Insentif pajak yang diterbitkan pemerintah sangat membantu Wajib Pajak. Namun, pemerintah juga harus membuat kebijakan agar arus kas Wajib Pajak terjaga.
Pemerintah meyakini, masa kritis akibat pandemi Covid-19 telah berlalu. Pada Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2020 awal Desember lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan perekonomian Indonesia telah melewati titik terendahnya. Setidaknya ini bisa terlihat dari sisi pergerakan konsumsi, listrik, ekspor, impor bahan baku dan barang modal yang cukup positif dan solid, belanja bantuan sosial pemerintah yang meningkat drastis secara month to month. Pertumbuhan ekonomi pun mengalami perbaikan dari minus 5,32 persen pada kuartal II menjadi minus 3,49 persen pada kuartal III. Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan agar ekonomi Indonesia segera pulih.
Perbaikan itu tak lepas dari berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi pandemi. Di bidang perpajakan, pemerintah telah memberikan berbagai insentif untuk Wajib Pajak melalui terbitnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 dan Omnibus Cipta Kerja.
Managing Partner Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam mengatakan, di masa pandemi ini telah mengalami pergeseran titik fokus. Dari yang selama ini lebih difokuskan kepada penerimaan, bergeser menjadi regulerend.
“Ada dua fungsi yang harus berjalan bersama-sama karena bagaimanapun fungsi utama DJP adalah mengumpulkan penerimaan. Tetapi karena ini adalah masa yang sulit, ekonomi sedang lemah maka pajak ikut turun mengatur—regulerend,” kata Darussalam pada acara Seminar Nasional Taxplore 2020 yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Sabtu, (28/11).
Darussalam menyebut, kebijakan-kebijakan yang diterbitkan pemerintah itu sangat membantu Wajib Pajak. Pajak, menurut Darussalam pada dasarnya tunduk dengan apa yang menjadi kebijakan dan sasaran ekonomi dari suatu pemerintahan. Dengan kata lain, pajak adalah ekor dari ekonomi. Jika ekonomi baik, seharusnya penerimaan pajak pun ikut baik. Begitu pun sebaliknya.
“Pajak adalah alat dari ekonomi nasional suatu negara. Jadi, ketika sekarang negara sedang dalam rangka bagaimana ekonomi bertahan, bagaimana ekonomi kita ke depan ya pajak tinggal mengikuti pola kebijakan ekonomi pemerintah seperti apa,” ujar Darussalam.
Strategi baru
Darussalam mengajak agar pandemi ini menjadi momentum bagi pemerintah untuk melakukan reformasi pajak, juga bagi otoritas pajak untuk mencari strategi baru kebijakan pajak. Misalnya perluasan basis pajak. Darussalam menilai, selama ini yang menjadi sorotan atau fokus otoritas pajak adalah kebijakan yang sifatnya capital gain—sifatnya modal.
Otoritas pajak, menurut Darussalam bisa mulai menerapkan pajak warisan, seperti yang dilakukan Korea Selatan. Ia mencontohkan kasus pajak warisan yang diperoleh pemerintah Korea Selatan setelah meninggalnya pendiri Samsung Lee Kun Hee. Di Korea Selatan, tarif pajak warisan yang dikenakan atas saham yang diperdagangkan di bursa efek mencapai 50 persen. Dasar pengenaan pajak warisan atas saham ditentukan berdasarkan rata-rata harga selama empat bulan, sebelum dan setelah pemberi warisan meninggal.
“Kalau kita kaitkan dengan Indonesia, ini sebenarnya peluang. Kita enggak mengenal pajak atas warisan. Tetapi pembelajaran dari Korea Selatan ini kan menarik. Supaya kekayaan itu tidak menumpuk di segelintir orang, harus ada mekanisme bagaimana kekayaan itu bisa terdistribusi ke banyak pihak. Salah satunya perlu kita merumuskan untuk pajak atas warisan. Mempersiapkan kebijakan pajak pasca-pandemi untuk pemulihan ekonomi nasional jangka menengah dan jangka panjang.”
Meski demikian, Darussalam mengingatkan, kebijakan yang digelontorkan harus berdasarkan prinsip good governance. Artinya, setiap kebijakan pajak harus bisa dinilai, diukur, dan dipertanggungjawabkan.
Selain itu, di masa pemulihan ekonomi ini Darussalam berharap pemerintah membuat kebijakan agar Wajib Pajak tetap bisa menjaga cash flow mereka agar tidak mati permanen di masa pandemi.
“Yang kita butuhkan sebenarnya adalah bagaimana cash flow Wajib Pajak tetap ada. Sehingga fokus kebijakan pajak adalah menjaga cash flow. Dalam konteks Indonesia, andai kata tahun 2021 ini karena situasinya belum selesai, baru mengarah recovery, kebijakan-kebijakan yang bersifat cash flow ini kami minta dipertahankan,” harap Darussalam.
Selain itu, kepada Wajib Pajak, Darussalam juga berharap, setelah berbagai kebijakan yang diberikan pemerintah, ke depan Wajib Pajak diharapkan bisa patuh secara suka rela, yakni membayar sesuai degan kemampuan mereka.
“Pandemi mudah-mudahan berakhir dan Indonesia masuk ke era baru hubungan antara otoritas pajak dan Wajib Pajak. Pandemi dijadikan saluran solidaritas. Maksudnya, bagaimana Wajib Pajak yang selama ini ability to pay-nya tinggi seharusnya membayar pajak juga tinggi.”