KEGIATAN menghimpun data, keterangan, dan/atau bukti merupakan bagian yang sangat krusial dalam suatu proses pemeriksaan pajak. Kegiatan menghimpun data tersebut bahkan dapat dikatakan menjadi senjata utama bagi pemeriksa pajak dalam menjalankan tugasnya.
Terdapat beberapa sumber data atau keterangan yang dapat dihimpun pemeriksa pajak, mulai dari data internal Direktorat Jenderal Pajak (DJP), wajib pajak yang diperiksa, pihak lain atau pihak ketiga yang terkait dengan wajib pajak, hingga data umum yang dapat diakses secara bebas.
Untuk data, baik yang berasal dari internal DJP maupun data yang terbuka untuk umum, tentunya dapat diakses pemeriksa dengan mudah. Sementara itu, data yang diperoleh dari wajib pajak yang diperiksa – serta dari pihak lain yang terkait dengan wajib pajak – tentunya tidak mudah diperoleh karena data tersebut menyangkut kerahasiaan (privacy).
Lantas, bagaimana pengaturan mengenai permintaan keterangan dan atau bukti kepada wajib pajak yang diperiksa atau pihak ketiga yang terkait dengann wajib pajak? Berikut penjelasannya.
Dalam Pasal 29 ayat (3) UU KUP telah diatur mengenai kewajiban yang harus dipenuhi wajib pajak yang sedang diperiksa, yaitu:
Sesuai dengan ketentuan di atas, sudah jelas, pemeriksa pajak memiliki kewenangan untuk meminta keterangan yang diperlukan dalam rangka pemeriksaan pajak. Dalam penjelasan Pasal 29 ayat (3) UU KUP juga ditegaskan, apabila pemeriksa pajak membutuhkan keterangan lain selain buku, catatan, dan dokumen lain, wajib pajak harus memberikan keterangan lain yang dapat berupa keterangan tertulis dan/atau keterangan lisan.
Adapun tata cara permintaan keterangan tertulis dan/atau lisan ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.03/2021 (PMK 17/2013 jo PMK 18/2021).
Sesuai dengan Pasal 39 PMK 17/2013 jo PMK 18/2021, untuk memperoleh penjelasan yang lebih terperinci, pemeriksa pajak melalui kepala unit pelaksana pemeriksaan dapat memanggil wajib pajak, wakil, kuasa dari wajib pajak, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari wajib pajak melalui penyampaian surat panggilan.
Dalam hal pemeriksaan dilakukan dengan jenis pemeriksaan lapangan, penjelasan yang lebih terperinci tersebut dapat dilakukan pada saat pelaksanaan pemeriksaan di tempat wajib pajak.
Apabila pihak yang dipanggil tersebut hadir memenuhi panggilan maka dilakukanlah permintaan penjelasan oleh pemeriksa pajak. Pemberian keterangan atau penjelasan tersebut didokumentasikan dalam sebuah berita acara yang ditandatangani pihak yang memberi keterangan dan pihak pemeriksa pajak.
Dalam hal ini, baik kuasa wajib pajak maupun karyawan wajib pajak diperlakukan sama dengan wajib pajak itu sendiri dan tidak diperlakukan sebagai pihak ketiga. Oleh karena itu, permintaan keterangan kepada kuasa atau karyawan wajib pajak harus sepengetahuan wajib pajak.
Lantas, bagaimana ketentuan dengan pihak ketiga? Berbeda dengan permintaan keterangan kepada wajib pajak yang diperiksa, kewenangan pemeriksa pajak untuk meminta keterangan dan/atau bukti kepada pihak ketiga diatur dalam ketentuan tersendiri.
Berdasarkan pada Pasal 40 PMK 17/2013 jo PMK 18/2021, pemeriksa pajak melalui kepala unit pelaksana pemeriksaan, dapat meminta keterangan dan/atau bukti kepada pihak ketiga – sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 UU KUP – secara tertulis sesuai dengan peraturan menteri keuangan yang mengatur mengenai tata cara permintaan keterangan kepada pihak ketiga.
Adapun Pasal 35 UU KUP berbunyi:
“Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi dan/atau pihak ketiga lainnya, yang mempunyai hubungan dengan wajib pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan, atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta.”
Adapun tata cara permintaan keterangan kepada pihak ketiga yang terkait dengan wajib pajak tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 87/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Permintaan Keterangan atau Bukti dari Pihak-pihak yang Terikat oleh Kewajiban Merahasiakan yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 235/PMK.03/2016 (PMK 87/2013 jo PMK 235/2016).
Berdasarkan pada PMK tersebut, surat permintaan keterangan atau bukti oleh direktur jenderal pajak atau menteri keuangan sekurang-kurangnya memuat 3 hal, yaitu identitas wajib pajak, keterangan atau bukti yang diminta, dan maksud dilakukannya permintaan keterangan atau bukti.
Adapun pihak ketiga yang dapat dimintai keterangan atau bukti tersebut meliputi bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, konsultan hukum, konsultan keuangan, pelanggan, pemasok, kantor administrasi, dan pihak ketiga lainnya yang memiliki keterangan atau bukti yang ada hubungannya dengan tindakan wajib pajak, pekerjaan, kegiatan usaha, atau pekerjaan bebas wajib pajak.