Relaksasi, Langkah paling Rasional

Pemerintah gencar memberikan relaksasi melalui insentif dan pengurangan tarif. Adakah yang salah dengan itu?

Bencana pandemi virus korona telah berdampak besar terhadap perekonomian secara umum dan juga sektor pajak secara khusus. Darussalam selaku Ketua Asosiasi Tax Center Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia menekankan dua hal terkait kondisi pandemi saat ini. Pertama, untuk mengantisipasi dampak pandemi, ia menilai pemerintah secara tepat dan cepat telah mengubah paradigma fungsi pajak dari yang bersifat budgetair menjadi regulerend. Hal ini terlihat dari berbagai relaksasi pajak yang diberikan kepada masyarakat. Poin penting dari upaya antisipasi itu adalah kesukarelaan dari pemerintah untuk memberikan insentif pajak kepada masyarakat. Kedua, masa pandemi ini menguji jiwa kegotongroyongan semua komponen bangsa untuk membantu warga masyarakat yang paling terdampak secara ekonomi.

“Pajak merupakan wujud kebersamaan kita dalam membangun peradaban Indonesia. Dengan demikian, relaksasi yang telah diberikan oleh pemerintah harusnya meningkatkan kesadaran kita untuk berpartisipasi dalam merawat sektor pajak baik saat ini maupun masa mendatang,” jelas Darussalam melalui surat elektronik ke Majalah Pajak, Rabu (23/6).

Kematangan teknologi

Darussalam merefleksi kebijakan sektor perpajakan selama setahun terakhir. Menurutnya, terdapat berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam meningkatkan kesadaran pajak masyarakat. Hal ini tampak pada berbagai program pendekatan, sosialisasi, dan edukasi yang semakin menjangkau berbagai kalangan masyarakat. Ia memberi contoh dari adanya berbagai video tutorial serta informasi real time melalui media sosial. DJP juga menggandeng para selebritas dan tokoh masyarakat untuk menggencarkan perilaku patuh pajak kepada masyarakat luas. Ia mendukung cara-cara kreatif seperti ini untuk diteruskan.

Secara khusus ia memberikan apresiasi bagi DJP yang telah mengadopsi teknologi informasi dalam proses administrasi pajak, mulai dari penyebaran informasi, pendaftaran, pelaporan hingga pembayaran.

“Kematangan sistem teknologi informasi ini telah memungkinkan tetap berjalannya upaya menjalankan kewajiban pajak dari masyarakat di tengah pembatasan sosial akibat pandemi terutama pada masa pelaporan SPT. Artinya, semua masih berjalan dan tidak mandek,” ujarnya.

Edukasi sadar pajak

Darussalam memaparkan visi dan misi ATPETSI yang berkomitmen untuk secara aktif membentuk dan mengedukasi masyarakat sadar pajak. Selama ini organisasinya menjalankan berbagai kegiatan yang berorientasi pada kolaborasi baik antara satu tax center dan tax center lain di lingkungan perguruan tinggi, tax center perguruan tinggi dan pemerintah, maupun masyarakat umum.

Kegiatan seminar dan lokakarya di berbagai kampus juga terus diadakan secara berkesinambungan untuk melakukan edukasi dan memperbarui isu-isu perpajakan kepada Wajib Pajak (WP). Melalui kegiatan itu, pihaknya terus memberikan sumbangan pemikiran untuk menghadirkan sistem pajak yang lebih baik. ATPETSI juga mengadakan serangkaian forum diskusi mengenai kurikulum dan format pembelajaran yang ideal bagi civitas academica berbagai universitas. Pihaknya terus menjalin interaksi dan hubungan yang erat dengan pemerintah dalam berbagai kesempatan secara rutin dan terprogram.

“Selama setahun terakhir kami mengadakan lokakarya dan rapat kerja ATPETSI di Menara DDTC pada Agustus 2019, pelantikan pengurus DPW ATPETSI Jawa Tengah I di Universitas Diponegoro pada Maret 2020, dan pelantikan pengurus DPW ATPETSI Lampung pada Februari 2020,” paparnya.

Memperkuat kolaborasi

Darussalam melihat kolaborasi antara ATPETSI dan DJP telah berjalan dengan baik. Menurutnya, hubungan yang harmonis dan saling mendukung tersebut dimungkinkan karena kedua institusi ini memiliki komitmen yang sama bagi terbentuknya masyarakat melek pajak atau tax society. Oleh karena mindset dari kedua institusi ini memiliki kesamaan, imbuhnya, kerja sama untuk melakukan aksi nyata menjadi sangat mudah untuk dilakukan. Ia memberi contoh berbagai program tax center perguruan tinggi yang mendapat dukungan penuh kantor wilayah DJP di daerah lokasi perguruan tinggi tersebut. Demikian pula sebaliknya. Ia berharap hubungan kolaboratif tersebut tetap berlanjut dan semakin meningkat.

Ada baiknya paradigma relaksasi pajak di fase pascakrisis diubah dari insentif dan pengurangan tarif menjadi penciptaan kepastian sistem pajak.

