SURABAYA, Asosiasi Tax Center Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia (Atpetsi) berkomitmen untuk mendorong riset bersama berbasis kewilayahan. Kegiatan ini akan dijalankan tax center dan Kanwil Ditjen Pajak (DJP).
Ketua Umum Atpetsi Darussalam mengatakan pelaksanaan riset bersama berbasis kewilayahan adalah salah satu poin kerja sama yang sudah dijalin dengan DJP. Riset berbasis kewilayahan perlu dilakukan untuk mengetahui secara pasti potensi pajak dan kepatuhan pajak pada wilayah tertentu.
"Ini sangat menarik. Berapa potensi pajak dalam suatu Kanwil DJP? Kalau ada tax gap maka berapa tax gap-nya baik secara administrasi maupun secara kebijakan," ujar Darussalam dalam talk show bertajuk Peran Strategis Tax Center Dalam Mewujudkan Masyarakat Sadar Pajak, Sabtu (31/7/2021).
Dalam acara yang digelar bersamaan dengan peluncuran Asosiasi Tax Center Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia (Atpetsi) Jawa Timur tersebut, Darussalam mengatakan riset bersama sejalan dengan kebijakan pengawasan berbasis kewilayahan yang tengah dijalankan DJP.
Tidak hanya itu, Atpetsi juga mengajak seluruh stakeholder untuk duduk bersama merancang dan merevitalisasi kurikulum pajak. Hal ini diperlukan agar kurikulum pajak mampu menjawab tantangan perpajakan yang berkembang saat ini.
Darussalam mengatakan ruang lingkup dan isu perpajakan terus berkembang secara dinamis. Oleh karena itu, diperlukan suatu kurikulum yang mampu menjawab berbagai tantangan. Terdapat 4 aspek yang tercakup dalam kerja sama antara Atpetsi dan DJP guna membina dan mengembangkan tax center di seluruh Indonesia.
Selain mendorong riset bersama berbasis kewilayahan, Atpetsi dan DJP juga bekerja sama dalam hal meningkatkan edukasi, inklusi, dan sosialisasi pajak; pemberian pelatihan pajak bagi stakeholder; dan pembaruan kurikulum pajak pada perguruan tinggi.
Mengutip Vito Tanzi dalam buku The Ecology of Tax Systems, Darussalam mengatakan keberhasilan suatu sistem pajak ditentukan oleh tarik-menarik kepentingan antar-stakeholder dalam mendesain sistem pajak yang tepat untuk perekonomian negara masing-masing.
Dalam suatu sistem perpajakan, setidaknya terdapat 2 stakeholder dengan kepentingan dan perspektif yang berbeda. Otoritas pajak memiliki kepentingan untuk mengumpulkan pajak demi penerimaan negara, sedangkan wajib pajak sendiri cenderung memandang pajak sebagai biaya.
Untuk menyeimbangkan kepentingan dan sudut pandang tersebut, perlu ada pihak ketiga yang menjembatani otoritas pajak dan wajib pajak. Dengan demikian, hubungan antara kedua pihak dapat berjalan dengan harmonis.
Salah satu pihak ketiga yang dimaksud adalah tax center. Selain tax center, sesungguhnya terdapat pihak lain yang dapat menjadi pihak ketiga seperti universitas secara umum, konsultan pajak, asosiasi pajak, dan lain-lain.
"Pihak yang independen, mempunyai basic knowledge perpajakan, bisa menjadi jembatan yang tidak memihak, tidak ada kepentingan revenue. Pilihannya menurut saya adalah tax center yang ada di perguruan tinggi," imbuh Darussalam. (kaw)