Menjalin Lingkungan Riset Perpajakan

Kebijakan yang tepat sasaran memerlukan riset mendalam. Tapi sebelum riset berakar menjadi budaya, sebuah lingkungan riset—yang memerlukan sinergi antarpemangku kepentingan, pemimpin lembaga, dan para pelaku organisasi—harus terbangun.

Jika melihat jejak digital tentang riset untuk kebijakan publik selama beberapa tahun belakangan ini, hampir setiap kementerian/lembaga, dunia akademis atau elemen masyarakat lainnya menyerukan pentingnya membuat kebijakan berbasis riset atau penelitian. Barangkali lantas timbul pertanyaan, apakah selama ini kebijakan yang diambil pemerintah belum berdasarkan riset atau data yang mengacu pada kebutuhan dan kepentingan masyarakat? Tentu saja negeri ini terus berbenah.

Sejak tumbangnya Orde Baru dan bangkitnya era Reformasi yang mengusung napas demokrasi dan transparansi di negeri ini, produk kebijakan yang dihasilkan pun semakin baik. Diakui atau tidak, pada Orde Baru, kebijakan lebih banyak dihasilkan oleh keputusan politik atau teknokrat yang diambil berdasarkan kepentingan kelompok atau bahkan individu, bukan kepentingan masyarakat yang notabene paling terdampak oleh produk kebijakan itu. Sementara produk-produk kebijakan yang ada saat ini tak semuanya baru. Atau kalau pun produk baru, dibuat dengan metode dan cara lama sehingga perlu dievaluasi kembali agar lebih optimal dan tepat sasaran.

Menjelang akhir tahun lalu, Kementerian Keuangan pun menyerukan pentingnya jajaran Kementerian Keuangan merumuskan kebijakan berdasarkan riset. Pada pembukaan Simposium Nasional Keuangan Negara (SNKN) di Pusdiklat Pajak Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) yang November 2018 lalu, Menteri Keuangan Menteri Keuangan RI Sri Mulyani mengatakan, agar keuangan negara menjadi instrumen yang efektif, berhasil, berdaya guna, dan bisa dipertanggungjawabkan kinerjanya, salah satu caranya adalah dengan terus-menerus melakukan perbaikan kebijakan berdasarkan penelitian berdasarkan bukti (evidence based).

Sri Mulyani meyakini, penelitian yang berdasarkan pada bukti atau data akan memberikan umpan balik langsung tentang bagaimana negara dapat memperbaiki diri, baik dari sisi administrasi, kebijakan, maupun implementasinya.

Direktorat jenderal Pajak (DJP), sebagai unit vertikal Kementerian Keuangan pun mencoba menerjemahkan imbauan itu sesuai dengan lingkup tugas dan kewenangannya sebagai institusi penghimpun penerimaan pajak. Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan mengakui, penelitian sangat dibutuhkan untuk melakukan perubahan. Riset yang mendalam dibutuhkan untuk perbaikan bidang perpajakan. Sementara riset yang dangkal justru dapat berujung pada perubahan atau kebijakan yang kurang efektif atau bahkan berdampak buruk. Robert menyebut perlunya membangun lingkungan penelitian (environment research) yang baik, dan ini memerlukan sinergi antarpemangku kepentingan, pemimpin lembaga, dan para pelaku organisasi.

Penelitian yang berdasarkan pada bukti atau data akan memberikan umpan balik langsung tentang bagaimana negara dapat memperbaiki diri, baik dari sisi administrasi, kebijakan, maupun implementasinya

Siap bekerja sama

Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) Muhammad Dimyati menegaskan, pihaknya siap bekerja sama dengan DJP. Pihaknya bahkan telah menyiapkan peta jalan Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) tahun 2017–2045. Di dalamnya terdapat sepuluh bidang fokus yang dapat dijadikan pedoman bagi para peneliti, termasuk substansi pajak dan ekonomi pajak yang masuk dalam bidang Sosial Humaniora (Soshum). Peta jalan itu dibentuk karena menurut Dimyati masih ada kesenjangan antara penelitian yang dilakukan dengan kebutuhan institusi. Banyak peneliti yang melakukan riset tidak berdasarkan kebutuhan institusi atau tidak sesuai dengan masalah kekinian. Hasil riset sering hanya untuk memenuhi kebutuhan si peneliti, misalnya untuk syarat kelulusan mahasiswa atau promosi seorang dosen dan profesi lainnya. Faktor lainnya juga disebabkan karena tidak adanya panduan yang kuat sebagai pedoman si peneliti.

Sejalan dengan Kemenristek Dikti, Guru Besar Ilmu Kebijakan Pajak Universitas Indonesia (UI), Haula Rosdiana mengatakan, perguruan tinggi, sebagai mata dan telinga rakyat, siap bersinergi dengan pemerintah untuk melakukan penelitian perpajakan. Dengan keunggulan metodologinya, perguruan tinggi merupakan elemen penting dalam merumuskan setiap kebijakan perpajakan.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Tax Center Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia (ATPETSI) Darussalam siap menyediakan tenaga ahli yang dibutuhkan. ATPETSI memiliki banyak ahli riset yang menjadi bagian dari tax center di kampus-kampus seluruh Indonesia. Ia optimistis, riset akan membawa pajak lebih fokus dalam pengembangan dan penentuan arah kebijakan perpajakan di masa mendatang. Hasil riset pula yang dapat mengungkap berbagai pertanyaan yang belum terjawab selama ini terkait target pajak yang tidak pernah tercapai sejak sunset policy tahun 2008. Darussalam menegaskan, ATPETSI mendukung sepenuhnya dan siap bergerak ke kampus-kampus yang sudah memiliki tax center untuk berkolaborasi dengan institusi pajak.

Dukungan juga datang dari Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI). Lembaga riset ini siap bersinergi dengan DJP, salah satunya dengan teknologi big data analytics. Kepala Pusat Penelitian Informatika LIPI Yan Rianto mengemukakan, dukungan big data akan meningkatkan efisiensi proses internal terkait akurasi dari analisis yang dilakukan petugas pajak. Melalui big data, prediksi dan analisis data bisa dilakukan secara komprehensif untuk menggali potensi pajak yang baru. Dengan cara itu, pembuat kebijakan dapat mengantisipasi regulasi yang perlu dikeluarkan terhadap sektor yang baru tumbuh seperti ekonomi digital.

*Tulisan ini pernah dimuat di https://majalahpajak.net/ dan rilis tanggal 22 Maret 2019