JAKARTA, Pelaku UMKM beromzet tidak lebih dari Rp4,8 miliar yang memilih dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP) bisa menggunakan skema pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) final. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Kamis (25/11/2021).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor mengatakan nantinya UMKM yang memilih untuk menjadi PKP tidak perlu repot mengadministrasikan pajak keluaran dan pajak masukan karena ada ketentuan PPN final.
“Cukup menerapkan tarif final untuk kesederhanaan administrasi bagi para UMKM dalam memenuhi kewajiban perpajakannya,” ujar Neilmaldrin.
Seperti diketahui, pemerintah akan menerapkan skema pemungutan PPN final mulai 1 April 2022. Kebijakan tersebut sudah masuk dalam UU PPN s.t.d.t.d UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Sesuai dengan ketentuan dalam UU tersebut, pemungutan dan penyetoran PPN final dilakukan oleh PKP dengan peredaran usaha dalam 1 tahun buku tidak melebihi jumlah tertentu, melakukan kegiatan tertentu, dan/atau melakukan penyerahan barang atau jasa kena pajak (BKP/JKP) tertentu. Simak Hasil Survei PPN Final.
Selain mengenai PPN final, ada pula bahasan terkait dengan pemberian insentif pajak. Kemudian, ada pula bahasan tentang RUU Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD)
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Aturan Turunan PPN Final
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor mengatakan terdapat sejumlah peraturan yang akan diterbitkan sebelum berlakunya skema PPN final. Misalnya, mengenai skema pemungutan, sektor usaha, serta jenis barang dan/atau jasa yang akan dikenakan PPN final.
"Sampai dengan saat ini, aturan pelaksanaan terkait UU HPP masih dalam proses penyusunan, [termasuk] tentang bagaimana skema pemungutan, jenis barang dan/atau jasa yang akan dikenakan PPN final," katanya. Simak pula ‘Implementasikan UU HPP, Pemerintah Siapkan 43 Aturan Pelaksana’. (DDTCNews)
Insentif Pajak untuk UMKM dan Pengusaha Besar
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan pemberian insentif pajak diberikan agar dunia usaha mampu bertahan melewati pandemi Covid-19. Menurutnya, insentif tersebut diberikan mulai kepada UMKM hingga pengusaha besar.
"Insentif-insentif pajak adalah yang paling di depan diberikan pada tahun lalu untuk membantu dunia usaha agar tidak terkena pressure yang terlalu tinggi," katanya. (DDTCNews)
Belanja Perpajakan
Pemerintah mengestimasi belanja perpajakan atau tax expenditure akan kembali meningkat seiring dengan membaiknya perekonomian dari tekanan pandemi Covid-19
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan belanja perpajakan 2020 diperkirakan turun 14% dari 2019. Menurutnya, angka tersebut dapat kembali meningkat pada 2021 dan tahun-tahun berikutnya ketika ekonomi mulai pulih.
"Kalau kegiatan ekonomi berkembang, klaim insentif pajak akan meningkat. Enggak apa-apa, pemerintah oke karena itu berarti uang yang tidak jadi diterima pemerintah tadi bisa langsung dipakai dunia usaha untuk bekerja," katanya. (DDTCNews)
Pengurangan Insentif
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan pemerintah sudah mulai mengurangi jumlah sektor penerima insentif pajak pada semester II/2021. Insentif diharapkan benar-benar tepat sasaran membantu sektor usaha yang masih membutuhkan dukungan.
“Belum ada yang betul-betul kembali pulih seperti level 2019 tapi kebanyakan sudah positif. Terhadap sektor-sektor ini, kita minta kontribusinya dan tidak diberi fasilitas lanjutan," ujar Yon. (DDTCNews/Bisnis Indonesia)
Tax Ratio di Daerah
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan RUU HKPD memiliki keterkaitan dengan UU HPP. Menurutnya, UU HPP menjadi upaya pemerintah untuk meningkatkan tax ratio yang juga akan dirasakan daerah dalam bentuk dana transfer. Semangat serupa juga berlaku untuk RUU HKPD.
"RUU HKPD menjadi usaha untuk meningkatkan tax ratio di level daerah, utamanya agar bisa meningkatkan kemandirian daerah," katanya. Simak Fokus Ketika Fiskal Daerah Tak Kunjung Mandiri. (DDTCNews)
Pengawasan Kepatuhan Pajak
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) menjadi topik pembicaraan di media sosial Twitter saat pelapak daring di sebuah marketplace ditagih pajak hingga puluhan juta oleh otoritas pajak.
Terkait dengan hal tersebut, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas DJP Neilmaldrin Noor menyatakan pengawasan pajak saat ini tidak hanya pada kegiatan ekonomi konvensional, tetapi juga ekonomi digital.
"Hal ini merupakan tindakan pengawasan kepatuhan yang sudah dilakukan oleh DJP sejak dahulu, tidak hanya untuk pelaku usaha pada sektor digital, tetapi untuk seluruh sektor usaha," katanya. Simak ‘Penjualan di Marketplace Bisa Terdeteksi Petugas Pajak, Ini Kata DJP’. (DDTCNews)
Penggunaan NIK Sebagai NPWP
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai NPWP wajib pajak orang pribadi – sesuai dengan perubahan ketentuan UU KUP dalam UU HPP – sebagai bagian dari upaya memberikan kemudahan administrasi.
Salah satu persiapan yang dilakukan adalah dari sisi sistem administrasi. Saat ini, pemerintah tengah mempersiapkan infrastruktur yang akan digunakan untuk mengakomodasi kebijakan UU KUP dalam UU HPP tersebut.
Selain kesiapan dari sisi admnistrasi, sambung Yon, otoritas fiskal juga tengah menjalin komunikasi dengan Kementerian Dalam Negeri selaku pemegang kewenangan pengaturan NIK. Proses diskusi terus dijalankan sampai sekarang. (DDTCNews)