PPN sebagai Pajak Konsumsi, Harus Bersifat Umum dan Netral
KONSEP DASAR PPN (BAGIAN IV)

EDISI Keempat ini mengupas PPN sebagai Pajak Konsumsi yang Bersifat Umum dan Netral, setelah sebelumnya dalam Edisi Ketiga membahas tentang Tidak Ada PPN tanpa Konsumsi. Berikut ulasan dari Edisi Keempat.

PPN merupakan pajak atas konsumsi yang bersifat umum (taxes on general consumption) dan bersifat netral. Dua Prinsip tersebut, yaitu bersifat umum dan netral, menjadi bagian dari Konsep Dasar PPN sebagai pajak atas konsumsi.

Sifat umum PPN ditunjukkan atas pengenaan pajak berdasarkan pengeluaran yang berkaitan dengan konsumsi barang dan jasa pada setiap tahap jalur produksi, distribusi, dan keseluruhan rantai penyerahan (Pato dan Marques, 2014).

Lebih lanjut Pato dan Marques memberikan Ilustrasi Kasus dari sifat umum PPN sebagai berikut.

  1. Petani A menjual apel (diasumsikan sebagai Barang Kena Pajak) kepada Distributor B sebesar Rp100 (harga bersih);
  2. Distributor B kemudian menggunakan jasa PT C untuk melakukan pengepakan apel yang telah dibelinya dengan biaya pengepakan sebesar Rp10 (harga bersih);
  3. Setelah proses pengepakan selesai, selanjutnya Distributor B menjual apel tersebut ke Pasar Swalayan D dengan harga Rp130 (harga bersih);
  4. Pasar Swalayan D menjual apel tersebut kepada Tuan E (konsumen akhir) sebesar Rp140 (harga bersih).

Atas transaksi di atas, perlakuan PPN-nya adalah.

Transaksi Pertama:

  1. Petani A akan memungut PPN sebesar Rp10 sebagai Pajak Keluaran (PK) dan menyetorkannya ke kas negara;
  2. Di sisi lain, bagi Distributor B, PPN sebesar Rp10 tersebut merupakan Pajak Masukan (PM), yaitu pajak yang dikenakan atas perolehan barang atau jasa.

Transaksi Kedua

  1. PT C memungut PPN sebesar Rp1 sebagai Pajak Keluaran (PK) dan menyetorkannya ke kas negara;
  2. Bagi Distributor B, PPN sebesar Rp1 tersebut merupakan Pajak Masukan (PM).

Transaksi Ketiga

  1. Distributor B memungut Pajak Keluaran (PK) sebesar Rp13. Oleh karena pajak masukan yang dimiliki oleh Distributor B adalah sebesar Rp11 (yang dibayarkan atas perolehan apel dari Petani A sebesar Rp10 dan pemanfaatan jasa pengepakan dari PT C sebesar Rp1), jumlah PPN yang harus disetorkan oleh Distributor B ke kas negara diperoleh dengan mengkreditkan Pajak Masukan (PM) yang dimilikinya dengan Pajak Keluaran (PK), yaitu sebesar Rp13-Rp11=Rp2;
  2. Bagi Pasar Sawalayan D, PPN sebesar Rp13 yang berasal dari Distributor B tersebut merupakan Pajak Masukan (PM).

Transaksi Keempat

  1. Pasar Swalayan D memungut PPN sebesar Rp14 sebagai Pajak Keluaran (PK). Oleh karena Pasar Swalayan D memiliki pajak masukan sebesar Rp13 (yang dibayarkan atas perolehan apel dari Distributor B), jumlah PPN yang harus disetorkan oleh Pasar Swalayan D ke kas negara diperoleh dengan mengkreditkan Pajak Masukan (PM) yang dimilikinya dengan Pajak Keluaran (PK), yaitu sebesar Rp14-Rp13=Rp1.
  2. Dari transaksi ini, konsumen akhir menanggung beban PPN sebesar Rp14.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa total jumlah PPN yang diterima oleh kas negara adalah sebesar Rp14, yang mana jumlah ini seluruhnya ditanggung oleh konsumen akhir.

Jumlah PPN sebesar Rp14 tersebut diperoleh dari setoran PPN ke kas negara di setiap tahap produksi, distribusi, dan rantai penyerahan, yaitu Petani A (Rp10) + PT C (Rp1) + Distributor B (Rp2) + Pasar Swalayan D (Rp1) = Rp14. Atau dengan kata lain, sebagai pajak konsumsi yang bersifat umum, PPN dikenakan terhadap seluruh pengeluaran yang terjadi dalam rangka penjualan apel kepada konsumen akhir.  

Selain bersifat umum, PPN juga memiliki sifat netral. Artinya, PPN harus dapat menjamin bahwa atas barang dan jasa yang dikonsumsi, akan mendapatkan perlakuan dan menanggung beban pajak yang sama tanpa memperhatikan seberapa panjang proses produksi dan distribusi yang dilalui.

Adapun netralitas PPN ini, menurut Sijbren Cnossen (1987), dapat tercapai melalui mekanisme pengkreditan Pajak Masukan (PM) terhadap Pajak Keluaran (PK).

Selanjutnya, nantikan tulisan Edisi Kelima dari Konsep Dasar PPN dalam edisi Kelas Pajak berikutnya.