UNTUK memahami definisi ‘adil’ maka terlebih dahulu pahamilah definisi ‘tidak adil’. Memahaminya pun cukup dengan sylogisme sederhana sebagaimana ungkapan ini: seorang dokter tidak akan bisa mengobati orang sakit jika dia tidak memahami definisi ‘sehat’ (Lon Fuller :1964). Demikian ungkapan yang sering dipedomani para‘legal drafter’ saat menuangkan suatu isu menjadi norma hukum.
Pola pikir di atas mungkin bisa menjadi referensi untuk merespons isu Rancangan Undang-Undang (RUU) Konsultan Pajak yang saat ini semakin dinamis. Ada banyak input, concern dan ekspektasi terhadap RUU ini, mengingat stakeholder yang terdampak akan sangat banyak jika RUU ini resmi menjadi UU.
Isu konsultan pajak seyogyanya dimulai dengan terlebih dahulu memaknai terminologi ‘konsultan pajak’ secara konseptual sehingga visi, misi, lingkup pekerjaan, pola pengawasan dan pembinaan sampai dengan hal-hal detail tentang manajemen profesi seorang konsultan pajak menjadi lebih mudah dirumuskan.
Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
Silang pendapat akademis soal konsultan pajak muncul setelah Putusan MK Nomor: 63/PUU-XV/2017 yang mengabulkan sebagian Permohonan Uji Materi Pasal 32 ayat (3a) UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP). Putusan ini setidaknya mendorong wacana pentingnya profesi konsultan pajak diatur dalam UU Organik.
Pasal 32 ayat (3a) UU KUP merupakan atribusi yang memberi kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk mengatur soal persyaratan ‘kuasa’. Dengan posisinya sebagai atribusi maka ada 2 konsekuensi dari putusan MK, yaitu: Pasal 32 ayat (3a) UU KUP dibatalkan karena dianggap ‘bertentangan’ dengan UUD 1945, sehingga PMK 229/PMK.03/2014 (PMK 229) soal kuasa kehilangan atribusinya oleh Putusan MK. Konsekuensi kedua adalah melakukan revisi terhadap PMK 229 dengan tidak memaknainya sebagai pembatasani hak dan kewajiban kuasa.
Opsi revisi PMK 229 dengan tetap mengacu Pasal 32 ayat (3a) UU KUP tidak menuntaskan persoalan, karena Pasal 32 ayat (3a) sudah terlanjur dibatalkan oleh MK (bersyarat) di mana sifat Putusan MK dalam kasus ini adalah final dengan kekuatan eksekutorial yang:mengikat semua pihak (erga omnes).
Atribusi UU KUP kepada Menteri Keuangan selama ini menempatkan PMK 229 sebagai lex specialis. Dengan posisi ini, sekiranya putusan MK yang sifatnya serta merta membatalkan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP berpotensi menimbulkan kekosongan hukum, maka situasi ini sebetulnya dapat diansitipasi dengan mengembalikan rujukan soal kuasa yang didasarkan pada lex generalis-nya.
Pasal 48 UU Nomor 6 Tahun 1983 sebagai norma umum yang tidak pernah diamandemen sampai saat ini, telah sangat jelas mendelegasikan kepada Peraturan Pemerintah (PP) untuk mengatur pelaksanaan keseluruhan materi yang ada dalam UU KUP tidak terkecuali soal kuasa. Sehubungan dengan itu, maka Pasal 49 sampai Pasal 51 PP nomor 74 Tahun 2011 sebagai representasi lex generalis soal kuasa, dalam kenyataannya juga sudah cukup detail mengatur persyaratan kuasa, sekalipun terminologi yang dipakainya masih belum tuntas menjelaskan arti istilah ‘kuasa yang konsultan pajak’ dan ‘kuasa yang bukan konsultan pajak’, karena istilah ini tidak diikuti penjabaran yang detail.
Kuasa hanyalah salah satu lingkup tugas dari konsultan pajak. Walaupun demikian, pemahaman soal kuasa tetap perlu merujuk pada prinsip-prinsip hukum yang terkait dengan itu. Ada 2 terminologi dalam UU KUP yang selama ini dipakai, yaitu wakil dan kuasa. Tugas mereka sama yaitu melakukan tugas ‘perwakilan’. Implikasi dari ‘perwakilan’ adalah bahwa akibat hukum dari ‘perwakilan’ tetap menjadi tanggung jawab pihak yang diwakili bukan beralih ke yang mewakili.
Secara hukum, dikenal 3 jenis sumber perwakilan, yaitu: perwakilan karena UU misalnya kurator menjadi wakil dalam kepailitan, Perwakilan secara organik, PT diwakili oleh pengurus, dan terakhir perwakilan karena perjanjian (contractuele vertegenwoordiging) yaitu pemberian kuasa (lastgever). Ketiga sumber ini pada intinya memberi kewenangan kepada kuasa (volmach) untuk mewakili dalam pengurusan suatu urusan. Perwakilan yang bersumber dari perjanjian inilah yang diamanatkan dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP.
Umumnya suatu perjanjian, merupakan perbuatan hukum yang dilandasi oleh asas kebebasan berkontrak. Walaupun demikian, untuk sahnya suatu perjanjian, harus ada causa yang sah yaitu tidak boleh bertentangan dengan Peraturan terkait yang berlaku. Di samping itu, secara khusus untuk pemberian kuasa, para pihak diikat dengan 2 prinsip dasar yakni: pertama, seorang pemberi kuasa tidak dapat mengalihkan hak kepada orang lain daripada hak yang dimilikinya (nemo plus iuris adalium transferre potest quam ipse haberet) dan kedua, prinsip privative yaitu bahwa pemberian kuasa tidak menghalangi pemberi kuasa untuk hadir sendiri dalam mengurus urusannya. Jadi bisa dipahami jika hubungan hukum para pihak dalam pemberian kuasa lebih bersifat hubungan privat.
Dalam praktiknya, perjanjian kuasa yang tadinya hanya mengikat pemberi kuasa dan penerima kuasa, juga mengikat pihak diluar perjanjian (pacta tertiis nec nocent nec prosunt), misalnya adanya kewajiban pada negara untuk menjamin perlindungan hukum warganya dalam menjalankan urusannya apalagi jika urusan itu dikuasakan. Belum lagi jika objek perjanjian kuasa ternyata menyangkut urusan yang spesifik, misalnya untuk urusan pajak, objek yang diurus, memang sejak awal telah membatasi pihak yang bisa terlibat, karena hanya ada 2 pilihan lingkup pekerjaannya, yaitu: pekerjaan hukum pajak (rechtskwestie) dan/atau pekerjaan fakta pajak (feitelijkaard).
Ke depan akan semakin bervariasi profesi yang berpeluang mendapat kuasa ‘mewakili’ wajib pajak. Sebutannya bisa berupa konsultan, akuntan pajak bersertifikat, advokat, relawan dan banyak lagi. Membangun tata kelola konsultan yang berorientasi pada semangat Partnership adalah alternatif terbaik. Peran mereka dimungkinkan menjadi influencer yang ikut mengedukasi pembayar pajak. Ini paralel dengan hasil studi Edelman di tahun 2016 lalu yang menempatkan technical expert (konsultan) sebagaitax influencer nomor 1 di Indonesia. Inilah makna ideal dari terminologi konsultan pajak yang seharusnya menjiwai UU Konsultan Pajak kelak.*