Makin Konservatif Beri Insentif Pajak, BKF: 2021 Konsolidasi Fiskal
BERITA PAJAK HARI INI

JAKARTA, Pemerintah mengaku akan semakin konservatif dalam pemberian insentif pajak pada tahun depan. Topik tersebut menjadi bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (21/8/2020).

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu mengatakan tahun depan harus dilihat sebagai periode untuk mulai melakukan konsolidasi fiskal. Terlebih, penerimaan pajak pada tahun ini masih berisiko turun lebih dalam dari proyeksi pemerintah.

“Jadi, pemerintah akan semakin konservatif di dalam menggunakan insentif-insentif perpajakan. Khususnya juga mengevaluasi insentif tahun ini yang tidak terlalu banyak digunakan,” ujarnya.

Seperti diketahui, dalam RAPBN 2021, pemerintah mengalokasikan insentif pajak bagi pelaku usaha senilai Rp20,4 triliun. Nilai insentif untuk pemulihan ekonomi nasional (PEN) 2021 tersebut jauh lebih rendah atau hanya sekitar 16,9% dari alokasi pada tahun ini Rp120,6 triliun.

Selain mengenai insentif pajak, ada pula bahasan terkait dengan penunjukan dan pengawasan pemungut pajak pertambahan nilai (PPN) produk digital dalam transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) yang akan mulai lakukan oleh KPP Badora Ditjen Pajak (DJP).

Berikut ulasan berita selengkapnya.

  • Perekonomian Membaik

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kondisi perekonomian akan mulai membaik pada 2021. Oleh karena itu, kebutuhan pelaku usaha terhadap insentif pajak pada tahun depan juga tidak akan sebesar tahun ini.

“Beberapa jaring pengaman sosial dan beberapa insentif untuk dunia usaha akan berlanjut. Tidak semuanya, tetapi beberapa saja. Ini karena kami memperkirakan situasi akan sedikit lebih baik tahun depan," katanya. (DDTCNews)

  • Sektor Formal

Kepala BKF Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu mengatakan penerimaan perpajakan pada tahun ini diproyeksi akan turun lebih dalam dari estimasi awal. Hal ini dikarenakan struktur perpajakan Indonesia masih sangat bergantung hanya pada sektor formal.

“Sementara sektor formal paling banyak terjadi pelemahan ekonomi pada tahun ini.  Tahun depan juga masih akan berisiko,” ungkapnya. (DDTCNews/Bisnis Indonesia)

  • Kelanjutan Insentif PPh Pasal 25

Kepala BKF Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu masih belum bisa memastikan akan dilanjutkan atau tidaknya pemberian insentif pengurangan angsuran pajak penghasilan (PPh) Pasal 25 pada tahun depan. Dia mengakui fasilitas ini memang banyak dimanfaatkan karena membantu cash flow pelaku usaha.

“Nanti kita lihat. Belum diputuskan. Untuk 2021 kita belum tahu apakah dilanjutkan atau tidak, tapi arahnya untuk 2021 itu kita harus melihat juga ke arah konsolidasi penerimaan fiskal,” tuturnya. (DDTCNews)

  • KPP Badora DJP

Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Arif Yanuar mengatakan mulai Agustus 2020 tugas untuk pengawasan pelaku usaha yang menjadi pemungut dan penyetor PPN PMSE sudah beralih dari Kantor Pusat DJP kepada KPP Badan dan Orang Asing (Badora) DJP.

Selain pengawasan, KPP Badora juga melakukan korespondensi dengan pelaku usaha asing yang belum menjadi pemungut dan penyetor PPN produk digital dalam PMSE. Penambahan jumlah pelaku usaha asing yang menjadi pemungut PPN juga ikut diambil alih oleh unit vertikal DJP ini.

“Jadi penunjukkan selanjutnya akan dilakukan oleh KPP Badora dan Kanwil Jakarta Khusus," ujarnya. Simak artikel ‘Penunjukan Pemungut PPN Produk Digital Diserahkan ke KPP Badora DJP’. (DDTCNews)

  • Belanja Perpajakan

Estimasi belanja perpajakan pada 2019 senilai Rp257,2 triliun atau 1,62% dari produk domestik bruto (PDB). Penerima belanja perpajakan paling banyak adalah sektor rumah tangga, yaitu senilai Rp126,2 triliun. Angka tersebut naik dari posisi tahun sebelumnya, yaitu senilai Rp100,2 triliun.

"Kontribusi terbesar dalam jumlah yang diterima oleh rumah tangga tersebut berasal dari fasilitas PPN tidak terutang," tulis bagian Laporan Belanja Perpajakan 2019 dalam dokumen Nota Keuangan dan RAPBN 2021. (DDTCNews)

  • UU KUP Diperkarakan ke MK

Mahkamah Konstitusi (MK) menerima permohonan pengujian atas Pasal 2 ayat 6 dan Pasal 32 ayat 2 dari Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Permohonan ini diajukan perseorangan atas nama Taufik Surya Dharma yang menganggap Pasal 2 ayat 6 dan Pasal 32 ayat 2 UU KUP bertentangan dengan pasal 28D ayat 1 dari Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Simak artikel ‘Wah, UU KUP Diperkarakan ke MK’ dan ‘UU KUP Diperkarakan ke MK, Begini Respons Pemerintah’. (DDTCNews)