JAKARTA, Isu terkait kewajiban perpajakan bagi pelaku UMKM kembali menjadi yang paling banyak diperbincangkan sepanjang pekan ini. Wajar saja, tepat sepekan lagi yakni mulai 2022 seluruh wajib pajak (WP) badan yang memanfaatkan PPh final UMKM sejak 2018 sudah harus menggunakan ketentuan umum alias normal.
Wajib pajak perlu ingat bahwa mengacu pada PP 23/2018, penggunaan skema PPh final dibatasi hanya sampai 3 tahun pajak bagi WP perseroan terbatas (PT). Sementara batas waktu 4 tahun diberikan untuk WP badan berbentuk koperasi, CV, atau firma.
"Jadi betul-betul PP 23/2018 merupakan tempat transisi, tempat mempersiapkan wajib pajak [UMKM] untuk mengikuti ketentuan perpajakan secara normal, khususnya pajak penghasilan," ujar Dirjen Pajak Suryo Utomo mengingatkan beberapa waktu lalu.
Dengan ketentuan dalam PP 23/2018, PT yang sudah menggunakan PPh final UMKM sejak 2018 atau sebelumnya wajib akan dikenai rezim pajak normal mulai tahun pajak 2021.
Sementara untuk koperasi, CV, atau firma berlaku mulai tahun depan. Adapun batas waktu untuk wajib pajak orang pribadi adalah 7 tahun.
Sesuai dengan Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), tarif PPh badan batal turun menjadi 20% mulai tahun depan. Tarif PPh badan akan tetap sebesar 22% pada tahun depan dan setelahnya.
Kendati menggunakan rezim pajak umum, wajib pajak UMKM tetap bisa memanfaatkan fasilitas penurunan tarif PPh badan sebesar 50% yang diatur dalam Pasal 31E UU Pajak Penghasilan (PPh).
Dalam Pasal 31E UU PPh disebutkan wajib pajak dalam negeri beromzet sampai dengan Rp50 miliar mendapat fasilitas pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif umum (Pasal 17) yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4,8 miliar.
Tak cuma itu, skema pajak UMKM yang ikut berubah adalah adanya batas peredaran bruto tak kena pajak hingga Rp500 juta. Hanya UMKM dengan omzet di atas Rp500 juta saja yang dikenai PPh final 0,5% sesuai ketentuan PP 23/2018.
Berita lengkapnya, baca Wajib Pajak Diingatkan Lagi, Skema Pajak UMKM Berubah Mulai 2022.
Isu lain yang juga hangat diperbincangkan warganet adalah segera dimulainya program pengungkapan sukarela (PPS) per 1 Januari 2021. Kendati aturan turunan atau aturan teknis terkait PPS belum dirilis pemerintah, Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah mewanti-wanti wajib pajak untuk mulai berkonsultasi dengan fiskus.
WP, ujar Sri, bisa berkonsultasi mengenai berbagai kewajiban perpajakan yang selama ini belum dipenuhi.
"Apakah sekarang sudah mulai bisa berhubungan dengan KPP? Bisa untuk mulai konsultasi. Nanti mulai melakukannya [mengikuti PPS] mulai Januari [2022]," ujarnya.
Selain konsultasi, wajib pajak juga dapat mengikuti berbagai sosialisasi yang diadakan. Sri Mulyani mengatakan sosialisasi yang digelar unit vertikal DJP akan langsung berkaitan dengan teknis keikutsertaan setelah aturan turunan UU HPP terbit.
Dirjen Pajak Suryo Utomo juga mengatakan beberapa aturan pelaksanaan UU HPP sedang dalam proses penyusunan dan penyelesaian. Penyelesaian regulasi akan disesuaikan dengan periode mulai berlakunya masing-masing kebijakan.
"Seluruh aturan pelaksanaan sekarang sedang dalam proses penyusunan, termasuk persiapan implementasi program pengungkapan sukarela. Insyaallah kalau sudah diundangkan, segera akan kami sampaikan kepada masyarakat secara umum," ujar Suryo.
Artikel lengkapnya, baca Wajib Pajak Sudah Bisa Berkonsultasi, Aplikasi PPS Selesai Pekan Depan.
Masih ada sejumlah berita DDTCNews yang terbit selama sepekan terakhir yang menarik untuk dibaca. Berikut adalah 5 artikel menarik DDTCNews yang sayang kalau dilewatkan:
1. DJP Sudah Uji Coba Sistem Elektronik untuk PPS, Ini Kata Dirjen Pajak
DJP sudah melakukan uji coba infrastruktur teknologi informasi yang akan digunakan untuk PPS.
Suryo Utomo mengatakan walaupun masih menunggu peraturan menteri keuangan (PMK) – aturan turunan UU HPP – terbit, pelaksanaan PPS akan dilakukan sepenuhnya secara elektronik.
"Untuk mendukung kelancaran program ini, DJP terus mematangkan kesiapan infrastruktur IT-nya. Uji coba infrastruktur untuk program ini telah dilakukan beberapa kali," ungkap Suryo dalam wawancara khusus bersama DDTCNews.
Hasil pengujian yang dilakukan beberapa kali tersebut, sambungnya, terus dievaluasi. Suryo mengatakan hasil uji coba dan evaluasi digunakan untuk pengembangan sistem teknologi informasi yang diperlukan agar PPS berjalan baik.
