Punya Harta Sebelum 2015 tapi Tidak Ikut TA, Bisa Diungkap Lewat PPS?
BERITA PAJAK HARI INI

JAKARTA, Ditjen Pajak (DJP) menyerahkan keputusan keikutsertaan wajib pajak orang pribadi yang sebelumnya belum mengikuti tax amnesty dalam skema kebijakan I program pengungkapan sukarela (PPS). Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Senin (31/1/2022).

DJP menyatakan skema kebijakan I PPS untuk wajib pajak peserta tax amnesty atas aset perolehan 1 Januari 1985-31 Desember 2015 yang belum diungkap. Skema kebijakan II untuk wajib pajak orang pribadi atas aset perolehan 1 Januari 2016-31 Desember 2020 yang belum diungkap dalam SPT Tahunan 2020.

“Dalam hal ini, DJP memberikan kebijaksanaan kepada wajib pajak orang pribadi yang tidak memenuhi ketentuan kebijakan I dan II untuk tetap dapat menyukseskan pelaksanaan PPS dengan mengikuti ketentuan Kebijakan I dalam hal aset yang diungkap merupakan perolehan tahun Sampai dengan 31 Desember 2015,” tulis DJP dalam laman resminya.

Sebagai informasi, hingga 29 Januari 2022, sebanyak 9.240 wajib pajak sudah mengikuti PPS. Adapun total harta bersih yang diungkapkan mencapai Rp8.453,36 miliar. Simak pula ‘Perincian Ketentuan Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak UU HPP’.

Selain mengenai PPS, ada pula bahasan terkait dengan target penerimaan pajak pada tahun ini. Kemudian, ada bahasan tentang kelanjutan pemberian insentif pajak pada 2022.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

DJP: PPS Jadi Keringanan bagi Wajib Pajak

DJP menyatakan kekurangan pengungkapan harta bagi peserta tax amnesty telah diatur dalam PP 36/2017 (Pas Final) dengan pengenaan tarif PPh final 12,5%-30% berdasarkan pada jenis wajib pajak. Kemudian, ada pula risiko sanksi 200% jika DJP yang menemukan kekurangan pengungkapan harta.

“Dengan adanya PPS menjadi suatu keringanan bagi wajib pajak karena tarif yang dikenakan atas harta yang belum diungkap tersebut lebih kecil dibanding Pas Final sekaligus dapat menghindarkan dari sanksi 200% dalam UU TA. Tarif PPS kebijakan I adalah 6%-11%,” tulis DJP dalam laman resminya. (DDTCNews)

Insentif PPnBM dan PPN DTP

Pemerintah memutuskan untuk memperpanjang insentif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) mobil ditanggung pemerintah (DTP) dan pajak pertambahan nilai (PPN) rumah DTP pada 2022.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan insentif pajak masih diperlukan untuk mendorong pemulihan sektor otomotif dan properti. Meski demikian, pemerintah juga mulai mengurangi insentif yang diberikan karena tanda-tanda pemulihan telah terlihat.

"Karena pengusaha pasti menginginkan insentif ya sebanyak-banyaknya. Kalau kami lihat bisa disapih sedikit ya kami sapih," katanya. (DDTCNews)

Penerimaan Pajak

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor mengatakan target penerimaan pajak pada tahun ini disusun dengan menggunakan outlook 2021 (sebelum realisasi akhir tahun).  

Saat itu, pemerintah belum memperhitungkan implementasi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Neilmaldrin optimistis implementasi UU HPP akan menambah penerimaan pajak pada tahun ini. (Bisnis Indonesia)

Pajak Berbasis Gender

Staf Ahli Menkeu Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional Wempi Saputra mengatakan pajak berbasis gender akan menajdi salah satu topik bahasan dalam pertemuan G-20 pada tahun ini. Pada Februari 2022, OECD akan menyampaikan kajian awalnya. Pada Juni 2022, akan ada penyusunan kerangka kerja (framework) ekonomi inklusif, termasuk perpajakan berbasis gender.

"Untuk pertama kalinya tax and gender itu dibahas oleh OECD di bawah agenda perpajakan internasional di Presidensi G20," katanya. (Kontan/Bisnis Indonesia)

Rasio Utang

Kementerian Keuangan berupaya menahan rasio utang atau debt ratio pemerintah tidak meningkat dari posisi per akhir Desember 2021 yang mencapai 41% dari produk domestik bruto (PDB) atau setara dengan Rp6.908,87 triliun.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu mengatakan kebutuhan pembiayaan yang besar selama pandemi Covid-19 membuat rasio utang meningkat. Untuk itu, langkah-langkah konsolidasi fiskal diperlukan agar rasio utang tidak meningkat.

"Dengan konsolidasi fiskal ini, debt ratio kita akan tetap terkendali. Sekarang, kami melihat peluang yang sangat besar untuk kita bisa menjaga debt ratio tidak lagi meningkat," katanya. (DDTCNews/Bisnis Indonesia)

Investasi Harta ke SBN

DJP menyarankan wajib pajak untuk menginvestasikan harta yang diungkapkan dalam PPS pada surat berharga negara (SBN).

DJP menjelaskan harta yang diungkapkan saat PPS dapat diinvestasikan pada sektor hilirisasi SDA, energi terbarukan, atau SBN. Namun, bila wajib pajak ingin mendapatkan kepastian imbal hasil, harta sebaiknya ditempatkan pada SBN.

"Untuk investasi SDA dan energi terbarukan kan bentuknya adalah pendirian usaha baru atau right issue. Tidak ada jaminan khusus untuk yang ini. Jadi, murni bisnis. Apabila ingin yang pasti, peserta PPS bisa ke SBN," sebut DJP dalam laman resminya. (DDTCNews)

*Tulisan ini merupakan artikel milik DDTCNews yang dimuat dalam https://news.ddtc.co.id/ dan rilis tanggal 31 Januari 2022