Pemanfaatan Insentif Pajak Masih Rendah, Ini Kata Kemenkeu
BERITA PAJAK HARI INI

JAKARTA, Pelemahan ekonomi berpengaruh pada rendahnya pemanfaatan insentif pajak yang telah disediakan oleh pemerintah. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Senin (5/10/2020).

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan realisasi pemanfaatan insentif pajak dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN) hingga 28 September 2020 senilai Rp27,61 triliun. Realisasi tersebut setara dengan 22,9% dari pagu Rp120,61 triliun.

“Karena kita tahu kondisi kegiatan ekonomi sedang menurun maka pengurangan ini tidak seperti pengurangan yang kami bayangkan ketika perekonomian seperti tahun 2019,” katanya.

Realisasi insentif pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP) baru 1,98 triliun atau 4,9% dari pagu Rp39,66 triliun. Realisasi pembebasan PPh Pasal 22 impor Rp6,85 triliun atau 46,4% dari pagu Rp14,75 triliun. Pemanfaatan pengurangan 30% angsuran PPh Pasal 25 senilai Rp9,53 triliun atau 66,18% dari pagu Rp14,4 triliun.

Realisasi pemberian restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) dipercepat senilai Rp2,44 triliun atau 42,06% dari pagu 5,8 triliun. Kemudian, penurunan tarif PPh badan dari 25% menjadi 22% tercatat senilai Rp6,82 triliun atau 34,1% dari pagu Rp20,0 triliun.

Selain realisasi insentif pajak, ada pula bahasan mengenai kembali diberhentikannya layanan administrasi dan tatap muka serta pelaksanaan persidangan di Pengadilan Pajak pada pekan ini. Penghentian dilakukan karena ada kasus baru positif Covid-19 di lingkungan Pengadilan Pajak dan perpanjangan masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) DKI Jakarta.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

  • Tergantung Kondisi Ekonomi

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Perpajakan Yon Arsal mengungkapkan rendahnya penyerapan insentif pajak dikarenakan total pagu dihitung berdasarkan data tahun lalu. Pada tahun ini, kondisi perekonomian makin melemah sehingga pemanfaatan insentif tidak optimal.

“Tinggi rendahnya penyerapan tentunya sangat tergantung pada kondisi ekonomi,” ujar Yon. (Kontan)

  • Tidak Menambah Potensi Penerimaan

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Perpajakan Yon Arsal Yon mengatakan rendahnya penyerapan insentif perpajakan tidak secara otomatis menambah potensi peneriman pajak pada akhir tahun. Pasalnya, penerapan pagu insentif pajak 2020 berdasarkan kondisi wajib pajak tahun lalu.

“Misalnya dalam hal impor, ternyata realisasisi wajib pajak yang bersangkutan impornya tumbuh negatif 30%, sehingga insentif yang tidak terpakai jadinya sebesar 30% dan menjadi realisasi tambahan shortfall,” ungkap Yon. (Kontan)

  • Terus Dorong Pemanfaatan Insentif Pajak

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan pemerintah masih akan mendorong para pelaku usaha memanfaatkan berbagai insentif pajak tersebut karena berlaku hingga 31 Desember 2020. Apalagi, insentif pajak yang diberikan pemerintah telah menjangkau semua sektor usaha yang terdampak pandemi virus Corona.

"Pagu untuk insentif usaha sudah tersedia dan kami terus menyemangati seluruh dunia usaha untuk memakai ini," ujarnya. (DDTCNews)

  • Penghentian Layanan Tata Muka dan Persidangan

Melalui Surat Edaran Ketua Pengadilan Pajak No. SE-022/PP/2020, Pengadilan menghentikan layanan administrasi dan tatap muka serta pelaksanaan persidangan. Penghentian dilakukan pada 5—9 Oktober 2020.

Selama layanan administrasi secara tatap muka (melalui helpdesk/disampaikan secara langsung) berhenti sementara, pengajuan banding/gugatan serta penyampaian dokumen persidangan dan surat-surat lainnya dapat dilakukan melalui pos.

Para pengguna layanan informasi dapat menggunakan sarana email (informasipp@kemenkeu.go.id), layanan kontak pada laman Sekretariat Pengadilan Pajak (www.setpp.kemenkeu.go.id), dan Whatsapp pada nomor 081211007510. (DDTCNews)

  • Penerapan PPh Final

Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan penerapan PPh final memang lebih menekankan aspek kesederhanaan pemungutan pajak. Di sisi lain, penerapan PPh final, seperti pada sektor konstruksi, memunculkan policy gap sehingga penerimaan pajaknya tidak selaras dengan kontribusi terhadap PDB.

Bawono mengatakan diperlukan juga terobosan pada skema pengenaan PPh final untuk sektor pertanian. Namun demikian, kebijakan yang diambil perlu mempertimbangkan beberapa karakteristik sektor tersebut. Pasalnya, sektor ini sulit untuk dipajaki karena informasi atas aktivitasnya tidak terdokumentasi dan diketahui oleh pemerintah. (Bisnis Indonesia)

  • Insentif Bahan Baku Vaksin

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan bahan baku vaksin bisa memanfaatkan insentif pajak sesuai dengan ketentuan PMK 143/2020. Kebijakan ini sebagai langkah antisipasi ketika vaksin virus Corona sudah ditemukan.

Dengan adanya insentif itu, produksi massal bisa dilakukan dengan bahan baku yang bebas pajak meskipun masih harus diimpor dari luar negeri. Dengan demikian, otoritas pajak mengharapkan biaya produksi dapat ditekan karena beban pajak ditanggung pemerintah.

“Betul [agar harga vaksin menjadi lebih terjangkau] karena PPh Pasal 22 dan PPN Impor untuk bahan baku vaksin kami relaksasi," katanya. Simak artikel ‘Simak, Ini Keterangan Resmi DJP Soal Insentif Pajak PMK 143/2020’. (DDTCNews)

  • Penambahan Barang Kena Cukai Baru

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berharap rencana ekstensifikasi barang kena cukai (BKC) dapat terealisasi pada 2021. Sri Mulyani mengatakan ekstensifikasi BKC tersebut akan mampu mengurangi konsumsi barang yang tidak baik bagi masyarakat, sekaligus menambah penerimaan negara.

"Kami berharap nanti akan bisa berdiskusi dengan DPR lagi mengenai barang-barang yang seharusnya kena cukai, yang membahayakan masyarakat, seperti minuman berpemanis dan lain-lain," katanya. (DDTCNews)