Prinsip Proporsional dalam PPN
KONSEP DASAR PPN (BAGIAN V)

EDISI Kelima ini mengupas tentang Prinsip Proporsional dalam PPN, setelah sebelumnya dalam Edisi Keempat membahas tentang PPN sebagai Pajak Konsumsi yang Bersifat Umum dan Netral. Berikut ulasan dari Edisi Kelima.

PRINSIP proporsional menghendaki agar nilai PPN yang dipungut atau disetor ke kas negara dalam seluruh mata rantai pemungutan PPN seharusnya mencerminkan nilai pengalian antara tarif PPN dengan nilai transaksi atau harga dari penyerahan barang atau jasa ke konsumen akhir. Terkait nilai PPN yang dipungut atau disetor ke kas negara ini, dapat dilihat kembali dalam pembahasan PPN sebagai Pajak Konsumsi, Harus Bersifat Umum dan Netral dalam Edisi Keempat.

Untuk mencapai tujuan di atas, tarif yang berlaku harus tetap proporsional terhadap harga (Pato dan Marques, 2014). Atau dengan kata lain, tarif harus menggunakan single rate. Tujuannya, agar PPN sebagai pajak konsumsi yang bersifat umum (taxes on general consumption) menjadi sistem pajak yang netral, efektif, dan efisiensi dalam memajaki aktivitas konsumsi barang dan jasa.

Pada dasarnya, empat elemen konsep dasar yang dimiliki PPN seperti telah disampaikan dalam Edisi Pertama – Edisi Keempat sebelumnya merupakan pilar utama agar PPN dapat menjadi sistem pajak yang netral, efektif, dan efisien. Yaitu, sistem PPN yang sederhana dan mempunyai tingkat kepatuhan tinggi dengan biaya administrasi yang rendah.

Idealnya, sistem PPN harus sesuai dengan Konsep Dasar PPN. Serta, tidak menghendaki atau melarang adanya penerapan tarif PPN lebih dari satu (multiple rates), penurunan tarif, pembebasan PPN, tarif PPN 0% selain atas ekspor, serta skema khusus lainnya (Bilal Hassan, 2018).

Larangan-larangan tersebut dimaksudkan untuk menjaga netralitas, efisiensi, dan efektivitas PPN sebagai pajak konsumsi yang bersifat umum.. Namun, dalam praktiknya, sebagian besar negara melakukan penyimpangan terhadap Konsep Dasar PPN.

Pakistan misalnya, yang menggunakan terminologi GST untuk menggantikan terminologi PPN, banyak melakukan penyimpangan dalam sistem PPN-nya. Tidak seperti PPN yang diterapkan di banyak negara, basis PPN di Pakistan terbilang sempit dikarenakan adanya beberapa penyimpangan terhadap Konsep Dasar PPN. Beberapa penyimpangan dalam sistem PPN di Pakistan antara lain sebagai berikut (Bilal Hasan, 2018).

  1. Penerapan multiple ratesSelain menerapkan tarif PPN standar sebesar 17%, terdapat tarif PPN lainnya yang diberlakukan atas impor atau penyerahan beberapa barang tertentu. Contohnya, atas penyerahan bahan bakar minyak solar untuk mesin diesel dikenai PPN dengan tarif 31%, sedangkan atas penyerahan gula kristal putih dikenai PPN dengan tarif 8%.
  2. Penerapan pembebasan PPN yang berlaku atas penyerahan dalam negeri dan impor barang-barang tertentu, seperti bahan makanan, barang-barang nonmakanan (surat kabar, majalah, jurnal, buku, barang-barang yang dipasok ke rumah sakit, dan lain sebagainya). Pembebasan PPN juga diberlakukan atas penyerahan yang dilakukan oleh kegiatan usaha yang berada di Gwadar Special Economic Zone.
  3. Penerapan tarif PPN 0% selain atas ekspor. PPN di Pakistan juga memberlakukan tarif PPN 0% atas transaksi lainnya, seperti penyerahan barang kepada diplomat atau organisasi khusus lainnya, penyerahan minyak bumi mentah, penyediaan, pemeliharaan, dan perbaikan kapal, dan lain sebagainya.
  4. Penerapan skema PPN khusus dalam bentuk pemberlakuan tarif PPN 0% bagi produsen, eksportir, importir, dan pedagang besar yang beroperasi di lima industri khusus, yaitu tekstil, karpet, kulit, olahraga, dan bedah.
  5. Pemberlakuan pengenaan PPN berdasarkan nilai peredaran usaha bagi pihak yang diklasifikasikan sebagai pengecer tier-1. Dalam sistem PPN di Pakistan, pihak yang diklasifikasikan sebagai pengecer tier-1 dikenai PPN dengan tarif 2% dari total peredaran usaha.
  6. Penerapan mekanisme wajib pungut PPN. Berdasarkan mekanisme wajib pungut PPN di Pakistan, penerima barang dan/atau jasa yang ditunjuk sebagai pemungut PPN wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang oleh PKP yang menyerahkan barang dan/atau jasa tersebut. Pemungut PPN yang wajib melaksanakan mekanisme ini adalah kementerian, badan otonom, organisasi di sektor publik, wajib pajak besar, dan penerima jasa periklanan yang terdaftar.
  7. Pemisahan kewenangan pemungutan PPN atas barang dan jasa. Berdasarkan Konstitusi di Pakistan, kewenangan untuk mengenakan PPN atas transaksi barang diberikan kepada Federal Board of Revenue (FBR), sedangkan pengenaan PPN atas jasa diberikan kepada otoritas pendapatan tingkat propinsi.

Penyimpangan dari sistem PPN dari Konsep Dasar dapat menimbulkan kerugian berupa hilangnya penerimaan PPN sebagai pajak konsumsi. Selain itu, penyimpangan dari sistem PPN ini juga mengakibatkan peningkatan biaya kepatuhan bagi wajib pajak dan biaya penegakan hukum bagi otoritas pajak.

Oleh karena itu, sangat penting bagi para pembuat kebijakan PPN di berbagai negara untuk meniadakan praktik penyimpangan PPN serta menerapkan sistem PPN yang sejalan dengan konsep dasar PPN.

Demikian ulasan Edisi Kelima, selesailah kita membahas secara keseluruhan Konsep Dasar PPN sebagai Pajak atas Konsumsi yang bersifat umum.