“DJP tidak boleh dibiarkan berjuang sendirian dalam mengelola sektor pajak maupun membentuk masyarakat melek pajak. ATPETSI tidak akan hanya berkontribusi dalam sosialisasi ke masyarakat, tapi juga melakukan kegiatan penelitian serta memberikan pemikiran alternatif yang konstruktif,” urainya.

Kebijakan di masa pandemi

Darussalam mengingatkan seruan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) yang mengistilahkan krisis saat ini sebagai “The Great Lockdown”. IMF memperkirakan pandemi ini akan membuat resesi global yang jauh lebih parah dibandingkan krisis keuangan global 2008.

“Di tengah kondisi ekonomi yang kontraksi seperti saat ini kita perlu memahami bahwa langkah yang paling rasional adalah memberikan relaksasi,” jelasnya.

Ia tak menampik bahwa relaksasi dan berbagai stimulus tentu memiliki konsekuensi bagi kestabilan fiskal. Darussalam menyatakan, adanya relaksasi pajak berpotensi memperbesar tax expenditure. Artinya, selain diakibatkan oleh melambatnya ekonomi, tingginya tax expenditure membuat penerimaan pajak 2020 terancam turun drastis. Di sisi lain, penambahan dan relokasi belanja pemerintah akan meningkatkan risiko pelebaran defisit anggaran. “Risikonya, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) kita berpotensi meningkat,” ujarnya.

Namun demikian, ia menilai kondisi ini harus dilihat dari perspektif yang lebih luas. Menurutnya, berbagai relaksasi tersebut pada dasarnya merupakan upaya untuk menjaga basis pajak agar tidak hilang secara permanen, misalnya ketika terjadi penutupan kegiatan usaha atau pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Masih lebih baik jika basis pajak terganggu hanya secara permanen daripada hilang sama sekali. Agenda pemberian insentif pajak saat ini sesungguhnya selaras dengan salah satu pilar dalam Rencana Strategis (Renstra) DJP 2020–2024. Jadi, saya yakin DJP juga telah memiliki rencana antisipasi atas kondisi ini,” ungkapnya.

Darussalam memberikan tiga catatan khusus terhadap kebijakan insentif pajak yang diberikan pemerintah di masa pandemi.

Pertamainsentif ditawarkan kepada WP di berbagai sektor. Mayoritas permohonan juga telah disetujui oleh DJP. Dengan demikian, atas persoalan penyerapan yang belum maksimal justru ditengarai bukan karena adanya persyaratan yang rumit atau karena dipersulit melainkan karena belum banyak WP yang tersosialisasikan dengan baik. Kegiatan sosialisasi tersebut juga akan menjadi salah satu fokus ATPETSI.

Keduaadministrasi pemberian insentif berjalan dengan baik. Proses pengajuan, pelaporan, dan monitoring yang dilakukan secara daring juga akan memudahkan manajemen data, termasuk untuk menghitung besaran insentif yang telah diberikan. Mekanisme daring juga mengurangi tatap muka di masa pandemi serta mengurangi adanya pemberian insentif berbasis diskresi. Selain itu, upaya untuk menjamin bahwa insentif pajak diberikan kepada pihak yang tepat dan tidak disalahgunakan juga telah diantisipasi.

Ketiga, pemerintah tetap memerhatikan dinamika situasi ekonomi di tengah pandemi dan bagaimana insentif pajak bisa diberikan. Dengan demikian, ada kemungkinan insentif yang saat ini diberikan belum bersifat final atau masih bisa diubah atau ditambah. Ia memberi contoh Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020 tentang fasilitas pajak penghasilan (PPh) dalam penanganan Covid-19 yang berlaku mulai 10 Juni 2020.

“Walau demikian, dengan mempertimbangkan anggaran pemerintah, ada baiknya paradigma relaksasi pajak di fase pascakrisis diubah dari relaksasi berupa insentif dan pengurangan tarif menjadi upaya menciptakan kepastian dalam sistem pajak,” jelasnya.

Ekor ekonomi

Terkait perkiraan lamanya krisis dan waktu pemulihan akibat dampak pandemi, Darussalam menyatakan hal ini sebagai pertanyaan yang sulit dijawab. Saat ini pemerintah terus memantau dan mengantisipasi perkembangan yang terjadi.

“Kita belum tahu seberapa lama dan seberapa dampak pandemi ini kepada ekonomi karena sifatnya dinamis. Meskipun obat untuk Covid-19 telah ditemukan, kecepatan pemulihan ekonomi juga akan sangat bergantung dari dampak yang diakibatkan,” ujarnya.

Ia memberikan ilustrasi, pemulihan akan relatif lebih cepat jika krisis ini tidak berdampak kepada perubahan struktur ekonomi atau meningkatnya komposisi sektor informal.

“Ada hal menarik yang saya pelajari dari beberapa krisis ekonomi sebelumnya. Pada umumnya pemulihan ekonomi biasanya lebih cepat dari pemulihan penerimaan pajak. Artinya, sepertinya kita harus bersabar dan kembali memaknai pajak sebagai ekor dari ekonomi,” terang Darussalam.

*Tulisan ini pernah dimuat di https://majalahpajak.net dan rilis tanggal 24 Juli 2020