Memahami Pengertian Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA (1)

PAJAK merupakan sumber pendapatan terbesar dalam APBN. Sudah menjadi kewajiban bagi setiap wajib pajak untuk melunasi pajak terutang. Oleh karena itu, Ditjen Pajak (DJP) tentu akan melakukkan berbagai upaya agar setiap wajib pajak patuh terhadap kewajibannya.

Apabila terdapat wajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban pajaknya, DJP akan melakukan tindakan tegas. Adapun salah satu tindakan yang dimaksud adalah penagihan pajak dengan surat paksa.

Pada dasarnya, yang dimaksud dengan penagihan pajak sudah dijabarkan dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 19 tahun 1997 s.t.d.t.d. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 (UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa).

Penagihan yang dimaksud adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita

Sementara menurut Rochmat Soemitro, penagihan pajak adalah perbuatan yang dilakukan oleh DJP karena wajib pajak tidak mematuhi ketentuan undang-undang, khususnya mengenai pembayaran pajak.

Moeljo Hadi mendefinisikan penagihan pajak sebagai serangkaian tindakan dari aparatur DJP dikarenakan wajib pajak tidak melunasi baik sebagian maupun seluruh kewajiban perpajakan yang terhutang menurut undang-undang yang berlaku.

Secara garis besar, tindakan penagihan pajak pada dasarnya merupakan rangkaian tindakan yang dilakukan oleh DJP selaku otoritas pajak karena di pihak lain wajib pajak tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Adapun, yang dimaksud dengan surat paksa juga sudah dijabarkan dalam Pasal 1 angka 12 UU PPSP. Dalam beleid itu, surat paksa adalah surat yang berisi perintah untuk membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.

Dalam proses penagihan pajak, surat paksa umumnya diterbitkan setelah penanggung pajak yang bersangkutan masih belum juga melunasi utang pajaknya setelah mendapat teguran. Hal ini juga menjadi peringatan dari otoritas pajak serta sebelum dilakukannya upaya-upaya penagihan yang lebih keras seperti penyitaan dan penyanderaan.

Pemberitahuan surat paksa kepada penanggung pajak yang bersangkutan dilaksanakan oleh juru sita pajak. Adapun juru sita pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang juga meliputi penagihan seketika dan sekaligus, penyitaan, dan penyanderaan.

Pemberitahuan tersebut dilakukan dengan pernyataan dan penyerahan salinan surat paksa kepada penanggung pajak yang bersangkutan. Pemberitahuan surat paksa kepada penanggung pajak dilaksanakan dengan membacakan isi surat paksa oleh jurusita pajak dan selanjutnya dituangkan dalam berita acara sebagai pernyataan bahwa surat paksa telah dibacakan.

Pada praktiknya, surat paksa diterbitkan apabila seorang penanggung pajak tidak juga melunasi utang pajaknya setelah 21 hari sejak diterbitkannya surat teguran, surat peringatan, atau surat lainnya yang sejenis. Surat lain itu adalah surat-surat yang diterbitkan saat seorang penanggung pajak tidak melunasi utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran.

Selain itu, surat paksa juga dapat diterbitkan apabila penanggung pajak masih belum juga melunasi utang pajaknya setelah dilakukan upaya penagihan seketika dan penagihan sekaligus terhadap penanggung pajak tersebut. Surat paksa juga bisa diterbitkan jika seorang penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.

Apabila penanggung pajak yang bersangkutan masih juga tidak melunasi utang pajaknya dalam waktu 2 x 24 jam terhitung sejak diterbitkannya surat paksa, otoritas pajak dapat melakukan upaya-upaya yang lebih keras agar penanggung pajak dapat melunasi utang pajakn.

Upaya-upaya itu seperti melakukan pencegahan terhadap penanggung pajak dengan memberlakukan larangan sementara terhadap mereka untuk berpergian ke luar negeri, melakukan penyitaan terhadap properti penanggung pajak untuk kemudian dijadikan jaminan pelunasan utang pajak, atau melakukan penyanderaan (gijzeling) terhadap penanggung pajak sendiri dengan mengekang sementara waktu kebebasannya di tempat tertentu agar  yang bersangkutan tidak melarikan diri.

Secara garis besar, penerbitan surat paksa merupakan salah satu upaya terakhir dari otoritas pajak sebelum dilakukannya upaya-upaya yang lebih keras seperti pencegahan, penyitaan, dan penyanderaan demi menagih utang seorang penanggung pajak.  

Upaya yang ditempuh melalui penerbitan surat paksa tersebut tentu masih terbilang lebih baik bagi para penanggung pajak sendiri karena tidak mengekang kebebasan mereka (berpergian ke luar negeri) maupun mengambil secara paksa properti mereka.*