Jangan Biarkan DJP Sendirian

Masyarakat perlu dibangunkan agar bahu-membahu menuju sistem pajak yang lebih baik.

Darussalam, pendiri DDTC Fiscal Research sekaligus penulis buku-buku perpajakan, mengungkapkan ekosistem pajak yang ideal hanya dapat diwujudkan melalui tiga aspek yaitu, literasi, edukasi, dan riset yang optimal di bidang perpajakan.

“Karena ketiga aspek tersebut akan mendorong debat yang sehat, interaksi yang seimbang, dan gotong royong atau partisipasi dalam sistem pajak. Kunci ketiga aspek tersebut tentu literatur perpajakan,” ungkapnya kepada Majalah Pajak, Jumat (18/06).

Untuk mendukung ekosistem tersebut, ia mengembangkan DDTC Fiscal Research yang didukung dengan keberadaan perpustakaan perpajakan yang sangat lengkap, dengan koleksi ribuan buku perpajakan dari dalam dan luar negeri.

“Kami sejak awal berkomitmen untuk membangun suatu perpustakaan pajak yang nantinya akan bermanfaat bagi seluruh stakeholders,” tambahnya.

Pria yang juga Ketua Umum Asosiasi Tax Center Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia (ATPETSI) ini mengatakan pemanfaatan riset melibatkan perguruan tinggi sangatlah penting, karena tax center dan perguruan tinggi berperan sebagai jembatan antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat secara keseluruhan.

“Upaya menjembatani tersebut salah satunya melalui riset. Riset tersebut haruslah kontekstual serta mampu menggabungkan antara teori dan praktik. Hasil riset juga harus didiseminasikan. Oleh karena itu, kolaborasi dengan dunia usaha dan pemerintah perlu diperkuat,” katanya.

Wake up call”

Darussalam menjelaskan, Hari Pajak yang diperingati tiap tanggal 14 Juli merupakan wake up call bagi seluruh masyarakat tanah air.

Wake up call tersebut tidak hanya menekankan kembali mengenai peran pajak sebagai tulang punggung pembangunan negara, tapi juga menjadi alat pengingat yang menggugah kesadaran kita tentang sudah seberapa besar kontribusi kita bagi pajak di Indonesia,” jelasnya.

Ia berpendapat, saat ini, DJP telah bertransformasi menjadi otoritas pajak yang modern, gesit, dan selaras dengan lanskap sistem pajak yang dinamis. Tidak hanya itu saja, DJP kian mengedepankan aspek pelayanan, kemudahan administrasi, teknologi informasi, dan transparansi, tanpa menanggalkan jati dirinya sebagai institusi yang bertugas mengumpulkan penerimaan pajak. Menurutnya, alangkah baiknya jika hal ini dilakukan bersama pemangku kepentingan lainnya menuju sistem pajak yang lebih baik.

“Saya ingin mengajak kepada seluruh stakeholders perpajakan tanah air bahwa DJP jangan dibiarkan sendirian dalam mengemban tugas penerimaan yang kian menantang. Justru kita semua melalui peran masing-masing haruslah bahu-membahu untuk menuju sistem pajak yang lebih baik lagi,” ujarnya.

Disinggung soal peran generasi muda, Darussalam menyebut merekalah pembayar pajak yang akan menjamin ketersediaan dana pembangunan di Indonesia di masa depan. Selain itu, merekalah tumpuan ketersediaan SDM unggul di bidang perpajakan.

“Oleh karena itu, engagement mereka kepada dunia perpajakan sangatlah diperlukan. Cita-cita membangun sistem pajak yang berkelanjutan akan sulit diwujudkan jika kita hanya memiliki sedikit ahli pajak, baik yang tersebar di pemerintahan baik pusat dan daerah, kampus, dunia usaha, konsultan, maupun LSM,” terangnya.

Tantangan pajak digital

Tak dapat dipungkiri, pandemi Covid-19 memberikan dampak yang luar biasa terhadap perekonomian. Salah satunya melambatnya pertumbuhan ekonomi global, termasuk di Indonesia, yang mengakibatkan belum berhasilnya Indonesia keluar dari jurang resesi. Oleh karena itu, pengenaan pajak terhadap produk dan layanan digital dianggap sebagai potensi untuk menambah penerimaan negara.

Melihat hal tersebut, Darussalam menganggap bahwa isu pajak digital yang krusial saat ini lebih kepada yang bersifat lintas yurisdiksi khususnya bagi PPh perusahaan digital. Sebagai negara pasar yang memiliki pengguna internet yang besar, hingga saat ini kita masih belum bisa mengenakan pajak bagi perusahaan digital. Isunya mencakup dua hal, yaitu kesulitan mendapatkan hak pemajakan karena mereka bisa memperoleh penghasilan dari Indonesia tanpa menjadi SPDN maupun BUT. Kedua, perlunya jaminan alokasi laba yang adil dari perusahaan digital tersebut untuk dipajaki di Indonesia.

“Dalam hal ini Indonesia tetap menunggu konsensus global yang diharapkan selesai pada semester II 2021 ini. Kalaupun tidak, kita juga sudah bersiap dengan mekanisme pajak transaksi elektronik (PTE) sebagaimana telah diatur dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 sebagaimana telah diundangkan melalui UU Nomor 2 Tahun 2021,” imbuhnya.

Ia pun melanjutkan, dalam ranah konsensus global, tantangannya lebih kepada bagaimana menjamin kesepakatan yang bisa diterima seluruh negara. Karena suka tidak suka, ini mencakup aspek politik dan kedaulatan pajak tiap negara.

*Tulisan ini pernah dimuat di https://majalahpajak.net/ dan rilis tanggal 4 Agustus 2021