Ini Kriteria Pengusaha Kena Pajak secara Konseptual
KELAS PPN

MELANJUTKAN pembahasan Konsep Dasar Pengusaha Kena Pajak, Kelas Pajak berikut ini membahas pengertian Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau taxable person yang terdapat dalam Value Added Tax (VATDirective. 

Menurut Ad van Doesum, Herman van Kesteren, dan Gert-Jan van Norden (2016), PKP memiliki elemen dasar, yaitu (1) person, (2) menjalankan kegiatan ekonomi (economic activity), (3) di tempat manapun (in any place), (4) dilakukan secara independen (independently).

Keempat elemen tersebut merupakan kriteria dalam menentukan apakah person dapat dianggap sebagai PKP atau tidak. Lebih lanjut, Ad van Doesum, Herman van Kesteren, dan Gert-Jan van Norden (2016) memberikan penjelasan dari masing-masing elemen di atas sebagai berikut.

1. Person

Pengertian person sangat luas, mencakup siapapun dengan atau tanpa bentuk atau status hukum. Akibatnya, status PKP tidak bergantung pada bentuk usaha atau status hukum tertentu.

Meskipun suatu bentuk usaha tidak diakui sebagai “legal person” berdasarkan hukum yang berlaku, bentuk usaha tersebut tetap dapat dianggap sebagai person dari sudut pandang PPN dan dapat dikategorikan sebagai PKP.  

Konsekuensinya, person yang bekerja secara independen (wiraswasta), badan hukum swasta dan publik, serta joint ventures dan kemitraan (partnership) dapat dikategorikan sebagai PKP.

2. Menjalankan Kegiatan Ekonomi (Economic Activity)

Berdasarkan pengertian PKP dalam VAT Directive, PPN hanya dikenakan atas transaksi yang terkait dengan kegiatan ekonomi dari PKP yang melakukan penyerahan.

Sebagai contoh, apabila pengusaha menjual sebuah mobil bekas, harus ditentukan terlebih dahulu apakah penjualan tersebut dilakukan oleh pengusaha sebagai kegiatan pribadinya (misal, mobil tersebut dibeli dan digunakan untuk tujuan pribadi) atau apakah penjualan tersebut dilakukannya sebagai kegiatan usahanya (misal, mobil dibeli dan digunakan semata-mata untuk tujuan usaha).

Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa sangat penting untuk menginterpretasikan istilah ‘kegiatan ekonomi’ secara luas karena apabila istilah kegiatan ekonomi diinterpretasikan secara terbatas, terdapat kemungkinan transaksi-transaksi tertentu tidak dapat dikenai PPN. Interpretasi terbatas ini tentunya tidak sejalan dengan tujuan PPN untuk mengenakan pajak atas semua penyerahan barang dan jasa.

Pengertian dari istilah kegiatan ekonomi tidak selalu sama. Namun, berdasarkan pengertian kegiatan ekonomi dalam Pasal 9 VAT Directive, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

  1. suatu kegiatan dapat digolongkan sebagai kegiatan ekonomi hanya apabila kegiatan tersebut dilakukan secara berkelanjutan;
  2. suatu kegiatan dapat digolongkan sebagai kegiatan ekonomi hanya apabila kegiatan tersebut dilakukan atas dasar ‘nilai’;
  3. kegiatan ekonomi tidak selalu merupakan kegiatan yang bertujuan memperoleh keuntungan atau laba. Artinya, hasil dari kegiatan yang dilakukan tidak relevan dalam menentukan apakah suatu kegiatan merupakan kegiatan ekonomi atau bukan. Hal yang relevan dalam menentukan status PKP adalah sifat dari kegiatan itu sendiri;
  4. kegiatan ekonomi harus merupakan kegiatan yang dilakukan secara teratur. Oleh karena itu, kegiatan yang bersifat tidak terduga (incidental) atau kegiatan yang dilakukan sesekali tidak dapat dianggap sebagai kegiatan ekonomi;
  5. kegiatan ekonomi dianggap telah dimulai sejak kegiatan tersebut dipersiapkan. Oleh karenanya, pembelian aset perusahaan untuk kegiatan operasional harus dianggap sebagai kegiatan ekonomi (Aleksandra Bal, 2013);
  6. suatu person dapat menjalankan dua jenis kegiatan secara bersamaan, yaitu kegiatan ekonomi dan bukan kegiatan ekonomi. Misalnya, badan hukum publik yang menjalankan kegiatannya sebagai otoritas publik seringkali terlibat dalam kegiatan ekonomi dan bukan kegiatan ekonomi.

