Sanksi Denda Keberatan dan Banding Disepakati Turun dalam RUU HPP
BERITA PAJAK HARI INI

JAKARTA, Pemerintah dan Komisi XI DPR bersepakat untuk menurunkan sanksi denda jika keberatan serta permohonan banding wajib pajak ditolak atau dikabulkan sebagian. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Kamis (7/10/2021).

Kesepakatan tersebut dimasukkan dalam RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang rencananya akan dibawa ke rapat paripurna DPR pada hari ini. Ditjen Pajak (DJP) mengatakan penurunan sanksi denda telah dibahas bersama pemangku kepentingan terkait.

Ditjen Pajak (DJP) menyatakan penurunan sanksi denda keberatan dan banding yang disepakati pemerintah dan DPR dalam RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) telah dibahas bersama para pemangku kepentingan terkait, mulai dari asosiasi pengusaha, LSM, pakar, hingga akademisi.

"Secara keseluruhan, penurunan sanksi diharapkan akan meningkatkan keadilan, kesetaraan, dan kepastian hukum bagi wajib pajak," ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor.

Rencananya, jika keberatan wajib pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, wajib pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30% dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Sanksi denda turun dari ketentuan sekarang sebesar 50%.

Sementara itu, jika permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, wajib pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% dari jumlah pajak berdasarkan putusan banding dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Sanksi ini turun dari ketentuan sekarang sebesar 100%.

Neilmaldrin menambahkan seluruh kebijakan perpajakan yang tertuang pada RUU HPP tersebut telah mempertimbangkan semua peluang dan risiko yang mungkin akan terjadi di tengah masyarakat ke depannya.

Selain mengenai penurunan sanksi denda dan rencana pengesahan RUU HPP, ada pula bahasan terkait dengan bea meterai. Kementerian Keuangan tengah mempertimbangkan pemberian fasilitas pembebasan bea meterai atas dokumen trade confirmation atau bukti transaksi surat berharga negara (SBN).

Berikut ulasan berita selengkapnya.

Menampung Aspirasi Banyak Pihak

Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mengatakan secara konsep, ada keinginan untuk menguatkan penerimaan pokok pajak, bukan berasal dari denda. Hal inilah yang menjadi salah satu pertimbangan penurunan sanksi terkait dengan keberatan dan banding.  

Melalui penurunan sanksi denda tersebut, sambungnya, pemerintah dan DPR berkeinginan untuk memberikan ruang keadilan dan ruang kebersamaan guna meningkatkan kepatuhan wajib pajak terhadap peraturan perpajakan.

"Ini menampung aspirasi banyak pihak dari dunia usaha dalam rangka menjaga kelangsungan dunia usaha ketika mendapatkan surat ketetapan pajak (SKP) dan kemudian melakukan proses keberatan atau banding," ujar Misbakhun. (DDTCNews)

Ruang Bagi Para Pengusaha

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah memang mengajukan revisi sejumlah peraturan perpajakan untuk mempercepat pemulihan perekonomian nasional. Selain itu, revisi juga diharapkan membuat regulasi lebih sesuai dengan kebutuhan dunia usaha.

"Diharapkan perubahan dari KUP ini berikan banyak ruang kepada para pengusaha," katanya. (DDTCNews/Kontan)

Trade Confirmation Transaksi SBN

Direktur Surat Utang Negara Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Deni Ridwan mengatakan DJP saat ini tengah merancang peraturan pemerintah (RPP) mengenai pemberian fasilitas pembebasan bea meterai.

"Terkait trade confirmation atas transaksi SBN memang menjadi salah satu yang dipertimbangkan untuk mendapatkan fasilitas bea meterai," katanya. (DDTCNews)

RUU HKPD Masih dalam Pembahasan

Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati mengatakan hingga saat ini, masih terdapat beberapa klausul dalam RUU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) yang masih dalam tahap pembahasan.

“Intinya kita ingin dengan adanya RUU HKPD ini desentralisasi fiskal benar-benar dapat mengatasi ketimpangan antara pusat dan daerah," ujar Anis. (DDTCNews)

PPN Multitarif

Anggota Komisi XI DPR Puteri Komarudin mengatakan pemerintah dan DPR menyepakati untuk tidak memasukkan ketentuan PPN multitarif ke dalam RUU HPP. Skema PPN multitarif tersebut berpotensi menimbulkan kompleksitas baru.

"PPN multitarif ini justru menimbulkan kompleksitas dalam administrasi dan peningkatan biaya pemeriksaan," katanya. (DDTCNews)

Pajak Karbon

Skema pengenaan pajak karbon di Indonesia bakal berbeda dengan implementasi di negara lain. Di Indonesia, penerapan pajak karbon merupakan kombinasi dari skema pemajakan dan perdagangan karbon.

Plt. Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara BKF Pande Putu Oka Kusumawardani kombinasi 2 aspek tersebut merupakan jalan tengah yang diyakini dapat lebih ampuh menekan emisi gas rumah kaca.

"Di negara lain tidak ada link [antara pajak karbon dan perdagangan karbon]. Indonesia akan kaitkan antara pajak karbon dengan pasar karbon," katanya. Simak ‘Skema Pajak Karbon RI Bakal Beda dengan Negara Lain, Ini Alasannya’. (DDTCNews)

Skema AMT Batal Diterapkan

Anggota Komisi XI DPR Andreas Eddy Susetyo mengatakan usulan pengenaan pajak penghasilan (PPh) minimum dalam skema alternative minimum tax (AMT) dihapus. Skema kebijakan ini dinilai berpotensi menimbulkan abuse of power.

"Dihapus karena ada potensi abuse of power dan excessive tax collection yang akan mengganggu iklim investasi," katanya. (DDTCNews/Kontan)