Dirjen Pajak Pastikan Tidak Periksa WP Jika Begini Saat Ikut PPS
BERITA PAJAK HARI INI

JAKARTA, Ditjen Pajak (DJP) tidak akan menjalankan pemeriksaan terhadap wajib pajak yang telah melaporkan seluruh hartanya melalui Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Selasa (7/6/2022).

Dirjen Pajak Suryo Utomo memastikan pemeriksaan tidak akan dilakukan sepanjang wajib pajak sudah sepenuhnya mengungkap harta dalam Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH) saat mengikuti PPS.

“Kalau punya harta 10 yang dilaporkan cuma 3, yang 7 kami tahu ya tak-periksa. Kalau 10 sudah dilaporkan, tidak ada peluang bagi kami untuk memeriksa. Undang-undang sudah memberikan garansi. Bukan saya semata yang memberikan garansi,” ujar Suryo.

Dalam skema kebijakan II PPS, sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), terhadap wajib pajak orang pribadi yang telah memperoleh Surat Keterangan tidak diterbitkan ketetapan pajak atas kewajiban perpajakan untuk tahun pajak 2016-2020.

Namun demikian, ketentuan tersebut tidak berlaku jika ditemukan data dan/atau informasi mengenai harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam SPPH. Dirjen pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.

Nilai harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan tersebut diperlakukan sebagai penghasilan yang bersifat final pada tahun pajak 2022. Terhadap penghasilan itu dikenai PPh yang bersifat final sebesar 30% dan sanksi bunga sesuai dengan Pasal 13 ayat (2) UU KUP.

Sementara untuk skema kebijakan II, jika peserta tax amnesty masih memiliki harta yang belum dilaporkan dan tidak diikutkan dalam PPS, akan ada risiko pembayaran pajak lebih besar. Tarif yang dikenakan sebesar 30% dan tambahan sanksi kenaikan 200%.

Selain mengenai PPS, ada pula bahasan terkait dengan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang pribadi. Kemudian, ada pula bahasan tentang pembaruan tata cara pengenaan tarif bea masuk barang impor berdasarkan skema Asean Trade In Goods Agreement (ATIGA).

Berikut ulasan berita selengkapnya.

Wajib Pajak Punya Kesempatan Sampai 30 Juni 2022

Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan batas akhir penyampaian SPPH pada 30 Juni 2022 tidak dapat diubah lagi oleh pemerintah. Oleh karena itulah, wajib pajak diimbau untuk segera memanfaatkan PPS jika masih mempunyai harta yang belum dilaporkan.

"30 Juni 2022 ada di undang-undang. Tidak ada diskresi untuk memperpanjang waktu PPS, kecuali kalau undang-undangnya diubah," katanya.

Hingga Senin, 6 Juni 2022 pukul 08.00 WIB, sudah ada 61.351 wajib pajak yang mengikuti PPS. Dengan harta yang diungkap senilai Rp125,09 triliun, pemerintah mendapatkan PPh senilai Rp12,57 triliun dari 71.995 Surat Keterangan yang diterbitkan. (DDTCNews/Bisnis Indonesia)

Penyampaian SPPH Lebih dari Sekali

DJP mengingatkan lagi mengenai diperbolehkannya penyampaian SPPH lebih dari sekali dalam PPS. Sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) PMK 196/2021, wajib pajak dapat menyampaikan SPPH kedua, ketiga, dan seterusnya secara elektronik melalui laman DJP.

“Penyampaian SPPH kedua, ketiga, dan seterusnya … dapat dilakukan dalam periode 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022. Jadi, tidak perlu pencabutan SPPH yang sebelumnya,” tulis akun Twitter @kring_pajak merespons pertanyaan warganet.

Penyampaian SPPH kedua, ketiga, dan seterusnya itu dapat dilakukan jika terdapat beberapa hal. Salah satunya karena ada kesalahan penulisan atau kesalahan penghitungan wajib pajak dalam pengisian SPPH. Simak ‘Hingga 30 Juni 2022, Wajib Pajak Dapat Sampaikan SPPH Berulang Kali’. (DDTCNews)

Repatriasi Harta

Hingga 5 Juni 2022, jumlah harta yang direpatriasi mencapai Rp1,45 triliun. Kemudian, harta yang direpatriasi dan diinvestasikan mencapai Rp852,5 miliar. Adapun harta di luar negeri yang dideklarasikan peserta PPS telah mencapai Rp9,16 triliun.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor mengatakan pemerintah akan tetap mendorong wajib pajak untuk melakukan repatriasi atas harta yang dideklarasikan. "Kalau diperhatikan di DJPPR juga melakukan [persuasi], mengeluarkan ORI, dan lain sebagainya. Sebenarnya itu kan salah satu cara meng-encourage orang [investasi]," tuturnya. (DDTCNews)

Penggunaan NIK Jadi NPWP

DJP menegaskan penggunaan NIK sebagai NPWP orang pribadi diperlukan untuk memperluas basis pajak sekaligus meningkatkan tax ratio. Pasalnya, jumlah wajib pajak terdaftar dan memiliki NPWP saat ini sekitar 45 juta. Padahal, jumlah masyarakat Indonesia mencapai lebih dari 250 juta orang.

Minimnya basis pajak dan jumlah wajib pajak yang aktif dalam pembayaran pajak menjadi salah satu faktor penyebab rasio pajak Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara sesama atau peer countries lainnya. Untuk itu, NIK akan memiliki fungsi sebagai NPWP.

"Nanti waktu sudah mulai mempunyai penghasilan reguler, diaktivasi NIK itu sebagai NPWP," ujar Suryo. (DDTCNews/Kontan)

Pengenaan Tarif Bea Masuk Berdasarkan Skema ATIGA

Melalui PMK 81/2022, pemerintah memperbarui ketentuan mengenai tata cara pengenaan tarif bea masuk barang impor berdasarkan skema ATIGA.

PMK 81/2022 menyempurnakan ketentuan terdahulu dalam PMK 131/2020. Penyempurnaan aturan tersebut dilakukan guna mengakomodasi amendemen Operational Certification Procedures (OCP) ATIGA dan amendemen Surat Keterangan Asal (SKA) Form D. Simak ‘Kemenkeu Terbitkan PMK Baru Soal Pengenaan Bea Masuk Barang Asean’. (DDTCNews)

*Tulisan ini merupakan artikel milik DDTCNews yang dimuat dalam https://news.ddtc.co.id/ dan rilis tanggal 7 Juni 2022