JAKARTA, Pemerintah akan menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) final atas penghasilan beberapa usaha jasa konstruksi yang selama ini diatur dalam PP 51/2008 s.t.d.d. PP 40/2009. Rencana tersebut menjadi bahasan media nasional pada hari ini, Rabu (17/3/2021).
Rencana penurunan tarif PPh final tersebut tertuang dalam Keppres 4/2021. Beleid ini memuat program penyusunan PP sepanjang 2021 yang diprakarsai berbagai kementerian. Untuk Kementerian Keuangan, salah satu rencananya adalah RPP perubahan kedua dari PP 51/2008.
Kemenkeu berencana menurunkan tarif PPh final atas pekerjaan konstruksi yang dilakukan penyedia jasa dengan kualifikasi perseorangan dan usaha kecil dari 2% menjadi 1,75%. Jika pekerjaan konstruksi dilakukan penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha, tarif diusulkan tetap 4%.
Bila pekerjaan konstruksi dilakukan oleh penyedia jasa selain dua jenis penyedia jasa tersebut, tarif diusulkan turun dari 3% menjadi 2,65%.
Tarif PPh final atas konsultasi konstruksi yang dilakukan penyedia jasa yang memiliki kualifikasi usaha diturunkan dari 4% menjadi 3,5%. Namun, jika dilakukan penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha, tarif PPh final diusulkan tetap sebesar 6%.
Selain mengenai rencana penurunan tarif PPh final atas penghasilan beberapa usaha jasa konstruksi, ada pula bahasan tentang rencana amendemen PP 73/2019. Pemerintah akan memberikan selisih yang lebih besar antara tarif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) pada mobil listrik (battery electric vehicle/BEV) dan mobil hibrida (hybrid electric vehicle/HEV).
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Direktur Peraturan Perpajakan II Ditjen Pajak (DJP) Estu Budiarto mengatakan RPP perubahan kedua dari PP 51/2008 sifatnya belum final. Pasalnya, pemerintah masih dalam proses pembahasan rancangan aturan tersebut.
Namun demikian, dia menegaskan tujuan utama dari revisi beleid tersebut adalah keinginan untuk memberikan stimulus dunia usaha jasa konstruksi. (Kontan)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan amendemen PP 73/2019 tidak akan mengubah tarif PPnBM pada BEV yang ditetapkan 0%. Namun, tarif PPnBM plug-in hybrid electric vehicle (PHEV) yang sebelumnya 0% akan dinaikkan.
Pemerintah menyiapkan 2 skema tarif PPnBM pada PHEV dan mobil hybrid, yang besarannya akan makin besar. Pada skema I, tarif PPnBM pada PHEV dari 0% akan menjadi sebesar 5%, sedangkan full-hybrid (pasal 26) akan naik dari 2% menjadi 6%, dan full-hybrid (Pasal 27) naik dari 5% menjadi 7%.
Sementara itu, tarif PPnBM full-hybrid (Pasal 28) tetap 8%, mild-hybrid (Pasal 29) 8%, mild-hybrid (Pasal 30) 10%, dan mild-hybrid (Pasal 31) 12%. Pemerintah membuat tarif PPnBM mobil hybrid secara progresif karena emisi gas buangnya juga makin besar dibandingkan dengan BEV.
Tarif PPnBM mobil hybrid akan beralih pada skema 2 jika para investor mobil listrik yang berkomitmen berinvestasi di Indonesia telah merealisasikan penanaman modal minimum Rp5 triliun dan memproduksi mobil secara komersial.
Tarif PPnBM PHEV pada skema II akan naik menjadi 8%, sementara pada mobil hybrid yang tarifnya 6%, 7%, dan 8% akan naik menjadi 10%, 11%, dan 12%. Demikian pula pada mild hybrid yang tarif PPnBM-nya 8%, 10%, dan 12% akan naik menjadi 12%, 13%, dan 14%. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan presiden ingin memperluas dan memperdalam program relaksasi PPnBM untuk kendaraan. Pemerintah membuka kemungkinan untuk memperluas jenis mobil yang mendapatkan relaksasi.
"Sesuai arahan Presiden [Jokowi], waktu pelaksanaan kebijakan ini akan dievaluasi. Kemudian, formula aturannya bisa berdasarkan besaran kapasitas isi silinder dikombinasikan dengan local purchase, atau hanya berdasarkan aturan local purchase saja,” katanya. Simak pula ‘Rencananya, Cakupan Insentif Pajak Pembelian Mobil Bakal Diperluas’. (DDTCNews/Kontan)
Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan pemberian insentif kepada dunia usaha di tengah kondisi ekonomi saat ini merupakan langkah yang rasional. Belajar dari krisis 2008, daya tahan korporasi tidak lebih baik bila dibandingkan dengan wajib pajak orang pribadi.
Di sisi lain, ada juga desain kebijakan yang menyasar wajib pajak orang pribadi. Namun, untuk usulan kenaikan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) perlu dilihat lebih cermat. Belajar dari pengalaman kenaikan PTKP pada 2016, konsumsi – yang diharapkan berdampak pada ekonomi – juga tidak meningkat signifikan. (Kontan)
Kasubdit Humas Perpajakan DJP Ani Natalia mengatakan relaksasi administrasi berupa perpanjangan periode penyampaian SPT Tahunan tidak menjadi agenda pembahasan DJP sampai dengan saat ini. Alhasil, jatuh tempo penyampaian SPT tetap akhir bulan ini.
"Sampai hari ini belum ada tanda-tanda perpanjangan laporan SPT orang pribadi," katanya. Simak ‘DJP Tak Rekomendasikan WP Lapor SPT Mepet Tenggat Waktu, Ini Sebabnya’. (DDTCNews)
Berdasarkan pada data Kementerian Keuangan, tax expenditure sepanjang tahun lalu senilai Rp228 triliun. Angka tersebut turun sebesar 11,35% dibandingkan dengan capaian pada tahun sebelumnya senilai Rp257,2 triliun.
Angka realisasi tersebut disebut masih angka sementara. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor mengatakan angka realisasi belanja perpajakan tengah difinalisasi oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF). (Bisnis Indonesia)