Pengembangan CRM-BI, Wajib Pajak Patuh Tidak Akan Diperiksa
BERITA PAJAK HARI INI

JAKARTA, Pengembangan compliance risk management (CRM) dan business intelligence (BI) akan meningkatkan kualitas pemeriksaan terhadap wajib pajak. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (29/7/2022).

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan pengembangan CRM dan BI untuk menuju data driven organization. Jika CRM dan BI sudah bisa memberi hasil analisis preskriptif, hanya wajib pajak yang tidak patuh yang diperiksa Ditjen Pajak (DJP).

“Makin kita mature sistemnya, akan dilihat orang yang kira-kira tidak patuh atau ingin tidak patuh itu yang menjadi objek pengawasan dan pemeriksaan. Kalau yang patuh, kami tidak akan periksa,” katanya.

Menurut dia, pemeriksaan yang lebih tepat sasaran juga didukung dengan perbaikan regulasi. Hal ini juga berpengaruh pada pengalokasian sumber daya manusia (SDM). Dengan makin matang sistemnya, SDM dapat diarahkan untuk memeriksa wajib pajak yang benar-benar berisiko saja.

Selain itu, CRM dan BI juga berpotensi mengurangi jangka waktu pemeriksaan. Dengan teknologi tersebut, pemeriksaan terhadap wajib pajak akan dilakukan secara lebih terarah. “Wajib pajak mendapatkan kepastian hukum yang lebih cepat,” imbuh Yon.

Selain mengenai pengembangan CRM dan BI, ada pula bahasan terkait dengan masa transisi dari pajak penerangan jalan (PPJ) menjadi pajak barang dan jasa tertentu atas tenaga listrik (PBJT-TL). Kemudian, masih ada pula bahasan terkait dengan integrasi NIK dan NPWP.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

Perlakuan DJP Terhadap Wajib Pajak

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan DJP masih mengembangkan beberapa fungsi CRM, seperti ekstensifikasi, pengawasan dan pemeriksaan, penagihan, transfer pricing, edukasi perpajakan, penilaian, penegakan hukum, pelayanan, dan keberatan.

Pengembangan CRM akan mendukung optimalisasi penerimaan sekaligus mengubah perspektif hubungan DJP dengan wajib pajak. Dia menilai pengembangan CRM akan membuat pelayanan dan perlakuan yang diberikan DJP kepada wajib pajak lebih terukur dan terstandardisasi.

"DJP tentu perlu instrumen yang bisa memastikan yang diberikan ke wajib pajak itu treatment-nya paling tepat. Yang diperiksa, tentu yang berisiko, sedangkan yang sudah patuh diberikan pelayanan prima," jelas Yon. (DDTCNews)

Fungsi Prediktif dan Preskriptif

Direktur Data dan Informasi Perpajakan DJP Dasto Ledyanto menyebut CRM dan BI sudah dapat menjalankan fungsi untuk prediktif dan preskriptif, sebagai posisi data analytics yang tertinggi. Dengan teknologi ini, DJP dapat memberikan perlakuan kepada wajib pajak secara berbeda-beda, sesuai dengan profil kepatuhannya.

"Kalau nanti ini [selesai dikembangkan], mudah-mudahan lebih fokus dan bisa memberikan treatment yang pas kepada wajib pajak kita," ujarnya.

Meski demikian, Dasto menegaskan pengembangan CRM dan BI akan dilakukan secara terus menerus, seperti yang dilakukan banyak negara-negara lain. Di sisi lain, pengembangan sebuah CRM memang memerlukan waktu yang panjang. (DDTCNews)

Penyusunan RPP PBJT-TL

Dirjen Perimbangan Keuangan Astera Primanto Bhakti mengatakan pemerintah telah mendapatkan beragam usulan dari semua pihak saat konsultasi publik atas RPP tentang PBJT-TL. Usulan-usulan tersebut akan menjadi pertimbangan pemerintah.

"Dalam konsultasi publik yang kami sudah dengarkan, kami akan merumuskan kembali agar tidak rumit," katanya.

Mekanisme pemungutan PBJT-TL tersebut juga telah dirancang sama dengan pemungutan PPJ yang berlaku selama ini, yaitu oleh PLN dengan tarif sebesar 10%. Apabila listrik yang dikonsumsi ialah listrik yang dihasilkan sendiri, tarif PBJT-TL ditetapkan 1,5%. Khusus bagi industri dan tambang migas yang mengonsumsi listrik dari sumber lain, pengenaan PBJT-TL dikenakan dengan tarif 3%. (DDTCNews)

Validasi Data NIK

Validasi NIK tersebut menjadi tahap penting bagi wajib pajak orang pribadi sebelum implementasi penuh penggunaan NIK sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pada semua layanan administrasi. Hingga 31 Desember 2023, NPWP format lama 15 digit masih dapat digunakan.

“Sesudah itu [mulai 1 Januari 2024] mutlak pakai NPWP yang berbasis NIK. Ini termasuk untuk layanan lain seperti ekspor-impor, perbankan, dan lainnya. Ini sebenarnya [sekarang] menjadi masa transisi,” ujar Arif Yunianto, Penyuluh Pajak Ahli Madya DJP. (DDTCNews)

Penumpukan Saldo Pemda di Bank

Ditjen Perimbangan Keuangan (DJPK) Kemenkeu mencatat adanya problem struktural yang membuat saldo pemerintah daerah (pemda) di bank terus menumpuk dan belanja cenderung lambat. Dirjen Perimbangan Keuangan Astera Primanto Bhakti mengatakan belanja daerah cenderung lambat dan saldo akan terus meningkat hingga Oktober akibat keterlambatan proses kontrak.

"Ini yang harus di lakukan reform secara struktural, yakni bagaimana daerah bisa mempercepat kontrak. Kontrak ini bisa cepat kalau perencanaannya cepat. Ini kami dengan Kemendagri kami lakukan monitoring," ujar Astera. (DDTCNews)

Penerbitan SBN Khusus Peserta PPS

Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Luky Alfirman mengatakan realisasi penerbitan surat berharga negara (SBN) penempatan data Program Pengungkapan Sukarela (PPS) telah mencapai Rp1,76 triliun.

Angka tersebut berasal dari penerbitan surat utang negara (SUN) senilai Rp1,23 triliun dan surat berharga syariah negara (SBSN) sejumlah Rp529 miliar. Penerbitan SBN khusus itu dilakukan sesuai dengan permintaan investor atau wajib pajak peserta PPS.

"Kami sifatnya memfasilitasi penempatan dana PPS pada instrumen SBN. Pemerintah tidak secara spesifik menetapkan target untuk penerbitan SBN dalam rangka PPS ini," katanya. (DDTCNews)

Tax Ratio Daerah

Tax ratio daerah yang tinggi diperlukan agar pemda bisa memenuhi kebutuhan APBD-nya secara mandiri. Dirjen Perimbangan Keuangan Astera Primanto Bhakti mengatakan daerah perlu mencapai tax ratio setidaknya sebesar 3% agar dapat memenuhi kebutuhan belanja di daerahnya.

Untuk saat ini, tax ratio daerah tercatat masih berkutat di level 1,4% hingga 1,2%. Tax ratio daerah tercatat sempat naik dari 1,35% menjadi 1,42% pada 2019. Namun, tax ratio tercatat turun menjadi tinggal 1,2% pada 2020 akibat pandemi Covid-19. (DDTCNews)

*Tulisan ini merupakan artikel milik DDTCNews yang dimuat dalam https://news.ddtc.co.id/ dan rilis tanggal 29 Juli 2022