SETELAH mengenal sekilas mengenai presumptive tax dalam artikel kelas kebijakan pajak sebelumnya, kali ini akan ada pembahasan mengenai kaitannya dengan sektor-sektor yang sulit dipajaki.
Seperti dijelaskan dalam artikel kelas kebijakan pajak dengan topik presumptive tax pada seri pertama, salah satu tujuan yang mendasari penggunaan bentuk pemajakan ini adalah untuk meningkatkan kepatuhan pajak dengan menutup kemungkinan adanya penghindaran atau pengelakan pajak.
Terkait dengan tujuan tersebut, penerapan presumptive tax erat kaitannya dengan sektor-sektor yang sulit dipajaki (hard-to-tax sector). Hal ini dikarenakan tidak teridentifikasinya penghasilan atau transaksi sebenarnya dari sektor-sektor itu, yang dapat digunakan sebagai basis pengenaan pajak.
Sektor yang dapat dikategorikan sebagai sektor sulit dipajaki dapat berbeda-beda, tergantung pada jenis pajak yang dibahas. Namun, Alm et al (2004) menilai bahwa terdapat kelompok-kelompok wajib pajak tertentu yang memang berupaya untuk menjadi wajib pajak yang sulit dipajaki.
Das-Gupta (1994) menilai bahwa kelompok hard-to-tax sector merupakan sekelompok wajib pajak yang memperoleh penghasilannya dari berbagai sumber transaksi yang terpisah satu sama lain, sehingga besaran agregat sesungguhnya sulit untuk diketahui.
Sementara itu, Musgrave (1981) mengidentifikasi UMKM, orang-orang dengan profesi tertentu (yang penghasilannya berasal dari berbagai klien), dan petani sebagai kelompok hard-to-tax sectors. Argumentasi serupa juga dikemukakan oleh Tanzi dan Janscher (1989) dan Terkper (2003).
Terdapat konsensus bahwa hard-to-tax sector tidak sebatas pada apakah wajib pajak terkait merupakan sektor formal atau informal, melakukan pencatatan keuangan atau tidak. Namun, sekelompok wajib pajak dapat dikatakan sebagai hard-to-tax sector ketika mereka dengan sengaja atau tidak ada keinginan untuk memberitahu informasi mengenai besaran penghasilan sebenarnya kepada wajib pajak.
Dengan penjelasan di atas, terdapat kemungkinan bahwa besaran penghasilan atau transaksi yang tidak tercatat oleh otoritas pajak juga tidak tercatat dalam perhitungan produktivitas ekonomi atau PDB suatu negara. Ini yang disebut dengan shadow economy. Alm et al (2004) membenarkan bahwa memang terdapat korelasi antara besaran hard-to-tax sector dengan shadow economy yang terdapat pada suatu negara.
Selain mengupayakan perolehan dan pengelolaan informasi hard-to-tax sector, presumptive tax dapat menjadi solusi untuk memajaki sektor tersebut. (Thuronyi 2004) Bagi wajib pajak patuh, presumptive tax tidak hanya memberikan kemudahan dan menurunkan biaya kepatuhan, tapi juga menginsentif wajib pajak tersebut untuk semakin meningkatkan penghasilannya.
Walau presumptive tax memiliki banyak manfaat, penerapannya perlu dilakukan secara tepat sasaran Perlu diperhatikan bahwa tiap pemilihan cara dalam menerapkan presumptive tax memiliki dampak yang berbeda.
Tiap penentuan basis yang digunakan untuk metode penghitungan secara tidak langsung akan memiliki dampaknya tersendiri terhadap keputusan bisnis. Wajib pajak terkait akan terinsentif untuk meminimalkan nilai basis yang digunakan sebagai penghitungan nilai tersebut.
Selain memberikan dampak yang berbeda dalam perspektif bisnis, penerapan presumptive tax juga dapat menimbulkan dampak yang berbeda terhadap redistribusi pendapatan, kompleksitas sistem pajak, dan juga implikasi kewajiban administratif yang perlu dipenuhi. (Balestrino dan Galmarini, 2005)
Selain itu, presumptive tax tepat untuk diterapkan ketika biaya untuk memperoleh informasi diperkirakan lebih besar ketimbang potensi penerimaan yang hilang akibat menerapkan presumptive tax ketimbang menggunakan ketentuan dengan perhitungan normal. (Logue dan Vettori, 2010)
Demikian penjelasan mengenai keterkaitan presumptive tax dengan hard-to-tax sector. Anda bisa memperdalam pemahaman mengenai salah satu bentuk pemajakan tersebut dengan membaca seri kelas kebijakan pajak topik presumptive tax selanjutnya. Jangan lewatkan! *