Klarifikasi DJP Soal Pengenaan Bea Meterai pada Transaksi Saham
BERITA PAJAK HARI INI

JAKARTA, Ditjen Pajak (DJP) memberikan klarifikasi atas beredarnya informasi di masyarakat mengenai pengenaan bea meterai terhadap trade confirmation (TC) transaksi surat berharga – seperti saham, obligasi, dan lainnya – tanpa batasan nilai.

Klarifikasi tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Senin (21/12/2020). Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan saat ini DJP tengah menyusun peraturan pelaksanaan atas UU 10/2020 tentang Bea Meterai.

“Pengenaan bea meterai akan dilakukan terhadap dokumen dengan mempertimbangkan batasan kewajaran nilai yang tercantum dalam dokumen dan memperhatikan kemampuan masyarakat,” ujarnya. Simak bahasan bea meterai dalam Kelas Bea Meterai.

Selain mengenai bea meterai, ada pula bahasan terkait dengan intervensi pemerintah pusat dalam konteks pungutan pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD). Kemudian, ada juga bahasan mengenai tax allowance.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

  • Koordinasi dengan Otoritas Moneter dan Pelaku Usaha

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan untuk mendorong program pemerintah dan/atau kebijakan lembaga yang berwenang di bidang moneter atau jasa keuangan, fasilitas pembebasan bea meterai juga bisa diberikan.

“DJP sedang berkoordinasi dengan otoritas moneter dan pelaku usaha untuk merumuskan kebijakan tersebut. Demikian disampaikan untuk dipahami sambil menunggu peraturan pelaksanaan UU Bea Meterai tersebut diterbitkan,” jelas Hestu. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)

  • Terbatas pada PSN

Asisten Deputi Moneter dan Sektor Eksternal Kemenko Perekonomian Ferry Irawan mengatakan ada 5 poin penting pengaturan kebijakan PDRD dalam aturan turunan UU Cipta Kerja. Pertama, penghapusan retribusi izin gangguan. Kedua, penyesuaian tarif PDRD oleh pemerintah pusat.

Memang ada implikasi ke penerimaan daerah makanya kita batesin ke PSN (proyek strategis nasional) saja, ada list proyeknya,” kata Ferry.

Ketiga, pemberian insentif fiskal oleh daerah dalam mendukung kemudahan berinvestasi. Keempat, perbaikan mekanisme evaluasi raperda dan pengawasan perda. Kelima, sanksi untuk pemerintah daerah yang melanggar ketentuan. (Kontan)

  • Tax Allowance

Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) meminta Indonesia memperjelas tujuan insentif pengurangan penghasilan neto sebesar 30% selama 6 tahun kepada bidang usaha tertentu yang tertuang dalam PP 78/2019 mengenai tax allowance.

“Ketentuan tax allowance yang berlaku menciptakan ketidakadilan (unequal playing field) antarinvestor. Hal ini mengurangi efektivitas dan efisiensi dari insentif pajak tersebut," tulis OECD pada laporan OECD Investment Policy Reviews: Indonesia 2020. (DDTCNews/Kontan)

  • Tax Holiday

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengungkapkan industri yang mengolah bubur kertas atau pulp menjadi produk kertas lain perlu didukung melalui tax holiday. Industri pulp dan produk-produk turunannya merupakan industri pionir yang memiliki nilai tambah dan nilai investasi besar.

"Industri pulp kami lihat selama ini potensinya masih terbatas, kami menargetkan industri pulp bisa menghasilkan produk turunan sehingga terdapat nilai tambah yang semakin besar dari pulp ini,” ujar Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal BKPM Yuliot. (DDTCNews/Bisnis Indonesia)

  • Penerimaan Pajak

Sekretaris Eksekutif I Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Raden Pardede menyebut pemerintah perlu menarik pajak lebih banyak setelah pandemi Covid-19.

Raden mengatakan pemerintah akan membutuhkan penerimaan pajak lebih besar untuk membayar utang yang melonjak selama pandemi. Menurutnya, upaya pengumpulan pajak yang lebih agresif itu bisa dimulai pada 2022.

"Mungkin nanti 2-3 tahun atau 4 tahun yang akan datang, pemerintah juga harus menarik pajak lebih banyak lagi supaya bisa menutup utang yang naik akibat dari program ini," katanya. (DDTCNews)