JAKARTA, Wajib pajak diimbau tidak menunggu hari terakhir untuk mengikuti program pengungkapan sukarela (PPS). Imbauan tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Rabu (15/12/2021).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan implementasi PPS selama 6 bulan tidak memiliki perbedaan tarif seperti tax amnesty pada 2016/2017. Kendati demikian, wajib pajak diimbau untuk tidak menunggu hingga akhir periode untuk memanfaatkan kebijakan ini.
“Dengan 6 bulan rate-nya sama, saya tetap mengimbau pada wajib pajak yang akan ikut jangan nunggu sampai 30 Juni pada hari terakhir. Nanti sistemnya jammed," ujar Sri Mulyani.
Sri Mulyani juga meminta wajib pajak untuk bersiap mulai dari sekarang. Menurutnya, PPS menjadi kesempatan baik bagi wajib pajak. Keikutsertaan dalam program PPS dapat menghindarkan wajib pajak dari sanksi atas harta yang belum dilaporkan.
Selain mengenai PPS, ada pula bahasan terkait dengan pengawasan dan pemeriksaan terhadap wajib pajak. Kemudian, ada pula bahasan tentang skema tarif cukai dan harga jual eceran (HJE) rokok elektrik serta hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) mulai 2022.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Konsultasi Individual kepada Wajib Pajak
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan menerima setiap masukan yang datang dalam upaya menyukseskan kebijakan PPS. Salah satunya adalah mengadopsi skema konsultasi yang lebih personal kepada masing-masing wajib pajak peserta PPS.
DJP, sambungnya, perlu mempersiapkan skema konsultasi yang bersifat individual kepada WP peserta PPS. Menurutnya, hal tersebut diperlukan karena masing-masing wajib pajak mempunyai situasi yang berbeda-beda dalam pengungkapan harta bersih.
"Jadi perlu adanya penjelasan yang sifatnya individualistik, masing-masing [gunakan skema] teller mate. Karena masing-masing wajib pajak punya situasi yang berbeda beda, ini yang kami minta teman-teman Ditjen Pajak lakukan konsultasi yang lebih intens," ujarnya. (DDTCNews)
Aturan Turunan Soal PPS
Hingga saat ini, pemerintah masih menyusun aturan turunan UU HPP. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan penyusunan aturan turunan UU HPP akan diproritaskan untuk kebijakan yang berlaku mulai 1 Januari 2021. Dengan demikian, kebijakan bisa langsung diimplementasikan.
“Terutama yang tadi, untuk program pengungkapan sukarela. Aturan turunan sedang kami terus proses. Ada yang sedang diharmonisasi dan akan finalisasi,” ujarnya. (DDTCNews)
Kesempatan Terakhir bagi Wajib Pajak
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebut PPS akan menjadi kesempatan terakhir bagi wajib pajak untuk patuh. Wakil Ketua Umum Apindo Suryadi Sasmita mengatakan PPS menjadi program terakhir pemerintah. Kesempatan ini perlu dimanfaatkan dengan optimal oleh wajib pajak.
Terlebih, sambungnya, pemerintah akan mengintegrasikan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Menurutnya, NIK sebagai NPWP menjadi alat utama uji kepatuhan pada masa depan.
"Dengan PPS ini, kalau sudah ada NIK menjadi NPWP, merupakan kesempatan terakhir. Jadi diungkapkan saja," katanya. (DDTCNews)
Integrasi NIK dan NPWP
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan penggunaan NIK sebagai NPWP bertujuan memudahkan proses administrasi perpajakan. Integrasi tersebut akan memudahkan DJP sekaligus wajib pajak. Menurutnya, integrasi tersebut juga tidak berarti semua pemilik kartu tanda penduduk (KTP) harus membayar pajak.
"NIK memang akan identik dengan NPWP, tetapi kewajiban pajak tergantung dengan kemampuan," katanya. (DDTCNews)
Pemeriksaan Pajak
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan perhatian terhadap masukan pelaku usaha agar pemeriksaan pajak dilakukan secara elektronik dalam rangka pencegahan korupsi. Menurutnya, hal tersebut merupakan bagian dari agenda reformasi perpajakan.
Sri Mulyani menilai interaksi langsung yang intens antara wajib pajak dan fiskus pada pemeriksaan menjadi faktor terjadinya penyelewengan kewenangan dan korupsi. Menurutnya, pembenahan sudah dilakukan DJP dan dilakukan secara bertahap.
Dia menerangkan upaya perbaikan proses bisnis pemeriksaan berjalan beriringan dengan pembaruan sistem inti administrasi perpajakan atau core tax. Melalui pembaruan core tax, seluruh proses bisnis yang selama ini berjalan terpisah akan diintegrasikan dalam sistem core tax. (DDTCNews)
Rokok Elektrik dan HPTL
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan mengubah skema tarif cukai serta HJE rokok elektrik dan HPTL mulai 1 Januari 2021. Pemerintah mengubah cukai rokok elektrik dan HPTL menjadi lebih spesifik karena kini telah termuat dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Sri Mulyani mengatakan UU HPP telah memerinci hasil tembakau yang akan dikenakan cukai, yakni meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, rokok elektrik, dan HPTL, baik yang menggunakan atau tidak menggunakan bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya.
Oleh karena itu itu, pengelompokan produk tembakau diubah dari semula hanya HPTL menjadi rokok elektrik dan HPTL. Rokok elektrik terdiri atas jenis padat, cair sistem terbuka, dan cair sistem tertutup. Sementara HPTL terdiri atas tembakau kunyah, tembakau molases, dan tembakau hirup. (DDTCNews/Kontan)
Kinerja Penerimaan Pajak
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor mengatakan hingga 13 Desember 2021 sudah ada sebanyak 64 kantor pelayanan pajak (KPP) yang mencatatkan kinerja penerimaan sesuai dengan target.
Neilmaldrin Noor mengatakan kantor pusat akan memberikan apresiasi kepada unit vertikal yang berhasil mencapai target penerimaan. Apresiasi tersebut akan disampaikan langsung oleh Dirjen Pajak Suryo Utomo. (DDTCNews)
Dukungan pada UMKM dan Sektor Usaha
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan pemerintah akan terus memberikan berbagai dukungan kepada UMKM dan sektor usaha yang masih tertekan akibat pandemi Covid-19.
"Pemerintah akan terus menggunakan instrumen APBN, baik itu instrumen pajak seperti insentif perpajakan atau pajak yang ditanggung pemerintah, maupun dari sisi instrumen belanja," katanya. (DDTCNews)