Soal Pencantuman NIK Pembeli dalam Faktur Pajak, Ini Kata DJP
BERITA PAJAK HARI INI

JAKARTA, Ketentuan pencantuman nomor induk kependudukan (NIK) pembeli dalam faktur pajak akan memperluas basis pajak. Ketentuan dalam perubahan UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada UU Cipta Kerja tersebut menjadi bahasan media nasional pada hari ini, Selasa (13/10/2020).

Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan dalam ketentuan saat ini, identitas pembeli dalam faktur pajak berupa nama, alamat, dan NPWP. Ketentuan itu diubah melalui UU Cipta Kerja dengan penambahan NIK bagi pembeli yang tidak memiliki NPWP.

“Mengingat tidak semua penduduk Indonesia memiliki NPWP, penerbitan faktur pajak pun kami lakukan semacam relaksasi. Cukup sertakan NIK, kemudian faktur pajak dapat diterbitkan. Jadi, secara sederhana, memudahkan [administrasi],” ujarnya.

Dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b UU PPN pada klaster perpajakan UU Cipta Kerja disebutkan indentitas pembeli barang kena pajak (BKP) atau penerima jasa kena pajak (JKP) meliputi, pertama, nama, alamat, dan NPWP atau NIK atau nomor paspor bagi subjek pajak luar negeri orang pribadi.

Kedua, nama dan alamat, dalam hal pembeli BKP atau penerima JKP merupakan subjek pajak luar negeri badan atau bukan merupakan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU Pajak Penghasilan (PPh).

Ketentuan pencantuman NIK pembeli yang tidak memiliki NPWP dalam faktur pajak ini juga menjadi bagian dari tujuan untuk menciptakan keadilan iklim berusaha di dalam negeri. Baca juga artikel ‘Simak, Ternyata Klaster Perpajakan UU Cipta Kerja Sasar 4 Tujuan Ini’.

Selain mengenai ketentuan pencantuman NIK pembeli dalam faktur pajak, ada pula bahasan terkait dengan rencana evaluasi fasilitas pajak untuk UMKM serta perkembangan pencapaian konsensus global pemajakan ekonomi digital.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

  • Perluasan Basis Pajak

Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan dengan pencantuman NIK dalam faktur pajak, otoritas bisa melihat orang yang melakukan pembelian BKP/JKP. Semakin banyak orang melakukan pembelian, sambungnya, dapat dilihat orang tersebut melakukan transaksi atau aktivitas berusaha.

“Inilah yang kira-kira ke depan kami lihat, bagaimana kami memperluas basis pemajakan ini menjadi lebih clear. Siapa yang mendapatkan penghasilan di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) wajib hukumnya untuk berkontribusi kepada negara melalui pembayaran pajak,” ujarnya. (DDTCNews)

  • Evaluasi Fasilitas Pajak UMKM

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu memaparkan kontribusi sektor UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 54%. Namun, kontribusinya terhadap penerimaan pajak rendah karena penggunaan ada perlakuan khusus, baik PPN maupun PPh.

“Ini ke depan akan kami pelajari lagi apakah ini sistem yang sehat? Ini harus dilakukan reformasi bersama-sama,” ujar Febrio.

Pada 2019, berdasarkan data BKF, total belanja perpajakan yang diguyurkan kepada UMKM mencapai Rp64,6 triliun. Lebih terperinci, belanja perpajakan akibat tidak adanya kewajiban pemungutan PPN bagi usaha dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar setahun mencapai Rp42 triliun.

Adapun fasilitas PPh yang diberikan kepada pelaku UMKM tercatat mencapai Rp22,6 triliun. Fasilitas ini melalui skema PPh final UMKM senilai Rp20 triliun dan pengurangan 50% tarif PPh badan senilai Rp2,6 triliun. (DDTCNews/Bisnis Indonesia)

  • Konsensus Global Gagal Dicapai Tahun Ini

Upaya untuk mencapai konsensus global terkait dengan pemajakan ekonomi digital pada tahun ini gagal. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menargetkan penyelesaian perundingan pada pertengahan 2021.

Perundingan molor karena adanya pandemi Covid-19 serta masih besarnya perbedaan sikap politik, tidak terkecuali perselisihan antara Uni Eropa dengan Amerika Serikat. Meskipun demikian, cetak biru pilar 1 dan pilar 2 akan dipresentasikan pada pertemuan G20 pekan ini.

