PEMILU legislatif sudah dekat. Dari data resmi KPU, terdapat 8.370 calon anggota legislatif dari 16 partai politik yang akan bersaing memperebutkan kursi ke Senayan. Bagi publik, semakin banyaknya pilihan adalah sesuatu yang baik namun juga membingungkan. Utamanya adalah terkait parameter yang bisa dipergunakan dalam membantu memilih calon anggota DPR yang berkualitas namun sekaligus berintegritas.
Di antara berbagai faktor, salah satu indikator yang dapat dipergunakan adalah ketaatan membayar pajak. Lantas, bagaimanakah mengukur ketaatan tersebut? Apa yang bisa kita pelajari dari pengalaman di negara lain?
Menelusuri Ketaatan Pajak
Ketaatan pajak merupakan sesuatu hal yang sulit untuk diketahui oleh masyarakat luas. Informasi mengenai Surat Pemberitahuan (SPT) dan profil kepatuhan wajib pajak, yang menjadi indikasi ketaatan pajak, umumnya merupakan informasi yang bersifat privat dan kerahasiaannya dilindungi oleh undang-undang.
Demikian pula halnya di Indonesia. Menurut Pasal 34 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), dinyatakan bahwa setiap pejabat dan tenaga ahli yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak dilarang untuk memberitahukan kepada pihak lain segala yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh wajib pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya.
Hal yang dirahasiakan tersebut mencakup SPT, laporan keuangan, informasi yang diberikan oleh wajib pajak, data pemeriksaan pajak, dokumen dan/atau data yang bersifat rahasia milik wajib pajak maupun yang berasal dari pihak ketiga. Sebagai catatan, kerahasiaan tersebut gugur dalam hal adanya izin tertulis dari Menteri Keuangan dalam hal dibutuhkannya informasi tersebut untuk kepentingan negara atau pemeriksaan di pengadilan pidana atau perdata atas permintaan hakim.
Singkatnya, kerahasiaan tersebut menutup celah bagi publik untuk bisa menilai ketaatan caleg yang juga berstatus sebagai wajib pajak. Satu-satunya cara yang dimungkinkan adalah hanya melalui pengungkapan secara sukarela dari caleg yang bersangkutan.
Sayangnya, belum ada catatan pasti mengenai caleg yang mengungkapkan SPT-nya secara sukarela kepada publik di negara lain. Umumnya, kita hanya menemukan calon pimpinan nasional yang melakukan hal tersebut. Sebagai contoh kasus terjadi di Amerika Serikat (AS).
Di AS, kerahasiaan informasi wajib pajak juga dilindungi dan tidak ada hukum yang mengharuskan calon presiden untuk mengungkapkan profil kepatuhan pajaknya kepada publik. Akan tetapi, tradisi kandidat Presiden untuk mengungkapkan SPT kepada publik telah berlangsung secara rutin sejak 1981. Sebelum itupun, beberapa Presiden, misalkan Nixon, juga melakukan pengungkapan SPT secara sukarela walau tidak secara rutin.
Tradisi mengungkapkan SPT ini memberikan informasi berharga kepada publik, terutama mengenai jumlah pajak yang dibayar, sumber penghasilan, kesesuaian antara harta dan penghasilan. Alhasil, rekam jejak kandidat presiden AS bisa ditelusuri dan dipelajari oleh publik. Dari data SPT tersebut, publik AS mengetahui, misalnya berapa royalti yang diterima oleh Obama dari buku karangannya, ataupun jumlah utang yang dimiliki oleh George Bush.
Tradisi tersebut berhenti di Trump yang enggan untuk mempublikasikan SPT Tahunannya. Respon yang terjadi atas keengganan Trump tersebut, di bulan April 2017, ribuan orang di lebih dari 150 kota di Amerika Serikat melakukan protes dalam rangka menuntut Trump untuk mengungkapkan SPT-nya.
Trump mengelak dari tuntutan tersebut dengan menyatakan bahwa ia telah mengisi Form 278e di Juni 2017. Form 278e adalah formulir mengenai laporan kekyaan yang berisikan informasi mengenai aset, sumber penghasilan, dan utang di atas nilai tertentu. Formulir ini merupakan implementasi dari Ethics in Government Act of 1978 (EIGA) yang mensyaratkan seluruh kandidat yang akan mengisi jabatan politik serta pegawai pemerintah di tingkat jabatan tertentu untuk mengisi suatu laporan kekayaan secara rutin.
SPT sebagai Sumber Informasi?
Argumen ini tentu membawa kita kepada pertanyaan: sejauh mana SPT bisa menjadi sumber informasi yang valid dan detail mengenai perilaku ketaatan pajak seorang kandidat? Bagaimanakah posisinya jika dibandingkan dengan format pelaporan kekayaan secara rutin seperti halnya Form 278e yang mirip-mirip dengan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN)?
Menurut Weiner dan Norden (2017), SPT sendiri belum dapat mengungkapkan secara gamblang dan detail mengenai informasi terkait sumber penghasilan, utang, serta kekayaan. Atau dengan kata lain, SPT belum sanggup menjelaskan kepatuhan material seorang wajib pajak.
Menurut mereka berdua, sumber penghasilan yang ada dalam SPT umumnya bersifat kumulatif. Selain itu, informasi mengenai mitra bisnis ataupun detail perolehan harta dan kekayaan yang sekiranya penting dalam memperlihatkan etika, mencegah konflik kepentingan, serta ketaatan pajak, juga sulit untuk ditelusuri. Alasannya karena SPT bukanlah dokumen yang ideal untuk kebutuhan transparansi karena tidak dimaksudkan untuk hal tersebut. Menurut mereka, solusi yang lebih baik justru memperbaiki format pelaporan yang sudah ada dalam EIGA.
Bagi Indonesia, pengungkapan SPT secara sukarela belum menjadi tradisi yang dilakukan oleh para politisi yang akan duduk di kursi publik. Padahal, tradisi ini bisa mendorong adanya keteladanan publik dan menjelaskan profil dan gambaran umum mengenai kepatuhan pajak para politisi. Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa SPT tidak memberikan jaminan adanya kepatuhan secara materiil, apalagi suatu informasi detail untuk menguji hal-hal di luar pajak seperti: indikasi korupsi, etika, konflik kepentingan, dan sebagainya. Informasi indikasi tersebut agaknya mungkin bisa ditemukan dalam LHKPN.
Sebagai penutup, semangat dan simbol perlawanan atas ketidakpatuhan pajak seharusnya bisa dijadikan justifikasi dan dorongan bagi caleg untuk menginformasikan kepada publik mengenai profil pajaknya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Vincenzo Visco, Wakil Perdana Menteri Italia, pada saat ia mendorong adanya publikasi online atas seluruh SPT wajib pajak di Italia. “Pengungkapan data wajib pajak adalah suatu langkah menuju transparansi dan demokrasi,” tandasnya. Walau data online tersebut hanya berumur satu hari, namun gelora transparansi yang digulirkannya telah memberikan suatu semangat perlawanan atas pengelakan pajak yang terjadi di Italia.
*Tulisan ini disampaikan pada acara Diskusi Publik “Caleg Hebat, Taat Pajak: Membedah Indeks Ketaatan Pajak bagi Calon Anggota Legislatif 2019”, pada tanggal 13 September 2018, yang diselenggarakan oleh Institute for Tax Reform & Public Policy (INSTEP).