Konsep Dasar Rekonsiliasi Fiskal
REKONSILIASI FISKAL (1)

DALAM setiap tahun pajak, laporan keuangan yang disusun oleh wajib pajak orang pribadi dan badan yang menjalankan usaha biasanya harus disesuaikan dengan peraturan fiskal. Hal itu wajib dilakukan ketika laporan keuangan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk membuat surat pemberitahuan (SPT) tahunan pajak penghasilan (PPh). Penyesuaian ini lebih dikenal dengan istilah rekonsiliasi fikal atau koreksi fiskal.

Pertanyaan mendasarnya, mengapa diperlukan proses rekonsiliasi fiskal untuk menghitung pajak terutang? Secara umum, standar laporan keuangan perusahaan yang berlaku di Indonesia saat ini mengacu pada standar akuntansi keuangan (SAK), yang tidak selalu sesuai atau selaras dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Oleh sebab, itu diperlukan rekonsiliasi fiskal untuk menyelaraskan keduanya.

Konsep Dasar

Secara konsep, Indonesia adalah negara yang menganut adanya sistem practically formal dependence antara standar akuntansi komersial dan standar akuntansi pajak. Artinya, tidak ada perbedaan sistem antara standar akuntansi perpajakan dan akuntansi komersial (Essers dan Russo, 2009). Atau dengan kata lain, selama suatu transaksi atau peristiwa keuangan tidak diatur secara khusus oleh peraturan perundang-undangan perpajakan, maka pembukuannya harus mengikuti akuntansi komersial atau SAK yang ada.

Walau demikian, dalam hal terdapat suatu peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang secara khusus mengatur tata cara pembukuan atas suatu transaksi atau peristiwa, maka tata caranya mengikuti standar akuntansi perpajakan.

Hal ini ditunjukkan melalui Penjelasan Pasal 28 Ayat (7) UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang mengatur bahwa pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang sebagai berikut:

“….pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain.”

Perlu dipahami, seringkali terjadi pemahaman yang keliru bahwa wajib pajak harus melakukan dua laporan keuangan, yaitu laporan keuangan secara komersial dan laporan keuangan secara pajak. Sesuai pasal di atas, dapat ditegaskan bahwa pada dasarnya wajib pajak hanya perlu membuat satu laporan keuangan berdasarkan sistem komersial, namun khusus untuk penghitungan pajak terutang, diperlukan penyesuaian kembali berdasarkan laporan keuangan komersial yang telah dibuat.

Penghitungan Laba Komersial Vs Fiskal

Rekonsiliasi fiskal dilakukan oleh wajib pajak karena terdapat perbedaan perhitungan antara laba menurut komersial atau akuntansi dengan laba menurut perpajakan. Laporan keuangan komersial ditujukan untuk menilai kinerja ekonomi dan keadaan finansial dari sektor swasta, sedangkan laporan keuangan fiskal lebih ditujukan untuk menghitung pajak.

Dengan demikian, rekonsiliasi fiskal dapat diartikan sebagai usaha mencocokan perbedaan yang terdapat dalam laporan keuangan komersial dengan perbedaan yang terdapat dalam laporan keuangan fiskal yang disusun berdasarkan UU perpajakan. Rekonsiliasi dilakukan terhadap pos-pos penghasilan dan pos-pos biaya laporan keuangan komersial, antara lain:

  • rekonsiliasi terhadap penghasilan yang dikenakan PPh final;
  • rekonsiliasi terhadap penghasilan yang bukan merupakan objek pajak;
  • wajib pajak mengeluarkan biaya-biaya yang tidak boleh menjadi pengurang penghasilan bruto;
  • wajib pajak menggunakan metode pencatatan yang berbeda dengan ketentuan pajak; dan
  • wajib pajak mengeluarkan biaya-biaya untuk mendapatkan pendapatan yang telah dikenakan PPh fnal dan pendapatan yang dikenakan PPh non final.

Atas pos-pos penghasilan dan biaya di atas dilakukan rekonsiliasi fiskal yang pada umumnya mengacu pada Pasal 4 ayat (2), Pasal 4 ayat (3), Pasal 6 dan Pasal 9 UU PPh. Namun, terdapat pula ketentuan perpajakan lain (UU PPh dan aturan turunannya) yang dapat menjadi acuan dalam melakukan rekonsiliasi fiskal.*