Dengan adanya sistem tersebut, nantinya, wajib pajak menyampaikan pengungkapan harta secara online. Atas pengungkapan harta bersih tersebut, diterbitkan surat keterangan secara elektronik atau otomatis.
2. Ketentuan NIK sebagai NPWP, Begini Progresnya Menurut Dirjen Pajak
Suryo Utomo menyebut integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada KTP sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) akan mempermudah masyarakat dalam mengurus kewajiban pajaknya.
Suryo mengatakan saat ini DJP tengah mempersiapkan sistem untuk integrasi NIK menjadi NPWP tersebut. Menurutnya, penyesuaian sistem tersebut pada akhirnya juga termasuk dalam implementasi sistem administrasi perpajakan baru, yaitu core tax system pada 2023.
"Progresnya, kami sedang menyiapkan sistem administrasinya, karena mesti ada interfacing NPWP yang saat ini ada menjadi basis administrasi kami dengan NIK yang akan digunakan," katanya.
Suryo mengatakan integrasi NIK sebagai NPWP menjadi bagian dari administrasi yang dikelola oleh DJP. Pemerintah ingin penggunaan NIK sebagai NPWP dapat menjadi alat untuk memudahkan wajib pajak dalam melakukan atau mendapatkan pelayanan dari DJP.
Melalui integrasi tersebut, lanjutnya, wajib pajak juga tidak perlu memiliki dan menghafal 2 nomor sekaligus, tetapi cukup menggunakan NIK sebagai nomor identitas ketika bertransaksi dengan DJP.
3. Sebentar Lagi, Aturan Omzet Rp500 Juta WP OP UMKM Bebas Pajak Berlaku
Batasan peredaran bruto tidak kena pajak senilai Rp500 juta akan mulai diberlakukan pada 2022. Artinya, kurang dari sebulan lagi ketentuan ini mulai berlaku.
Sesuai dengan perubahan UU PPh dalam UU HPP, wajib pajak orang pribadi dengan peredaran bruto tertentu – yang diatur dalam PP 23/2018 – tidak dikenai pajak penghasilan (PPh) atas bagian omzet sampai dengan Rp500 juta dalam 1 tahun pajak.
"Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 [perubahan atas UU PPh] mulai berlaku pada tahun pajak 2022," bunyi Pasal 17 ayat (1) UU HPP.
Dengan ketentuan ini, bila omzet wajib pajak sudah melampaui Rp500 juta, hanya setiap omzet di atas Rp500 juta yang dikenai PPh final dengan tarif 0,5%.
Besarnya batasan peredaran bruto tidak dikenai PPh bisa disesuaikan dengan peraturan menteri keuangan (PMK) setelah dikonsultasikan dengan DPR. Penyesuaian mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta harga kebutuhan pokok setiap tahunnya.
Seluruh wajib pajak orang pribadi yang memanfaatkan PPh final UMKM sejak 2018 atau sebelumnya masih dapat memanfaatkan ketentuan batasan peredaran bruto tidak kena pajak. Hal ini dikarenakan sesuai dengan PP 23/2018, penggunaan PPh final untuk wajib pajak orang pribadi adalah 7 tahun.
4. Kendaraan Bekas Tak Lagi Jadi Objek BBNKB, Begini Alasannya
Penyerahan kendaraan bermotor kedua dihapuskan dari objek bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) melalui UU Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
Direktur Dana Transfer Khusus Ditjen Perimbangan Keuangan Putut Hari Satyaka mengatakan penghapusan BBNKB atas penyerahan kendaraan bekas dimaksudkan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam melakukan balik nama atas kendaraan yang diperoleh.
"Rendahnya kepatuhan balik nama kendaraan bekas berimplikasi pada rendahnya tingkat pembayaran pajak kendaraan bermotor (PKB) untuk kendaraan tangan kedua dan seterusnya mengingat basis pembayaran PKB adalah data kepemilikan," katanya.
Selama ini, banyak pemilik kendaraan yang memilih 'meminjam KTP' untuk menghindari kewajiban pembayaran BBNKB. Bila tidak bisa menggunakan nama orang lain, banyak pemilik kendaraan yang tidak melakukan balik nama dan tidak membayar PKB sama sekali.
Dengan tidak mengenakan BBNKB atas penyerahan kendaraan bekas, pemerintah berharap keputusan ini dapat memperbaiki pendataan kepemilikan kendaraan bekas di Indonesia.
5. Dapat NPWP Meski Tak Ajukan Pendaftaran, Ini Kata Ditjen Pajak
DJP menyatakan NPWP tetap bisa diterbitkan, meski masyarakat tidak mengajukan permohonan pendaftaran NPWP terlebih dahulu.
DJP melalui akun Twitter @kring_pajak menjawab salah satu pertanyaan yang diajukan warganet terkait dengan pengiriman NPWP ke alamat rumah, padahal tidak pernah mendaftar ke kantor pajak untuk mendapatkan NPWP.
"Pendaftaran NPWP dapat dilakukan melalui permohonan WP sendiri atau secara jabatan oleh KPP (tanpa permohonan). KPP berhak mendaftarkan WP secara jabatan jika ada data atau informasi tertentu," sebut DJP melalui media sosial.
Ketentuan mengenai penerbitan NPWP secara jabatan diatur melalui UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Berdasarkan UU KUP, DJP dapat menerbitkan NPWP secara jabatan apabila wajib pajak tidak melaksanakan kewajibannya.