Kegiatan ekonomi merupakan elemen penting dari konsep PKP (Murray L. Weidenbaum dan Ernest S. Christian, Jr, 1989). Person yang tidak melakukan kegiatan ekonomi tidak dapat diperlakukan sebagai PKP.

Memberikan jawaban yang salah atas pertanyaan apakah suatu person menjalankan kegiatan ekonomi atau tidak sehingga berujung pada kesalahan dalam menyimpulkan status PKP, dapat mengakibatkan timbulnya konsekuensi keuangan yang besar bagi person tersebut. Oleh karenanya, kepastian hukum mengenai konsep PKP sangat penting untuk diciptakan (Aleksandra Bal, 2013 ).

3. Di Tempat Manapun (in Any Place)

Penentuan apakah suatu person merupakan PKP atau bukan, tidak bergantung pada kewarganegaraan yang dimiliki oleh person tersebut. Artinya, sepanjang person telah memenuhi syarat sebagai PKP di suatu negara, person tersebut harus diperlakukan sebagai PKP tanpa memperhatikan kewarganegaraan dari person tersebut.

Sebagai contoh, perusahaan manufaktur mobil dari Mesir yang didirikan dan melakukan kegiatan usaha di Jerman dapat dianggap sebagai PKP di Jerman sepanjang perusahaan tersebut memenuhi persyaratan sebagai PKP berdasarkan Pasal 9 VAT Directive.

Status PKP juga tidak bergantung pada tempat di mana kegiatan usaha didirikan. Karena, fokus utama dari sistem PPN adalah pada penyerahan yang dilakukan oleh PKP (objek PPN), bukan pada PKP yang melakukan penyerahan tersebut (subjek PPN).

Meskipun tempat pendirian kegiatan usaha tidak relevan dalam penentuan status PKP, konsep tempat pendirian memiliki kaitan erat dalam menentukan tempat penyerahan sehingga dapat diketahui negara mana yang berhak memungut PPN atas suatu penyerahan, khususnya dalam transaksi lintas batas.

Penerapan konsep tempat pendirian dalam menentukan tempat penyerahan dapat dilihat pada ketentuan VAT Directive yang mengatur mengenai tempat penyerahan jasa lintas batasMisal, sehubungan dengan penyerahan jasa antar pengusaha (B2B services), sangat penting untuk mengetahui di mana penerima jasa didirikan.

Sementara, dalam hal penyerahan jasa antara pengusaha dan konsumen (B2C services), lokasi kegiatan usaha dari pihak yang menyerahkan jasa harus diketahui sehingga dapat ditentukan negara mana yang berhak mengenakan PPN atas penyerahan tersebut.

4. Secara Independen (Independently)

Berdasarkan penjelasan mengenai istilah “secara independen” dalam Pasal 10 VAT Directiveperson yang terikat pada pemberi kerja atas dasar kontrak kerja antara karyawan dan pemberi kerja atau oleh ikatan hukum lainnya tidak dapat dianggap sebagai person yang menjalankan kegiatan ekonomi secara independen.

Kriteria ini telah lama menjadi perdebatan dalam ECJ. Namun, dalam rangka menentukan apakah person bertindak secara independen atau tidak, ECJ juga mempertimbangkan ada atau tidaknya risiko ekonomi yang ditanggung oleh person tersebut atas kegiatan yang dilakukannya.

Apabila terdapat risiko ekonomi yang ditanggung oleh person atas kegiatan yang dilakukannya, dapat disimpulkan bahwa person tersebut menjalankan kegiatan ekonomi secara independen.