DJP Sebut Partisipasi pada PPS Bakal Hemat Beban Pajak dari WP
BERITA PAJAK HARI INI

JAKARTA, Ditjen Pajak (DJP) menyatakan program pengungkapan sukarela (PPS) akan menghemat beban pajak dari wajib pajak yang berpartisipasi. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Selasa (16/11/2021).  

DJP menyatakan terdapat penghematan pajak dari pembayaran pajak penghasilan (PPh) final yang menjadi syarat keikutsertaan PPS. Wajib pajak yang mengungkapkan hartanya harus menyetor PPh final dengan variasi tarif berbeda-beda. Simak ‘Mau Ikut Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak? Ini Aturannya’.

“Hal ini cukup oportunis apabila dibandingkan dengan pembayaran nominal ketetapan pajak akibat upaya pemeriksaan maupun penagihan pajak (tax enforcement). Partisipasi pada PPS akan menghemat beban pajak sekaligus menopang kegiatan usaha wajib pajak … di masa pandemi,” tulis DJP pada laman resminya.

PPS berlaku selama 6 bulan, yakni sejak 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022. Skema program ini terbagi atas 2 jenis, yaitu skema kebijakan pengungkapan atas harta dengan kategori harta yang belum dilaporkan pada tax amnesty dan non-tax amnesty. Simak ‘Perincian Ketentuan Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak UU HPP’.

Selain mengenai PPS, ada pula bahasan terkait dengan konsensus global atas solusi tantangan pajak akibat digitalisasi ekonomi. Pilar 1: Unified Approach dinilai belum akan menghasilkan tambahan penerimaan yang signifikan.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

Bebas dari Potensi Tuntutan Pidana

DJP menyatakan PPS juga memberikan kesempatan bagi wajib pajak untuk melaporkan aset yang belum sempat dilaporkan dengan diberikan pengampunan.

“Artinya, wajib pajak tidak lagi dihantui dengan potensi penjatuhan sanksi administratif perpajakan,” tulis DJP dalam laman resminya.

Wajib pajak juga akan terbebas dari potensi tuntutan pidana. UU HPP telah menegaskan seluruh informasi yang bersumber dari surat pengungkapan harta dan lampirannya tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana. (DDTCNews)

Pilar 1: Unified Approach

Meskipun potensi penerimaan yang didapat dari implementasi Pilar 1: Unified Approach tidak terlalu besar, DJP meyakini konsensus pajak global dapat menjamin hak pemajakan dari negara pasar seperti Indonesia.

"Memang betul potensinya tidak sangat besar sekali, tetapi kita punya hak pemajakan di dalamnya," kata Direktur Perpajakan Internasional DJP Mekar Satria Utama.

Setelah dilaksanakan selama 7 tahun, lanjut Mekar, negara-negara Inclusive Framework, termasuk Indonesia, akan memiliki kesempatan untuk mengevaluasi Pilar 1 yang telah diimplementasikan. Kesempatan ini dapat dimanfaatkan untuk memperluas cakupan Pilar 1. (DDTCNews/Bisnis Indonesia)

Sistem Pajak Lebih Adil

Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan Pilar 1 akan memberikan hak pemajakan bagi yurisdiksi pasar seperti Indonesia atas residual profit yang diperoleh perusahaan teknologi dan korporasi multinasional.

Secara nominal, lanjut Bawono, tambahan penerimaan pajak yang bakal diterima negara berkembang setelah tercapainya konsensus mungkin tidak akan memuaskan. Namun, sambungnya, tercapainya konsensus menjadi sebuah pencapaian yang luar biasa dan kemajuan besar bagi sistem perpajakan internasional.

Bawono juga mengatakan Indonesia dapat mengambil peran lebih banyak selaku presidensi G-20 pada tahun depan. Indonesia bisa mengambil peran untuk mendorong sistem pajak yang lebih adil bagi negara berkembang. (DDTCNews/Bisnis Indonesia)

NIK Sebagai NPWP Orang Pribadi

Direktur Kependudukan dan Jaminan Sosial Bappenas Muhammad Cholifihani menyampaikan penggunaan NIK sebagai NPWP orang pribadi sudah berlaku saat UU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) diundangkan menjadi UU No.7/2021.

Kendati begitu demikian, Cholifihani menuturkan implementasi integrasi NIK menjadi NPWP orang pribadi tidak serta merta berjalan di lapangan begitu UU 7/2021 terbit. Menurutnya, integrasi tetap membutuhkan proses.

"Insyaallah akan diimplementasikan mudah-mudahan tahun 2023. Karena pada tahun depan akan disiapkan mengenai teknologi informasinya," katanya. (DDTCNews)

Cukai Hasil Tembakau

Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Ditjen Bea dan Cukai Nirwala Dwi Heriyanto mengatakan Kementerian Keuangan menargetkan pengumuan terkait dengan kebijakan cukai rokok 2022 bisa dilakukan pada akhir bulan ini.

“Target akhir November karena itu kan masuk Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2021,” katanya.

Saat ini, pemerintah tengah menyusun peraturan menteri keuangan (PMK) terkait dengan kebijakan tarif cukai hasil tembakau pada 2022. Namun, dia belum bisa memerinci besaran tarif rokok tahun depan. (DDTCNews)