Piutang Tak Tertagih yang Boleh Jadi Biaya Fiskal
REKONSILIASI FISKAL (16)

DALAM meningkatkan persaingan bisnis dan memelihara hubungan pelanggan, salah satu strategi yang dapat dilakukan perusahaan adalah dengan memberikan fleksibilitas pembayaran. Oleh sebab itu, banyak perusahaan yang melakukan penjualan secara kredit agar dapat menjual lebih banyak barang atau jasanya.

Piutang yang dihasilkan dari penjualan semacam itu biasanya diklasifikasikan sebagai piutang usaha. Dalam praktiknya, sebagian pelanggan (pihak yang berutang) mungkin memiliki kendala sehingga tidak dapat membayar utang mereka. Dengan demikian, terdapat risiko sebagian piutang menjadi tak tertagih. Tentunya, risiko ini tidak menguntungkan bagi perusahaan.

Pada prinsipnya, pembebanan piutang tak tertagih dalam laporan laba/rugi perusahaan diperbolehkan baik secara akuntansi maupun secara fiskal. Namun, wajib pajak perlu memperhatikan syarat-syarat yang harus dipenuhi secara fiskal untuk menghindari dilakukannya koreksi fiskal oleh otoritas pajak atas pembebanan piutang tak tertagih ini.

Merujuk pada Pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-Undang No. 36/2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 17 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), ‘piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih’ dapat menjadi biaya yang mengurangi penghasilan bruto (deductible expensesepanjang memenuhi syarat.

Dalam menyebut piutang tak tertagih, istilah yang digunakan oleh UU PPh adalah piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih. Secara definisi, piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih adalah piutang yang timbul dari transaksi bisnis yang wajar sesuai dengan bidang usahanya, yang nyata-nyata tidak dapat ditagih meskipun telah dilakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir oleh wajib pajak.

Definisi itu tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 207/PMK.010/2015 tentang Perubahan Kedua atas PMK No.105/PMK.03/2009 tentang Piutang yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.

Berdasarkan PMK tersebut, piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang timbul di bidang usaha bank, lembaga pembiayaan, industri, dagang, dan jasa lainnya dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak.

Lebih lanjut, dari sisi cakupannya, piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut tidak termasuk piutang yang berasal dari transaksi bisnis dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan wajib pajak.

Adapun persyaratan yang harus dipenuhi agar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih boleh dibebankan sebagai biaya, antara lain sebagai berikut:

  1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
  2. wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada Ditjen  Pajak berbentuk hard copy dan soft copy; dan
  3. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut:
  • telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara;
  • terdapat perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur atas piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut;
  • telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau
  • adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.

Penerbitan umum adalah pemuatan pengumuman pada penerbitan surat kabar/majalah atau media massa cetak yang lazim lainnya yang berskala nasional. Sementara itu, penerbitan khusus adalah pemuatan pengumuman pada penerbitan Himpunan Bank-Bank Milik Negara (Himbara)/ Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas), penerbitan/pengumuman khusus Bank Indonesia, dan/atau penerbitan yang dikeluarkan oleh asosiasi yang telah terdaftar sebagai wajib pajak dan pihak kreditur menjadi anggotanya.

Dari ketentuan syarat di atas, dapat disimpulkan bahwa syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh wajib pajak ialah pada syarat pertama (i) dan kedua (ii). Selain itu, wajib pajak juga harus memenuhi syarat ketiga (iii) dengan memiliki salah satunya. Perlu diketahui, untuk persyaratan ketiga (iii) di atas tidak berlaku untuk piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil atau debitur kecil lainnya.

Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil adalah piutang debitur kecil yang jumlahnya tidak melebihi Rp100 juta, yang merupakan gunggungan jumlah piutang dari beberapa kredit yang diberikan oleh suatu institusi bank/lembaga pembiayaan dalam negeri sebagai akibat adanya pemberian:

  1. Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), yaitu kredit lunak untuk usaha ekonomi produktif yang diberikan kepada Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I yang telah menjadi peserta Takesra dan tergabung dalam kegiatan kelompok Prokesra-OPPKS;
  2. Kredit Usaha Tani (KUT), yaitu kredit modal kerja yang diberikan oleh bank kepada koperasi primer baik sebagai pelaksana (executing) maupun penyalur (channeling) atau kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai pelaksana pemberian kredit, untuk keperluan petani yang tergabung dalam kelompok tani guna membiayai usaha taninya dalam rangka intensifikasi padi, palawija, dan hortikultura;
  3. Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), yaitu kredit yang diberikan oleh bank kepada masyarakat untuk pemilikan rumah sangat sederhana (RSS);
  4. Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil;
  5. Kredit Usaha Rakyat (KUR), yaitu kredit yang diberikan untuk keperluan modal usaha kecil lainnya selain KUK; dan/atau
  6. Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan Bank Indonesia dalam mengembangkan usaha kecil dan koperasi.

Adapun piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil lainnya adalah piutang debitur kecil lainnya yang jumlahnya tidak melebihi Rp5 juta.

Tata Cara Penyampaian Daftar Piutang Tak Tertagih
BERDASARKAN Pasal 4 PMK 207/2015, daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang diserahkan kepada Ditjen Pajak harus melampirkan daftar nominatif yang mencantumkan identitas debitur berupa nama, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), alamat, jumlah plafon utang yang diberikan, dan jumlah piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih.

Selain itu, piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang berasal dari plafon utang sampai dengan Rp50 juta, baik yang berasal dari satu utang maupun gunggungan dari beberapa utang yang diterima dari satu kreditur, dikecualikan dari keharusan mencantumkan identitas debitur berupa NPWP.

Lebih lanjut, daftar tersebut juga dilampiri dengan:

  1. fotokopi bukti penyerahan perkara penagihannya ke Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara;
  2. fotokopi perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang usaha yang telah dilegalisir oleh notaris;
  3. fotokopi bukti publikasi dalam penerbitan umum atau penerbitan khusus; atau
  4. surat yang berisi pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan yang disetujui oleh kreditur tentang penghapusan piutang untuk jumlah utang tertentu, yang disetujui oleh kreditur.

Daftar dan lampiran di atas harus disampaikan bersamaan dengan penyampaian surat pemberitahuan (SPT) tahunan.

Ketentuan Pasal 5A PMK 57/2009 jo PMK 207/2015 adalah salah satu ketentuan lainnya yang perlu diperhatikan dalam membiayakan beban piutang tak tertagih. Berdasarkan pasal tersebut, apabila piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibayar seluruhnya atau dibayar sebagian oleh debitur maka jumlah piutang yang dibayar seluruhnya atau dibayar sebagian tersebut merupakan penghasilan bagi kreditur pada tahun pajak diterimanya pembayaran.*