JAKARTA, Rencana investigasi Amerika Serikat (AS) terhadap pajak digital beberapa negara, termasuk Indonesia, kembali menjadi sorotan media nasional pada hari ini, Selasa (8/6/2020). Apalagi, hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari pemerintah sebagai respons atas sikap AS.
Terkait pemajakan terhadap ekonomi digital, pemerintah Indonesia telah mengatur pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan (PPh), dan pajak transaksi elektronik (PTE) melalui Undang-Undang (UU) No.2 Tahun 2020.
Lantas, pengenaan pajak apa yang dipermasalahkan AS? Dalam artikel opini berjudul “Polemik Pajak Digital” yang dimuat di Bisnis Indonesia, Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji berpendapat AS sepertinya tidak akan mempermasalahkan pengenaan PPN yang berlaku mulai 1 Juli 2020.
Pasalnya, saat ini seluruh negara sepakat bahwa dalam transaksi lintas yurisdiksi, hak pengenaan PPN diberikan kepada negara tempat dimanfaatkannya barang dan jasa kena pajak (destination principle). OECD juga telah memberikan anjuran dan panduan pemajakan digital melalui PPN.
Berbeda dengan PPN, konsensus global mengenai PPh perusahaan digital belum ada. Skeptisme atas prospek konsensus global mendorong langkah sepihak (unilateral). Langkah ini bervariasi, tetapi yang paling populer adalah digital service tax (DST) atau serupa dengan PTE dalam UU No.2 Tahun 2020.
Bawono mengatakan pengenaan DST inilah yang membuat AS berang karena kerap didesain untuk menyasar perusahaan dengan peredaran bruto tertentu. Seperti hasil investigasi USTR sebelumnya, dengan threshold EUR750 juta, DST Prancis dinilai diskriminatif karena mayoritas yang terkena perusahaan asal AS. Simak artikel ‘Ditekan AS, Prancis Putuskan Tunda Pengenaan Pajak Digital’.
“Lantas, apakah kita perlu untuk membatalkan ketentuan [PTE] tersebut? Jawabannya, tidak,” tegas Bawono dalam artikel opini tersebut.
Selain terkait dengan pajak digital, ada pula bahasan mengenai akan dibukanya kembali pelayanan tatap muka Ditjen Pajak (DJP) mulai 15 Juni 2020. Sejumlah protokol disiapkan dalam menghadapi tatanan kenormalan baru (new normal).
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan pemerintah perlu meminimalkan risiko ancaman AS dengan berhati-hati dalam mendesain PTE, terutama terkait threshold peredaran bruto global. Hal ini penting agar tidak terkesan hanya menyasar perusahaan digital asal AS.
“Kalau menurut saya, kita tidak perlu buru-buru menarik PTE. Jika konsensus ada maka kita tinggal menyesuaikan. Jika konsensus tidak tercapai maka kita sudah mengambil ancang-ancang,” kata Darussalam. (Kontan)
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengungkapkan setidaknya ada lima alasan tidak perlu dibatalkannya ketentuan PTE. Pertama, UU No.2 Tahun 2020 harus dipahami sebagai skenario antisipatif menghadapi perkembangan konsensus global PPh perusahaan digital. Kedua, urgensi pajak digital di tengah krisis Covid-19.
Ketiga, mempertanyakan posisi AS yang justru memberikan sinyal penolakan proposal OECD. Keempat, semakin banyaknya langkah unilateral akan memberi tekanan tersendiri bagi AS untuk mengambil langkah balasan. Kelima, membuat desain PTE yang tidak diskriminatif, terutama dalam penentuan threshold peredaran usaha atau penjualan. (Bisnis Indonesia)
Pelayanan langsung atau tatap muka DJP dibuka kembali mulai Senin, 15 Juni 2020. Namun, ada beberapa layanan yang tetap dikecualikan kerena bisa diakses secara elektronik atau online. Ketentuan ini termuat dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-33/PJ/2020.
Beberapa layanan yang tidak dilayani secara tatap muka antara lain pertama, pendaftaran NPWP. Kedua, pelaporan SPT Tahunan dan SPT Masa yang sudah wajib e-Filing. Ketiga, surat keterangan fiskal (SKF).
Keempat, validasi SSP PPhTB. Kelima, aktivasi dan lupa EFIN. Keenam, layanan di Unit Pelaksana Restitusi Pajak Pertambahan Nilai Bandar Udara (UPRPPN Bandara). Simak pula artikel ‘Mau Konsultasi Tatap Muka dengan Pegawai DJP? Harus Buat Janji Dulu’. (DDTCNews)
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan unit vertikal DJP akan menjadi penentu kuota wajib pajak yang dapat dilayani secara tatap muka. Jumlah wajib pajak yang bisa dilayani akan disesuaikan dengan kondisi kantor dan sumber daya manusia yang bertugas.
"KPP akan mengatur jumlah wajib pajak yang bisa dilayani tatap muka dalam suatu waktu tertentu, misalnya untuk per hari," katanya. (DDTCNews)
Debitur usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan plafon kredit sebesar Rp50 juta atau lebih rendah bisa mendapatkan NPWP secara jabatan dalam rangka mengakses fasilitas subsidi bunga dari pemerintah.
Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 65/2020 tentang Tata Cara Pemberian Subsidi Bunga/Subsidi Margin untuk Kredit/Pembiayaan UMKM dalam rangka Mendukung Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Simak artikel ‘NPWP untuk Raih Subsidi Bunga UMKM Bisa Ditetapkan Secara Jabatan’. (Kontan/DDTCNews)