JAKARTA, Reformasi perpajakan melalui UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan pembaruan sistem inti administrasi diperlukan oleh Indonesia guna mendukung kebutuhan pembangunan.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Asosiasi Tax Center Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia (Atpetsi) sekaligus Managing Partner DDTC, Darussalam. Menurutnya, pemerintah pasti memerlukan dana yang tidak sedikit untuk menjalankan seluruh agenda pembangunan dan mencapai target yang tertuang dalam Sustainable Development Goals (SDGs).
Oleh karena itu, imbuh Darussalam, banyak negara termasuk Indonesia memerlukan penerimaan pajak sebagai sumber pembiayaan pembangunan.
"Dalam konteks hampir semua negara, yang menjadi andalan adalah dari pajak. UU HPP perlu untuk memperbaiki perekonomian dan untuk pembangunan itu sendiri," ujar Darussalam dalam Gunadarma Tax Festiva yang bertajuk Dampak Implementasi UU HPP Bagi Dunia Usaha, Rabu (19/1/2022).
Seperti diketahui, tax ratio Indonesia dalam beberapa tahun terakhir cenderung rendah dan mengalami penurunan akibat pandemi Covid-19 selama 2 tahun terakhir.
Berdasarkan perkiraan International Monetary Fund (IMF), reformasi administrasi perpajakan akan memberikan tambahan tax ratio sebesar 1,5%. Hal ini dilakukan oleh DJP melalui pembangunan core tax administration system.
Adapun reformasi dari sisi kebijakan diperkirakan akan memberikan tambahan tax ratio hingga 3,5%. Dengan demikian, terdapat potensi tambahan tax ratio hingga 5% dari seluruh reformasi yang dilakukan oleh otoritas pajak.
Selain untuk meningkatkan penerimaan guna mendukung pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan, reformasi perpajakan juga diperlukan untuk mendorong terciptanya kontrak fiskal antara wajib pajak dan otoritas pajak.
"Ke depan, bagaimana besarnya tarif itu ditentukan bargaining antara otoritas dan wajib pajak. Ini akan mengangkat nilai-nilai demokrasi itu sendiri," ujar Darussalam.
*Tulisan ini merupakan artikel milik DDTCNews yang dimuat dalam https://news.ddtc.co.id/ dan rilis tanggal 19 Januari 2022