode FIFO sebesar 5 Unit. Karena Metode yang digunakan Average maka harga yang digunakan adalah harga rata-rata.

Harga rata-rata = Nilai barang siap jual/unit = Rp49.500/45 unit = Rp1.100.
Jadi nilai persediaan akhir menjadi = 5 Unit X Rp1.100 = Rp5.500. Oleh sebab itu, jika menggunakan metode LIFO diperoleh laba Rp36.000.

Dari ketiga metode di atas, diketahui bahwa laba yang tertinggi diperoleh jika menggunakan metode FIFO dan yang terendah adalah jika menggunakan metode LIFO. Oleh karena itu, menurut UU PPh metode LIFO ini tidak diperkenankan digunakan oleh perusahaan dalam menghitung nilai persediaan.

Apabila pada awalnya perusahaan dalam menghitung nilai persediaan menggunakan metode LIFO, maka dalam laporan keuangan fiskal perlu dilakukan koreksi fiskal karena harus menggunakan metode yang diperbolehkan berdasarkan UU PPh (FIFO atau average).

Sebagai contoh, berdasarkan perhitungan di atas, harga pokok yang diperoleh jika menggunakan LIFO adalah sebesar Rp44.500, namun harga pokok yang diperoleh dengan menggunakan FIFO adalah sebesar Rp43.500. Dengan demikian, selisih sebesar Rp1.000 (Rp44.500 – Rp43.500) ini akan dilakukan koreksi fiskal.*