“Kita dapat menyebutnya setengah gelas kosong atau setengah gelas isi, bergantung pada cara Anda melihatnya,” kata Direktur Pusat Kebijakan Pajak OECD Pascal Saint-Amans. (DDTCNews/Bisnis Indonesia)

  • Realisasi Insentif Pajak

Pemerintah mencatat realisasi insentif pajak yang dimanfaatkan dunia usaha hingga 7 Oktober 2020 baru mencapai Rp28,32 triliun atau 23% dari anggaran yang dialokasikan senilai Rp121,6 triliun.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan dirinya masih meyakini realisasi tersebut akan terus meningkat dalam waktu dekat ini. Dia juga optimistis target realisasi insentif pajak akan tercapai pada akhir tahun. (DDTCNews)

  • Intervensi Soal PDRD

Pemerintah dan DPR menghapus substansi terkait kebijakan fiskal nasional dalam draf UU Cipta Kerja. Kepala BKF Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah masih mengkaji dampak dari implementasi tarif nasional pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) dan insentif fiskal daerah.

“Terus terang saya belum bisa pastikan. Ini harus diletakkan dalam konteks hubungan antara pusat dan daerah. Ini yang harus dipikirkan pelan-pelan. Mungkin nanti itu bisa diatur dalam undang-undang yang lain,” ujarnya. (Kontan/Bisnis Indonesia)

  • Konsinyasi Bukan Penyerahan BKP

Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan salah satu perubahan ketentuan UU PPN dalam klaster perpajakan UU Cipta Kerja adalah konsinyasi tidak lagi dianggap sebagai penyerahan BKP. Selama ini, UU PPN menganggap konsinyasi merupakan penyerahan BKP meskipun belum diketahui waktu akan terjualnya barang yang dititipkan itu.

Dengan adanya perubahan ketentuan melalui UU Cipta Kerja, penyerahan BKP terjadi ketika pihak yang mendapatan penitipan barang itu berhasil menjualnya. Simak artikel ‘Penjelasan Dirjen Pajak Soal Konsinyasi Dianggap Bukan Penyerahan BKP’.

“Jadi, memudahkan wajib pajak dalam melakukan aktivitasnya. Supaya wajib pajak tidak terbebani di awal. Kalau dilihat, UMKM pun banyak melakukan aktivitas konsinyasi atau menitipjualkan barang produksinya kepada penjual,” jelas Suryo. (DDTCNews)

  • Pemajakan Ekonomi Digital

Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mencatat ada beberapa aspek yang dapat meningkatkan potensi pajak digital. Salah satunya terkait dengan optimalisasi PPN dan PPh perusahaan digital lintas yurisdiksi.

OECD telah memiliki cetak biru atas dua pilar tapi membutuhkan konsensus bersama yang memiliki tantangan secara politis. Menurut Bawono, cetak biru OECD terutama pilar dua juga akan memberikan dampak penerimaan bagi negara berkembang dengan pasar besar seperti Indonesia.

Bawono juga menilai pengenaan pajak transaksi elektronik (PTE) juga perlu dipertimbangkan oleh pemerintah. Selain itu, selama informasi mengenai pihak serta nilai transaksi yang dilakukan dalam ekosistem digital Indonesia belum diketahui secara detail, kepatuhan pajaknya akan sulit dioptimalkan. (Kontan)

  • Hanya Berlaku 4 Tahun

Melalui perubahan UU PPh pada UU Cipta Kerja, warga negara asing (WNA) dengan keahlian tertentu yang tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam setahun ditetapkan sebagai subjek pajak dalam negeri (SPDN). Namun, hanya penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang dikenai PPh. Simak artikel ‘Rezim Pajak Penghasilan untuk Ekspatriat Berubah, Ini Kata Sri Mulyani’.

“Selama 4 tahun pertama hanya penghasilan dari Indonesia yang dikenai pajak Indonesia. Lebih dari 4 tahun maka akan dikenai semua untuk menjalankan sistem worldwide income yang dianut oleh Indonesia,” ujar Dirjen Pajak Suryo Utomo. (DDTCNews)