Dukung DJP, Dosen Agama dan Bahasa Indonesia se-DKI Jakarta ikuti Bimt

“Sadar dan taat pajak masih belum menjadi budaya Indonesia. Sudah saatnya kesadaran akan pentingnya pajak kita mulai sejak dini, seperti halnya konsep menabung dan bela negara,”ujar Hestu Yoga Saksama, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat saat membuka acara Diskusi Kelompok Terpumpun Dosen Mitra Inklusi Mata Kuliah Wajib Umum (MKWU) Agama dan Bahasa Indonesia se-DKI Jakarta yang dilaksanakan pada tanggal 27 September 2019 di Auditorium Cakti Buddhi Bhakti Gedung Maríe Muhammad Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak.

Samsuri selaku Plt. Ketua LLDIKTI Wilayah II turut mengamini perlunya edukasi kesadaran pajak untuk generasi muda. Beliau menuturkan bahwa kesadaran pajak semua masyarakat yang dimulai sejak dini dapat meningkatkan tax ratio Indonesia menjadi lebih baik. “LLDIKTI mendukung dan bersinergi dengan Direktorat Jenderal Pajak menyusun beberapa strategi untuk mendukung kesuksesan program Inklusi, di antaranya melalui penyusunan Rencana Pembelajaran Semester oleh para dosen koordinator Agama dan Bahasa Indonesia,”papar beliau.

Yustinus Prastowo memberikan pandangan mengenai pajak mewakili umat agama Katolik. Dalam paparannya, beliau mengutarakan bahwa pajak adalah wujud dari persembahan yang tidak hanya diberikan kepada Tuhan, namun juga kepada manusia. “Pajak adalah cara bagi manusia untuk mencapai keselamatan,”tuturnya. Hal senada juga ditambahkan oleh Suwarsono yang mewakili Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Agama Kristen. Berdasarkan Matius 22:17, beliau mengatakan,”Membayar pajak diterapkan oleh Yesus sebagai upaya untuk memberikan hak kepada orang yang mengurus hal tersebut karena mereka yang mengurus itu adalah pelayan-pelayan Allah.”

Di luar sudut pandang keagamaan, upaya membangun kesadaran masyarakat terhadap pajak juga perlu menggunakan pendekatan semantik. I Nyoman Widia selaku narasumber mewakili umat agama Hindu meminta agar konsep pajak yang disampaikan kepada masyarakat dapat didefinisikan ulang. “Selama ini pajak didefinisikan sebagai “”kontribusi yang bersifat memaksa dan masyarakat tidak mendapat imbalan secara langsung atas pajak”. Penerimaan masyarakat akan berbeda jika dinarasikan menjadi “mendapat imbalan secara tidak langsung”. Makna sama, tapi rasa berbeda”,pungkas beliau.

Acara ini merupakan kelanjutan program Inklusi Kesadaran Pajak yang dicanangkan oleh Kementerian Keuangan untuk mengintegrasikan materi kesadaran pajak pada kurikulum pendidikan. Selain 200 dosen Agama dan Bahasa Indonesia dari perguruan tinggi di DKI Jakarta, acara ini juga dihadiri oleh beberapa tokoh lintas agama, perwakilan dari Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat beberapa agama dari Kementerian Agama dan 61 fasilitator Inklusi dari unit kerja Kanwil DJP di DKI Jakarta. Fasilitator Inklusi ini nantinya akan menjadi jembatan penghubung antara Direktorat Jenderal Pajak dengan Perguruan Tinggi dalam pelaksanaan program Inklusi Kesadaran Pajak.

*Tulisan ini pernah dimuat di http://edukasi.pajak.go.id dan rilis tanggal 27 September 2019